Undang-Undang
Dasar
A. ARTI DAN FUNGSI UNDANG-UNDANG DASAR
Sering
kali kita mendengar orang menerjemahkan istilah constitution
dengan kata Undang-Undang Dasar. Kebiasaan tersebut bermula dari
kebiasaan orang Belanda dan Jerman yang menerjemahkannya dengan kata tersebut.
Misalnya di Belanda digunakan istilah Gronchvet
(yaitu dari asal kata grond
= dasar dan wet - Undang-Undang).
Sementara di Jerman digunakan istilah Grundgesetz atau Verfassung, yaitu dari asal kata Grund = dasar,
dan Gesetz = Undang-Undang.
Kedua istilah tersebut, baik Grondwet
maupun Grundgesetz, sama-sama menunjuk pada bentuk naskah
yang •tertulis. Hal ini bagi banyak sarjana politik menimbulkan
suatu kesukaran, kar'ena untuk keperluan analisis politik konstitusi atau constitution tidak dapat semata-mata dianggap sebagai suatu naskah yang
tertulis; ia mempunyai arti yang lebih luas yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan,
baik tertulis maupun tidak, yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana
suatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Di
Indonesia para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan istilah
Undang-Undang untuk menyebut bagian tertulis dari hukum dasar negara.
Dikatakan: “Di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga Hukum Dasar yang
tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak ditulis”. Dengan demikian para
penyusun Undang-Undang Dasar 1945 juga melihat adanya bagian yang tertulis dan
tidak tertulis
dari keseluruhan peraturan- peraturan konstitusional.
Oleh
karena Undang-Undang Dasar umumnya dianggap sebagai bagian tertulis dari suatu
konstitusi, maka peranan dan fungsi dari suatu Undang- Undang Dasar juga tidak
dapat dilepaskan dari gagasan tentang konstitusi. Gagasan tentang konstitusi
itu sendiri sebenarnya merupakan hasil dari perkembangan ide tentang demokrasi.
Sebagaimana yang telah Anda pelajari dalam Modul sebelumnya tentang demokrasi
dan perkembangannya, tampak bahwa upaya untuk menjamin dan menyelenggarakan
hak-hak politik rakyat sesuai dengan tujuan demokrasi, dan telah membawa
pemikiran tentang perlunya suatu konstitusi, baik bersifat naskah (written
constitution) maupun tak bernaskah (unwritten
constitution), untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa agar
penyelenggaraan kekuasaan tersebut tidak menjadi bersifat sewenang-wenang.
Salah satu sarjana yang berpendapat pentingnya konstitusi adalah N. Jayapalan
dalam bukunya Modern Governments
and Constitutions (2002), mengemukakan konstitusi merupakan hal yang sangat penting
bagi setiap negara untuk menjalankan administrasi pemerintahan oleh para
pejabat politiknya (“ A constitution is very
essential for each and every state for its smooth running of the administration
by political heads’''). Sementara C.F.
Strong dalam bukunya Modern Political
Constitutions menyatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan prinsip-prinsip
yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak bagi pihak yang diperintah, dan
hubungan di antara keduanya (“A constitution is a
collection of principles according to which the power of the government, the
right of the governed, and the relations between the two are adjusted'). Pentingnya konstitusi agar penyelenggaraan
kekuasaan tidak berlangsung secara sewenang-wenang dikemukakan pula oleh Carl
J. Friedrich dalam bukunya Constitutional Government
and Democracy: Theory and Practice in Europe and
America (1967), dan mencetuskan konstitusionalisme sebagai
gagasan bahwa ‘pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang
diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan
yang maksudnya untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk
pemerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah’.
Selanjutnya Friedrich mengemukakan bahwa ‘dengan jalan membagi kekuasaan,
konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistem pembatasan yang efektif atas
tindakan-tindakan pemerintah’.
Dari
pendapat Friedrich tersebut dapat dilihat bahwa konstitusi tidak hanya melakukan
pengaturan atas kekuasaan pemerintah semata, namun juga mengatur mengenai
hak-hak pihak yang diperintah dalam hal ini warga negara serta hak-hak asasi
manusia. Pandangan inilah yang kemudian sering disebut sebagai konstitusionalisme.
Dari pemikiran tentang konstitusionalisme di atas, tampak jelas bahwa
Undang-Undang Dasar dengan demikian merupakan perwujudan dari
pembatasan-pembatasan bagi penyelenggaraan pemerintah. Undang-Undang Dasar
menurut pemikiran di diatas memberi pedoman dan petunjuk tentang tugas-tugas
pokok dari suatu pemerintahan dan cara kerja dari lembaga-lembaga pemerintahan
tersebut dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya. Salah satu yang
mengungkapkan
fungsi dari
Undang-Undang Dasar adalah E.C.S. Wade, seorang sarjana hukum, dalam bukunya Comtitutional Law: An Outline
of the Law and Practice of the Constitution (1965), mengatakan
bahwa Undang- Undang Dasar adalah suatu naskah yang memaparkan rangka dan
tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan
pokok- pokok cara kerja badan-badan tersebut. Secara lebih terbatas, terutama
yang melihat negara dari segi kekuasaan dan menganggapnya sebagai suatu
organisasi kekuasaan, maka Undang-Undang Dasar diartikan sebagai lembaga atau
kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa
lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan
yudikatif. Misalnya, pendapat Herman Finer dalam bukunya Theory and Practice of Modern
Government yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar adalah
‘riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan’. Dalam arti yang terbatas ini,
sesungguhnya Undang-Undang Dasar telah menjadi perhatian para sarjana semenjak
praktik demokrasi pada masa Yunani Kuno. Aristoteles misalnya, salah seorang filsuf
Yunani yang 'hidup pada abad ke-5 S.M, pernah berusaha mencatat pemerintahan
dari 158 negara kota di Yunani. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa
Aristoteles adalah sarjana pertama yang mengkaji masalah-masalah konstitusi,
meskipun sebenarnya baru pada akhir abad ke 19 Undang-Undang Dasar mencapai
bentuk yang jelas dan teratur seperti yang kita kenal sekarang.
Sebelum
sampai pada bentuk yang jelas dan teratur, meskipun gagasan konstitusionalisme
telah berkembang lebih dahulu, Undang-Undang Dasar 'mengalami perjalanan
panjang yang bermula dari perjuangan untuk memperoleh hak-hak rakyat dari
kekuasaan raja yang absolut. Perjuangan itu, misalnya dimulai di Eropa pada
Abad Pertengahan yang kemudian membuahkan Magna
Charta (Piagam Agung) pada tahun 1215. Piagam ini berisi tentang
pengakuan Raja John, raja Inggris pada waktu itu, terhadap beberapa hak dari
para bangsawan. Berdasarkan ketentuan itu, sistem perpajakan harus disetujui
oleh para wajib pajak sementara penangkapan- penangkapan pun harus dilakukan
sesuai dengan proses peradilan.
Pada
tahun 1679, muncul Habeas
Corpus Act yang merupakan penegasan dan perluasan Magna Charta, dan
yang terutama menyangkut larangan untuk menahan seseorang tanpa alasan sah.
Setelah revolusi tak berdarah (Glorious
Revolution, 1688) pada tahun 1689 muncul Bill ofRights yang
kecuali menjamin pelaksanaan Habeas
Corpus Act, juga menetapkan beberapa hak rakyat, di antaranya hak
untuk mengajukan petisi kepada Raja
dan hak berbicara serta bebas dari
ancaman penangkapan bagi anggota- anggota Parlemen.
Perjuangan
untuk memperoleh hak-hak rakyat juga terjadi di negara- negara lain misalnya
Amerika Serikat dan Perancis. Di Amerika Serikat perjuangan hak-hak asasi
manusia itu ditandai dengan lahirnya Bill of
Rights (1778) yang berisi pernyataan-pernyataan atas kebebasan manusia
sesuai dengan hak-haknya yang asasi: ‘bahwa manusia berhak untuk hidup dalam
kesejahteraan dan perdamaian tanpa rasa takut atas perampasan hak milik yang
dilakukan oleh penguasa, bahwa kekuasaan berasal dari rakyat yang menyerahkan sebagian
dari kekuasaan yang dimilikinya, sehingga apabila penguasa bertindak
sewenang-wenang, rakyat dapat mencabut kekuasaan yang semula diserahkannya
itu’. Bahkan sebelum lahirnya Bill of
Rights, sesungguhnya tonggak penting hak-hak kebebasan individu sudah
dinyatakan dalam Declaration
of lndependence (1776). Di Perancis terjadi perjuangan yang
hampir serupa. Setelah meletusnya Revolusi Perancis (1789), sebagai reaksi atas
absolutisme raja-raja Dinasti Boubon, diproklamasikan Declaration des drois
de'l homme et du citoyen sebagai pernyataan
mengenai hak-hak dan kemerdekaan rakyat. Ulasan lebih mendalam mengenai
perjuangan hak-hak rakyat ini akan Anda temukan dalam modul yang membahas
Hak-Hak Asasi Manusia.
Dati
penjelasan mengenai munculnya Undang-Undang Dasar dalam bentuknya yang jelas
dan teratur, seperti dikemukakan di atas, terlihat bahwa Undang-Undang Dasar
berfungsi untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak asasi individu atas
kesewenang-wenangan penguasa. Bill of
Rights khususnya, menguraikan suatu daftar tindakan- tindakan pemerintah
yang tidak diperkenankan karena dianggap tidak sesuai dengan hak-hak asasi
individu, misalnya membatasi kebebasan individu untuk berbicara, dalam memeluk
agamanya, melakukan penyidikan dan penyitaan secara tidak beralasan, pemaksaan
untuk memberikan kesaksian yang tidak sesuai atau bertentangan dengan apa yang
sebenarnya diketahui dan dirasakan oleh seorang individu, dan lain sebagainya.
Konsepsi
mengenai hak-hak asasi yang banyak memperoleh perhatian di dalam Undang-Undang
Dasar, tampaknya berakar dari pemikiran filsuf Inggris John Locke (1632-1704)
yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya bebas dari semua kewenangan
pemerintah, yang sebenarnya merupakan kreasi khas manusia, bukan suatu hal yang
alami. Karena itu, setiap bentuk kesewenang-wenangan senantiasa bertentangan
dengan kebebasan manusia dan karenanya harus selalu diawasi. John Locke dan
para pengikutnya beranggapan bahwa bagaimanapun juga, hak-hak manusia tidak
mungkin terjamin dalam suatu negara anarki, yakni suatu negara di mana terjadi
tindakan-tindakan agresif yang membahayakan hak-hak manusia.
Dengan
demikian muncul dilema, yaitu di satu pihak hak-hak manusia tidak dapat
dipelihara tanpa suatu pemerintahan; sedangkan di lain pihak, pemerintah
cenderung mempunyai sifat yang bertentangan dengan hak-hak manusia. Menghadapi
dilema tersebut, Locke dan pengikutnya meyakini bahwa satu-satunya jalan ke
luar dari kesulitan ini adalah mengorganisasikan pemerintah sebagai lembaga
yang berwenang untuk menciptakan ketertiban, tanpa mengurangi hak-hak manusia.
Konstitusi merupakan bagian dari bentuk hukum seperti itu.
Konstitusi
menurut pemikiran mereka harus mampu mengendalikan kekuasaan pemerintah, yaitu
melalui beberapa cara, antara lain:
1.
membuat daftar apa saja yang tidak boleh
dilakukan oleh pemerintah;
2.
menentukan secara hati-hati bidang-bidang yang
menjadi wewenang pemerintah dan yang mengikat kekuasaan tersebut; dan
3.
menetapkan pemisahan
kekuasaan atau pembagian
kekuasaan antara lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
Tampaknya
bukan suatu yang mengherankan apabila John Locke dan para pengikutnya
menganggap pemerintah sebagai ‘musuh’ hak-hak manusia, karena memang mereka
hidup pada masa rezim yang memerintah berdasarkan ‘Hak Suci Raja’ dan ‘hak
istimewa kaum ningrat’ terhadap rakyatnya. Dalam keadaan seperti ini, mudah
dipahami apabila semangat anti monarki selalu ditanggapi dengan penindasan,
penangkapan, pemenjaraan dan penyiksaan, maupun tindakan-tindakan lain yang bertentangan
dengan citra hak-hak manusia. Pada masa Locke, pemerintah merupakan ancaman
atas hak-hak manusia, sehingga gagasan pelembagaan yang cenderung membatasi
pemerintah harus ditempatkan dalam situasi seperti ini.
Akan tetapi dalam
perkembangan berikutnya, seiring dengan munculnya negara-negara merdeka yang
memerintah secara konstitusional, gagasan John Locke mulai ditinggalkan. Untuk
sebagian, hal ini disebabkan oleh karena praktik demokrasi pada abad ke-19
hanya memberikan peranan yang sedemikian kecil kepada pemerintah. Setelah
Revolusi Industri (sekitar tahun 1830), disadari bahwa ancaman serius terhadap
hak-hak manusia bukan berasal dari pemerintah, akan tetapi dari pihak
perorangan atau swasta lainnya. Masalah-masalah pengangguran, pemerasan tenaga
kerja, tidak adanya layanan kesehatan, langkanya sarana pendidikan dan lain
sebagainya, adalah contoh pemerkosaan hak-hak manusia yang dilakukan oleh
perseorangan atau swasta yang ada pada masa itu (masa Revolusi Industri)
memainkan peranan penting dalam praktik demokrasi selanjutnya. Oleh karena itu,
dalam praktik demokrasi pada abad ke-20 terjadi perubahan mendasar, ketika
kepada pemerintah diberikan peranan yang lebih besar dalam rangka mencapai apa
yang dikenal sebagai “negara kesejahteraan”. Perubahan ini juga disertai dengan
perubahan-perubahan konstitusi dan aturan hukum klasik, menjadi aturan-aturan
yang lebih dinamis. Undang- Undang Dasar tidak saja berupaya untuk menjamin
terselenggaranya hak-hak politik rakyat, tetapi juga mencakup hak-hak lainnya,
seperti hak-hak sosial dan ekonomi.
B. UNDANG-UNDANG DASAR DAN KONVENSI
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, Undang-Undang Dasar hanyalah merupakan bagian yang
tertulis dari suatu konstitusi. Di luar konstitusi, masih ada
ketentuan-ketentuan yang mengikat penyelenggaraan pemerintahan.
Peraturan-peraturan seperti ini, yang pada mulanya merupakan kebiasaan disebut konvensi. Oleh
karena itu dalam mempelajari konstitusi suatu negara, tidak cukup dengan hanya
mempelajari Undang-Undang Dasar yang berupa naskah semata, akan tetapi harus
pula mempelajari kebiasaan dan konvensi yang melengkapi rangka dan dasar hukum
konstitusi negara tersebut. Hal ini sesuai dengan gagasan living constitution yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang benar-benar hidup di
dalam masyarakat tidak hanya terdiri atas naskah tertulis saja, tetapi juga
meliputi konvensi.
Pengakuan
atas pentingnya konvensi sebagai penopang rangka dan dasar hukum konstitusi
juga ditemui di negara-negara Anglo
Saxon. Di
Inggris misalnya, kita jumpai asas tidak tertulis yang merupakan suatu konvensi
yang menyatakan bahwa kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan harus
mengundurkan diri apabila ia kehilangan dukungan. Demikian pula di Amerika
Serikat terdapat kebiasaan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji apakah suatu
undang-undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Karena
itu tidak mengherankan apabila para penyusun Undang-Undang Dasar cenderung
hanya menetapkan peraturan-peraturan dalam garis
besarnya
saja. Sedangkan hal-hal yang belum tertuang di dalam Undang- Undang Dasar dapat
dicari dalam konvensi, kebiasaan-kebiasaan dan keputusan hakim. Dengan hanya
menetapkan garis besar peraturan, para penyusun Undang-Undang Dasar tampaknya
mengharapkan agar Undang- Undang Dasar yang disusunnya tidak lekas usang.
Paling sedikit ada dua aiasan mengapa hal seperti ini dapat terjadi; pertama, karena
masyarakat terus berkembang secara dinamis dan senantiasa terbuka kemungkinan
bahwa ada beberapa hal yang luput dari pemikiran para penyusun Undang-Undang
Dasar; dan kedua,
karena para penyusun Undang-Undang Dasar tidak selalu mampu melihat atau
meramalkan hal-hal yang perlu diatur dalam Undang- Undang Dasar.
Perbedaan
pandangan mengenai konstitusi tertulis dan tidak tertulis (konvensi) pernah
menjadi topik perdebatan kalangan ilmuwan yang mendalami masalah konstitusi.
Narftun demikian, C.F. Strong dalam bukunya Modern
Political Constitution, menyatakan bahwa pembedaan tersebut kurang tepat, karena tidak ada
konstitusi yang seluruhnya tidak tertulis, dan sebaliknya tidak ada pula
konstitusi yang tertuang dalam naskah tertulis. Suatu konstitusi, pada umumnya
disebut tertulis apabila merupakan naskah, sedangkan konstitusi tidak tertulis,
mengacu pada suatu konstitusi yang tidak terkumpul dalam satu naskah dan
dilengkapi dengan kebiasaan atau konvensi. Oleh karena itu, konstitusi tertulis
disebut juga sebagai konstitusi bernaskah, sedangkan konstitusi tidak tertulis
disebut sebagai konstitusi tidak bernaskah.
Untuk
mendalami pengertian Undang-Undang Dasar dan konvensi, kita dapat membandingkan
antara Inggris yang menganut konstitusi tidak tertulis dengan Amerika Serikat
yang menganut konstitusi tertulis. Inggris merupakan satu-satunya negara yang
tidak memiliki konstitusi tertulis, dengan pengertian bahwa peraturan-peraturan
dan ketentuan-ketentuan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak terkumpul
dalam satu naskah serta sangat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan. Inggris
bahkan tidak membedakan antara undang-undang tata negara dan undang-undang
biasa. Hal ini misalnya dapat dilihat dari wewenang parlemen, sebagai lembaga
tertinggi, yang mengubah konstitusi dengan undang-undang biasa. Praktik seperti
ini berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di beberapa negara yang pada
umumnya pengubahan terhadap Undang-Undang Dasar menjadi wewenang lembaga yang
lebih tinggi dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan
mengenai penyelenggaraan pemerintahan Inggris tertuang
6.11
|
dalam
konstitusi
sebagai berikut.
1. Ketentuan tertulis, antara
lain:
a. Magnet
Charta (1215) yang ditandatangani oleh Raja John atas desakan
kaum bangsawan. Piagam Agung ini berisi pengakuan atas beberapa hak bangsawan.
Kendatipun naskah ini bersifat feodal, tetapi kehadirannya tetap penting karena
merupakan awal mula pengakuan hak-hak bawahan dari seorang Raja-
b. 5/// of Right (1689)
dan Act of
Settlement (1701). Keduanya merupakan kemenangan Parlemen
terhadap RaJa ^ar' dinasti Stuart, yaitu
dengan adanya pemindahan kedaulatan dari tangan Raja kepada Parlemen. Parlemen
telah menghentikan Raja James II dari jabatannya dan memberi mahkota kerajaan
kepada Putri Mary dan suaminya, Pangeran William of Orange dan dikenal sebagai
Glorious
Revolution of1689.
c.
Parliament
Act (1911 dan 1949). Kedua undang-undang ini mengatur dan
membatasi kekuasaan Majelis Tinggi (House
of Lords) dan sekaligus memberikan supremasi kekuasaan kepada
Majelis Rendah (House
of Commons), misalnya dalam keadaan tertentu Majelis Tinggi tidak
diperkenankan untuk mvnolak rancangan undang-undang yang sebelumnya telah
diterima oleh Majelis Rendah.
2. Beberapa Keputusan Hakim,
terutama yang merupakan penafsiran
terhadap
undang-undang parlemen.
3. Tradisi atau Kebiasaan yang
telah mendarah daging dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan atau telah
menjadi suatu aturan tingkah laku politik, seperti kata Edward M. Sait. Di
antara beberapa kebiasaan yang terpenting adalah:
a. Kabinet harus mengundurkan
diri apabila kehilangan dukungan mayoritas dari Majelis Rendah.
b. Bila kabinet mengundurkan
diri, Raja harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pimpinan oposisi untuk membentuk kabinet baru.
c.
Sebelum berakhirnya masa jabatan Majelis
Rendah, Perdana Menteri dapat mengajukan permohonan kepada Raja untuk membubarkan
Parlemen dan kemudian mengadakan pemilihan umum baru. Dalam keadaan partai yang
berkuasa sedang berada di puncak popularitas atau sedang menghadapi
perselisihan dengan Parlemen, konvensi ini sangat menguntungkan Perdana
Menteri.
d. Perdana Menteri juga
merangkap sebagai anggota Majelis Rendah.
Meskipun
secara yuridis konvensi-konvensi seperti itu tidak mempunyai kepastian
dan kekuatan hukum, dan dengan sendirinya relatif kurang mengikat dibandingkan
ketentuan-ketentuan yang tertulis, tetapi tetap dihormati dan dipatuhi sebagai
salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan Inggris. Hal ini disebabkan oleh
karena:
Pertama, dalam parlemen Inggris hanya terdapat dua partai besar, Sehingga
tugas untuk membentuk suatu kabinet bara dapat segera diserahkan kepada
pemimpin partai oposisi tanpa terjadi perdebatan yang berkepanjangan. Kedua, konvensi
telah membudaya dalam aturan tingkah laku politik Inggris, sehingga mereka yang
tidak mematuhi atau menaatinya sangat mungkin justru kehilangan dukungan dalam
pemilihan umum yang akan diselenggarakan kemudian.
Tetapi
sukar untuk disangkal bahwa dalam beberapa hal, penyelenggaraan pemerintahan
yang hanya bertumpu pada konvensi- konvensi semata masih belum cukup memuaskan.
Karena itu tidak mengherankan apabila akhir-akhir ini mulai terlihat upaya
untuk menuangkan konvensi ke dalam undang-undang. Proses ini dikenal sebagai kodifikasi. Menurut
Ivor Jennings, dalam bukunya Cabinet
Government, kodifikasi itu perlu dilakukan karena:
1. Undang-undang lebih
berwibawa dibandingkan konvensi.
2. Pelanggaran terhadap
undang-undang lebih mudah diketahui dan dengan demikian dapat diambil tindakan
yang lebih cepat, karena seorang hakim lebih mudah menafsirkan undang-undang
daripada konvensi tidak tertulis.
3. Undang-undang mulai berlaku
pada waktu yang jelas, sedangkan konvensi kadang-kadang sukar ditetapkan kapan
ia mulai berlaku.
Di
Inggris pun sebenarnya sudah dimulai usaha kodifikasi seperti ini, misalnya
mengenai penetapan kedudukan dominion
dalam persemakmuran (Statue
of Westminster, 1931) dan peraturan gaji yang diberikan kepada
Perdana Menteri, menteri-menteri, dan pemimpin partai oposisi (Minister of the Crown Act,
1937). Sebelumnya, baik kedudukan dominion
dalam Persemakmuran maupun pemberian gaji kepada pemuka-pemuka politik yang
telah disebutkan di atas hanya didasarkan pada konvensi.
Setelah
Anda mempelajari konstitusi di Inggris yang tidak tertulis, kita dapat
membandingkannya dengan Amerika Serikat yang menganut konstitusi tertulis.
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat yang disusun tahun 1787 dan diresmikan
tahun 1789 adalah konstitusi tertulis yang tertua di dunia. Tetapi perlu
dicatat bahwa dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Amerika Serikat,
Undang-Undang Dasar bukan merupakan satu-satunya landasan konstitusional.
Beberapa ketentuan landasan konstitusional yang lain adalah undang-undang dan
keputusan Mahkamah Agung, Misalnya, ketentuan mengenai partai politik diatur
dalam undang-undang. Demikian pula halnya dengan pemilihan presiden yang semula
dilakukan melalui sistem pemilihan bertingkat oleh Majelis Pemilihan yang
anggota- anggotanya dipilih oleh negara-negara bagian, kemudian diubah menjadi
pemilihan langsung oleh rakyat. Sedangkan Majelis Pemilihan tetap menunaikan
fungsi sebagai pemilihan formal. Pemilihan anggota Senat yang semula dilakukan
oleh badan legislatif negara-negara bagian, diubah pula oleh undang-undang
menjadi pemilihan yang secara langsung dilakukan oleh rakyat. Contoh lain
tentang praktik konstitusional yang tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar,
namun dikukuhkan oleh undang-undang adalah pembentukan Bureau of the Budget
yang bertugas menyusun Anggaran Belanja, dan dihapuskannya persyaratan atas
dasar ras, warna kulit, pungutan pajak dan tingkat kecerdasan untuk menjadi
anggota Kongres.
Wewenang
Mahkamah Agung untuk menguji undang-undang sebenarnya tidak disebut dalam
Undang-Undang Dasar. Hak uji ini hanya bermula dari anggapan bahwa ketiga
lembaga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, mempunyai kedudukan yang sama
tinggi dan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di bidangnya masing-masing
yang bebas dari campur tangan lembaga-lembaga negara lainnya. Akibatnya,
masing-masing lembaga negara itu menafsirkan Undang-Undang Dasar menurut cara
dan prosedurnya masing-masing. Dalam keadaan seperti ini, jelas diperlukan
suatu lembaga lain yang berwenang untuk menguji apakah suatu undang-
undang
yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara itu sudah sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Wewenang seperti inilah yang kemudian
dimiliki oleh Mahkamah Agung, atau sejak John Marshall sebagai ketua berhasil merebut hak untuk menguji undang-undang (Judicial r.eview)
melalui keputusan Mahkamah Agung (1803). Selanjutnya, Mahkamah Agung menjadi
lembaga yang berperan sebagai “Pengaman Undang-Undang Dasar” (Guardian of the Constitution).
Dengan wewenang Mahkamah
Agung tersebut, banyak masalah dapat diatasi tanpa harus mengubah Undang-Undang
Dasar. Beberapa contoh penerapan wewenang Mahkamah Agung ini, antara lain,
adalah perluasan ruang gerak pemerintah federal untuk mengatur berbagai aspek
kehidupan ekonomi dan sosial yang sebelumnya (abad ke-18 dan ke-19) masih
sangat terbatas; dan perbaikan status dan kedudukan orang Negro melalui
keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Brown
vs. Board of Education of
Topeka (1954), yang menyatakan bahwa pemisahan atas dasar ras adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
C. CIRI UNDANG-UNDANG DASAR
Meskipun terdapat beberapa
variasi mengenai ketentuan-ketentuan yang dirinci dalam UUD yang ada di dunia
ini, tetapi pada pokoknya isi dari sebagian besar UUD itu selalu terdiri dari
sebagian atau kombinasi dari beberapa unsur berikut:
1,
Pernyataan mengenai Cita-cita dan Asas Ideologi Negara
Di
dalam Undang-Undang Dasar sering kali kita jumpai beberapa pernyataan mengenai
cita-cita dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai maupun asas ideologi yang
mendasarinya. Semua itu merupakan semangat yang ingin diabadikan di dalam
Undang-Undang Dasar oleh para penyusunnya. Cita-cita dan asas ideologi yang
pada umumnya dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang sangat menjiwai
batang tubuh Undang-Undang Dasar itu.
Sebagai
contoh, dalam preambul
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tertulis pernyataan bahwa, “Kami, rakyat
Amerika Serikat, dalam keinginan untuk membentuk suatu uni yang lebih sempurna,
menegakkan keadilan, menjamin kedamaian di dalam negeri, memelihara pertahanan
bersama, memajukan kesejahteraan umum, memperoleh berkah dari
kebebasan
bagi diri sendiri dan anak cucu kami, menobatkan dan menerapkan konstitusi ini
bagi Amerika Serikat”. Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Pembukaan
Undang-Undang Dasar India juga menyebutkan bahwa, ’’Kami rakyat India
memutuskan secara hikmat untuk membentuk India sebagai suatu Republik yang
berdaulat dan demokratis; untuk menjamin kepada semua warga negara menikmati;
keadilan sosial, ekonomi dan politik; kebebasan berpikir, mengungkapkan diri,
beragama dan beribadat; kesamaan dalam status dan kesempatan; dan untuk
memperkembangkan di antara mereka persaudaraan yang menjunjung tinggi martabat
seseorang dan persatuan negara”. Cita-cita seperti itu pun tertuang di dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana terlihat dalam pernyataan,”
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”.
Pernyataan-pernyataan
senada pun dapat kita jumpai di dalam konstitusi di negara-negara lain seperti
Brazil, Cuba, Filipina, Finlandia, Korea, maupun Liberia. Sementara itu, dalam
konstitusi Uni Soviet tahun 1936 misalnya, dikemukakan pula bahwa, ’’Landasan
politis dari USSR adalah Soviet dari wakil-wakil rakyat pekerja, yang tumbuh
dan menjadi kuat sebagai akibat penggulingan para kapitalis dan tuan-tuan tanah
serta kemenangan kediktatoran dari kaum proletar”.
2.
Organisasi Negara
Setiap
Undang-Undang Dasar menjelaskan struktur pemerintahan dan pembagian "kekuasaan
di antara struktur-struktur itu. Misalnya, dijelaskan mengenai lembaga-lembaga
penting apakah yang seharusnya ada, siapa yang layak menduduki jabatan di dalam
lembaga-lembaga itu, dan bagaimana prosedur yang harus ditempuh untuk mengisi
kedudukan-kedudukan itu.
Banyak pula konstitusi
yang menjelaskan secara rinci mengenai bagian- bagian suatu lembaga
pemerintahan. Selain itu juga dikemukakan mengenai pedoman pembagian kekuasaan.
Pada prinsipnya, Undang-Undang Dasar selalu menjelaskan kekuasaan-kekuasaan apa
saja yang dimiliki oleh lembaga-lembaga pemerintahan, misalnya kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di negara-negara demokrasi, Undang-Undang
Dasar secara lebih tegas menetapkan batas-batas kekuasaan itu. Semua ini
dimaksudkan agar lembaga-lembaga pemerintahan tertentu tidak memaksakan
kehendaknya melebihi kekuasaan yang sebenarnya ia miliki. Sebaliknya di
negara-negara otoriter, Undang-Undang Dasar memberikan kekuasaan sepenuhnya
kepada pemerintah. Undang-Undang Dasar Arab Saudi tahun 1926 misalnya, secara
tegas memberikan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintah kepada Raja.
Sedangkan di negara-negara yang berbentuk federasi, Undang-Undang Dasar
menjelaskan pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara
bagian. Pembagian kekuasaan tersebut di atas dapat dilihat pula pada
Undang-Undang Dasar di Amerika Serikat, Kanada, atau India.
3.
Hak-Hak Asasi Manusia
(jika berbentuk naskah tersendiri, disebut
Bill ofRights)
Hampir
setiap Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa, hak-hak asasi manusia, harus
dijamin. Terdapat dua cara yang biasanya digunakan untuk memberikan jaminan
atas hak-hak itu, yakni melimpahkan kewajiban- kewajiban kepada pemerintah
tetapi sekaligus dengan memberikan pembatasan-pembatasan atas kekuasaan yang
diberikan kepada pemerintah. Bentuk yang paling tua untuk memberi jaminan
konstitusional atas hak-hak individu, misalnya, dilakukan dengan membuat suatu
daftar mengenai hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan oleh pemerintah terhadap
individu. Undang- Undang Dasar Amerika Serikat misalnya, menyatakan bahwa
Kongres tidak dibenarkan membatasi kebebasan berbicara, kebebasan pers,
kebebasan beragama dan lain sebagainya.
Undang-Undang
Dasar yang lebih baru, yaitu yang lahir setelah Perang Dunia II, sering kali
menjamin hak asasi manusia ditambah dengan serangkaian kewajiban yang harus
dilakukan pemerintah; misalnya kewajiban pemerintah untuk menyediakan lapangan
kerja, sarana pendidikan, dan jaminan hari tua.
Pada
prinsipnya, Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan jaminan atas hak-hak asasi
manusia; misalnya kebebasan untuk mengeluarkan pendapat (pasal 28), memperoleh
perlakuan yang sama di muka hukum (pasal 27), kebebasan untuk memeluk agama
(pasal 29) dan lain sebagainya.
D. PENGUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
Ada
anggapan bahwa Undang-Undang Dasar sebaiknya tidak terlalu mudah diubah, karena
hal itu akan merendahkan arti simbolis Undang- Undang Dasar. Sekalipun
demikian, membuat Undang-Undang Dasar yang terlalu sukar diubah pun kurang
bijaksana karena keadaan ini mungkin justru memberi peluang bagi
generasi-generasi berikutnya untuk bertindak di luar Undang-Undang Dasar. Yang
menjadi persoalan ialah, bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi sesuai
dengan dinamika masyarakat masih dapat ditampung tanpa mengikis arti simbolis
yang dimiliki Undang-Undang Dasar itu.
Sehubungan
dengan prosedur pengubahan Undang-Undang Dasar ini, dalam bukunya Modern Political Constitutions, C.F. Strong menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar diklasifikasikan
sebagai konstitusi tertulis yang fleksibel apabila ia dapat diubah dengan
prosedur yang sama dengan pembuatan undang-undang, misalnya seperti yang selama
ini diterapkan di Inggris, Selandia Bara dan Kerajaan Italia sebelum Perang
Dunia II. Sedangkan apabila suatu Undang-Undang Dasar hanya dapat diubah dengan
prosedur yang berbeda dari prosedur pembuatan undang-undang, maka Undang-Undang
Dasar itu diklasifikasikan sebagai Undang-Undang Dasar yang kaku; misalnya
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat dan Kanâda.
Secara
garis besar, terdapat beberapa prosedur yang sering digunakan untuk mengubah
Undang-Undang Dasar yaitu melalui:
1. Sidang Lembaga Legislatif
dengan ditambah beberapa persyaratan tertentu. Persyaratan tambahan itu
misalnya berapa ketentuan quorum yang harus dicapai dalam sidang yang membahas perubahan Undang-
Undang Dasar dan jumlah minimal anggota yang harus menyetujui perubahan itu,
seperti halnya diterapkan Belgia.
2. Referendum
atau plebisit.
Dalam hal ini perubahan Undang-Undang Dasar sebelumnya harus disetujui
masyarakat, seperti yang diterapkan oleh Australia, Denmark, Irlandia dan
Switzerland. Masyarakat diberi kesempatan untuk mengemukakan pandangan, dan
keinginannya tertuang dalam suatu konstitusi tertulis.
3. Melalui negara-negara
bagian dari suatu sistem Federasi
4. Dalam suatu negara
berbentuk federasi seperti Amerika Serikat, ada dua tahap untuk mengubah
Undang-Undang Dasar meskipun baru satu cara yang selama ini dilakukan. Di Amerika
Serikat, pembahan Undang- Undang Dasar itu hanya mungkin dilakukan apabila usul
pembahan memperoleh persetujuan dari sedikitnya dua pertiga suara di kedua
majelis Kongres, dan kemudian diratifikasi melalui lembaga legislatif atau
konvensi di tiga perempat negara bagian. Dengan prinsip yang serupa tetapi
melalui cara yang berbeda, pembahan Undang-Undang Dasar di Australia dan
Switzerland, menganut ketentuan yang menyatakan bahwa pembahan diusulkan
lembaga legislatif di tingkat pusat dan harus diratifikasi oleh mayoritas
pemilih di dalam suatu pemungutan suara di tingkat pusat maupun di
negara-negara bagian.
5. Melalui Musyawarah Khusus, seperti yang dilakukan oleh beberapa
negara Amerika Latin.
E. KEDUDUKAN UNDANG-UNDANG DASAR
Setiap
Undang-Undang Dasar terdiri dari sejumlah aturan-aturan ¿mendasar yang
menduduki status khusus, memainkan fungsi khusus di dalam wilayah kedaulatan
nasional dan yang harus ditaati baik oleh seluruh anggota masyarakat ataupun
oleh alat-alat perlengkapan negara. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
dianggap sebagai hukum tertinggi dibandingkan dengan aturan-aturan lainnya.
Karena kedudukannya sebagai hukum tertinggi itulah, Undang-Undang Dasar dapat
dibedakan dengan aturan-aturan lain yang sering kali disebut dengan istilah
undang-undang. Perbedaan penting antara Undang-Undang Dasar dan undang-undang
adalah sebagai berikut:
1. Sebagian besar
Undang-Undang Dasar dibentuk melalui prosedur istimewa yang lebih sulit dan
memakan waktu dibandingkan prosedur pembentukan undang-undang biasa. Sebagai
konsekuensinya, Undang- Undang Dasar pun lebih sukar diubah daripada
undang-undang, selain itu lembaga yang membuatnya pun berbeda. Di Indonesia
misalnya, Undang-Undang Dasar dibuat oleh lembaga yang memegang kekuasaan
tertinggi, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat; sedangkan undang- undang
dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Karena dibuat secara
istimewa, Undang-Undang Dasar dapat dianggap sebagai sesuatu yang luhur; karena
itu tidak mengherankan apabila secara politis, Undang-Undang Dasar dianggap
lebih sempurna dan lebih luhur dibandingkan undang-undang. Undang-Undang Dasar
bahkan sering dianggap sebagai kerangka kerja suatu bangsa, karena merupakan
suatu piagam yang memuat cita-cita bangsa dan organisasi kenegaraan bangsa itu.
3. Undang-Undang Dasar memuat garis-garis besar mengenai dasar dan
tujuan negara. Setiap ketentuan dalam Undang-Undang Dasar akan dilaksanakan
oleh undang-undang. Dengan demikian, jelas bahwa undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa
Undang-Undang Dasar bukanlah sebagian dari kodifikasi hukum negara, karena ia
hanya menetapkan sebagian dari hukum negara, sedangkan selebihnya diatur
melalui undang-undang biasa, kebiasaan dan konvensi. Undang-undang biasa yang
dibentuk sebagai penjabaran atas ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam
Undang-Undang Dasar disebut sebagai undang-undang organik.
Dari
uraian di atas jelas terlihat bahwa Undang-Undang Dasar dapat dibedakan dari
undang-undang biasa. Kalau Undang-Undang Dasar diakui sebagai aturan hukum
tertinggi yang menentukan batas-batas undang-undang biasa, maka yang menjadi
persoalan ialah lembaga manakah yang berwenang menentukan bahwa suatu
undang-undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar?
Ada berbagai jawaban mengenai pertanyaan ini.
Pertama, parlemen sebagai lembaga yang dianggap boleh menafsirkan
ketentuan-ketentuan konstitusional dan menjaga agar semua undang-undang dan
peraturan-peraturan lain sesuai atau tidak bertentangan dengan ketentuan di
dalam Undang-Undang Dasar. Pandangan seperti ini pada umumnya dianut oleh
negara yang menganggap bahwa parlemen merupakan lembaga negara tertinggi,
misalnya Inggris. Dengan demikian berarti bahwa supremasi untuk menentukan kesesuaian
atau bertentangan antara undang-undang dari Undang-Undang Dasar, sebenarnya
terletak pada kedaulatan rakyat.
Kedua, di tangan lembaga yang memiliki wewenang judicial review, yaitu
kekuasaan untuk menguji apakah suatu undang-undang sesuai atau tidak
bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar. Kekuasaan seperti ini, di
Inggris, pada abad ke-17, dipegang oleh beberapa orang hakim.
Di beberapa negara bagian Amerika Serikat hak judicial review
ini merupakan sebagian dari sistem konstitusi nasional, sejak diputuskan oleh
John Marshall dalam menangani peristiwa Marbury
vs. Madison
(1803). Selama abad ke-19 dan ke-20, lembaga judicial
review ini secara bertahap menyebar ke negara-negara lain. Jepang
dan Jerman misalnya, setelah Perang Dunia I, menerapkan hak ini. Sementara di
Indonesia, wewenang judicial
review ini dipegang oleh lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi
sejak tahun 2003.
|
0 komentar:
Posting Komentar