Kamis, 16 Oktober 2014

Undang-Undang Dasar




Undang-Undang Dasar
A.      ARTI DAN FUNGSI UNDANG-UNDANG DASAR
Sering kali kita mendengar orang menerjemahkan istilah constitution dengan kata Undang-Undang Dasar. Kebiasaan tersebut bermula dari kebiasaan orang Belanda dan Jerman yang menerjemahkannya dengan kata tersebut. Misalnya di Belanda digunakan istilah Gronchvet (yaitu dari asal kata grond = dasar dan wet - Undang-Undang). Sementara di Jerman digunakan istilah Grundgesetz atau Verfassung, yaitu dari asal kata Grund = dasar, dan Gesetz = Undang-Undang. Kedua istilah tersebut, baik Grondwet maupun Grundgesetz, sama-sama menunjuk pada bentuk naskah yang •tertulis. Hal ini bagi banyak sarjana politik menimbulkan suatu kesukaran, kar'ena untuk keperluan analisis politik konstitusi atau constitution tidak dapat semata-mata dianggap sebagai suatu naskah yang tertulis; ia mempunyai arti yang lebih luas yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Di Indonesia para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan istilah Undang-Undang untuk menyebut bagian tertulis dari hukum dasar negara. Dikatakan: “Di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga Hukum Dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak ditulis”. Dengan demikian para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 juga melihat adanya bagian yang tertulis dan tidak tertulis dari keseluruhan peraturan- peraturan konstitusional.
Oleh karena Undang-Undang Dasar umumnya dianggap sebagai bagian tertulis dari suatu konstitusi, maka peranan dan fungsi dari suatu Undang- Undang Dasar juga tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang konstitusi. Gagasan tentang konstitusi itu sendiri sebenarnya merupakan hasil dari perkembangan ide tentang demokrasi. Sebagaimana yang telah Anda pelajari dalam Modul sebelumnya tentang demokrasi dan perkembangannya, tampak bahwa upaya untuk menjamin dan menyelenggarakan hak-hak politik rakyat sesuai dengan tujuan demokrasi, dan telah membawa pemikiran tentang perlunya suatu konstitusi, baik bersifat naskah (written constitution) maupun tak bernaskah (unwritten constitution), untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa agar penyelenggaraan kekuasaan tersebut tidak menjadi bersifat sewenang-wenang. Salah satu sarjana yang berpendapat pentingnya konstitusi adalah N. Jayapalan dalam bukunya Modern Governments and Constitutions (2002), mengemukakan konstitusi merupakan hal yang sangat penting bagi setiap negara untuk menjalankan administrasi pemerintahan oleh para pejabat politiknya (“ A constitution is very essential for each and every state for its smooth running of the administration by political heads’''). Sementara C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitutions menyatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak bagi pihak yang diperintah, dan hubungan di antara keduanya (“A constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the right of the governed, and the relations between the two are adjusted'). Pentingnya konstitusi agar penyelenggaraan kekuasaan tidak berlangsung secara sewenang-wenang dikemukakan pula oleh Carl J. Friedrich dalam bukunya Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America (1967), dan mencetuskan konstitusionalisme sebagai gagasan bahwa ‘pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang maksudnya untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah’. Selanjutnya Friedrich mengemukakan bahwa ‘dengan jalan membagi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistem pembatasan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah’.
Dari pendapat Friedrich tersebut dapat dilihat bahwa konstitusi tidak hanya melakukan pengaturan atas kekuasaan pemerintah semata, namun juga mengatur mengenai hak-hak pihak yang diperintah dalam hal ini warga negara serta hak-hak asasi manusia. Pandangan inilah yang kemudian sering disebut sebagai konstitusionalisme. Dari pemikiran tentang konstitusionalisme di atas, tampak jelas bahwa Undang-Undang Dasar dengan demikian merupakan perwujudan dari pembatasan-pembatasan bagi penyelenggaraan pemerintah. Undang-Undang Dasar menurut pemikiran di diatas memberi pedoman dan petunjuk tentang tugas-tugas pokok dari suatu pemerintahan dan cara kerja dari lembaga-lembaga pemerintahan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya. Salah satu yang
mengungkapkan fungsi dari Undang-Undang Dasar adalah E.C.S. Wade, seorang sarjana hukum, dalam bukunya Comtitutional Law: An Outline of the Law and Practice of the Constitution (1965), mengatakan bahwa Undang- Undang Dasar adalah suatu naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok- pokok cara kerja badan-badan tersebut. Secara lebih terbatas, terutama yang melihat negara dari segi kekuasaan dan menganggapnya sebagai suatu organisasi kekuasaan, maka Undang-Undang Dasar diartikan sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudikatif. Misalnya, pendapat Herman Finer dalam bukunya Theory and Practice of Modern Government yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar adalah ‘riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan’. Dalam arti yang terbatas ini, sesungguhnya Undang-Undang Dasar telah menjadi perhatian para sarjana semenjak praktik demokrasi pada masa Yunani Kuno. Aristoteles misalnya, salah seorang filsuf Yunani yang 'hidup pada abad ke-5 S.M, pernah berusaha mencatat pemerintahan dari 158 negara kota di Yunani. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Aristoteles adalah sarjana pertama yang mengkaji masalah-masalah konstitusi, meskipun sebenarnya baru pada akhir abad ke 19 Undang-Undang Dasar mencapai bentuk yang jelas dan teratur seperti yang kita kenal sekarang.
Sebelum sampai pada bentuk yang jelas dan teratur, meskipun gagasan konstitusionalisme telah berkembang lebih dahulu, Undang-Undang Dasar 'mengalami perjalanan panjang yang bermula dari perjuangan untuk memperoleh hak-hak rakyat dari kekuasaan raja yang absolut. Perjuangan itu, misalnya dimulai di Eropa pada Abad Pertengahan yang kemudian membuahkan Magna Charta (Piagam Agung) pada tahun 1215. Piagam ini berisi tentang pengakuan Raja John, raja Inggris pada waktu itu, terhadap beberapa hak dari para bangsawan. Berdasarkan ketentuan itu, sistem perpajakan harus disetujui oleh para wajib pajak sementara penangkapan- penangkapan pun harus dilakukan sesuai dengan proses peradilan.
Pada tahun 1679, muncul Habeas Corpus Act yang merupakan penegasan dan perluasan Magna Charta, dan yang terutama menyangkut larangan untuk menahan seseorang tanpa alasan sah. Setelah revolusi tak berdarah (Glorious Revolution, 1688) pada tahun 1689 muncul Bill ofRights yang kecuali menjamin pelaksanaan Habeas Corpus Act, juga menetapkan beberapa hak rakyat, di antaranya hak untuk mengajukan petisi kepada Raja

dan hak berbicara serta bebas dari ancaman penangkapan bagi anggota- anggota Parlemen.
Perjuangan untuk memperoleh hak-hak rakyat juga terjadi di negara- negara lain misalnya Amerika Serikat dan Perancis. Di Amerika Serikat perjuangan hak-hak asasi manusia itu ditandai dengan lahirnya Bill of Rights (1778) yang berisi pernyataan-pernyataan atas kebebasan manusia sesuai dengan hak-haknya yang asasi: ‘bahwa manusia berhak untuk hidup dalam kesejahteraan dan perdamaian tanpa rasa takut atas perampasan hak milik yang dilakukan oleh penguasa, bahwa kekuasaan berasal dari rakyat yang menyerahkan sebagian dari kekuasaan yang dimilikinya, sehingga apabila penguasa bertindak sewenang-wenang, rakyat dapat mencabut kekuasaan yang semula diserahkannya itu’. Bahkan sebelum lahirnya Bill of Rights, sesungguhnya tonggak penting hak-hak kebebasan individu sudah dinyatakan dalam Declaration of lndependence (1776). Di Perancis terjadi perjuangan yang hampir serupa. Setelah meletusnya Revolusi Perancis (1789), sebagai reaksi atas absolutisme raja-raja Dinasti Boubon, diproklamasikan Declaration des drois de'l homme et du citoyen sebagai pernyataan mengenai hak-hak dan kemerdekaan rakyat. Ulasan lebih mendalam mengenai perjuangan hak-hak rakyat ini akan Anda temukan dalam modul yang membahas Hak-Hak Asasi Manusia.
Dati penjelasan mengenai munculnya Undang-Undang Dasar dalam bentuknya yang jelas dan teratur, seperti dikemukakan di atas, terlihat bahwa Undang-Undang Dasar berfungsi untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak asasi individu atas kesewenang-wenangan penguasa. Bill of Rights khususnya, menguraikan suatu daftar tindakan- tindakan pemerintah yang tidak diperkenankan karena dianggap tidak sesuai dengan hak-hak asasi individu, misalnya membatasi kebebasan individu untuk berbicara, dalam memeluk agamanya, melakukan penyidikan dan penyitaan secara tidak beralasan, pemaksaan untuk memberikan kesaksian yang tidak sesuai atau bertentangan dengan apa yang sebenarnya diketahui dan dirasakan oleh seorang individu, dan lain sebagainya.
Konsepsi mengenai hak-hak asasi yang banyak memperoleh perhatian di dalam Undang-Undang Dasar, tampaknya berakar dari pemikiran filsuf Inggris John Locke (1632-1704) yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya bebas dari semua kewenangan pemerintah, yang sebenarnya merupakan kreasi khas manusia, bukan suatu hal yang alami. Karena itu, setiap bentuk kesewenang-wenangan senantiasa bertentangan dengan kebebasan manusia dan karenanya harus selalu diawasi. John Locke dan para pengikutnya beranggapan bahwa bagaimanapun juga, hak-hak manusia tidak mungkin terjamin dalam suatu negara anarki, yakni suatu negara di mana terjadi tindakan-tindakan agresif yang membahayakan hak-hak manusia.
Dengan demikian muncul dilema, yaitu di satu pihak hak-hak manusia tidak dapat dipelihara tanpa suatu pemerintahan; sedangkan di lain pihak, pemerintah cenderung mempunyai sifat yang bertentangan dengan hak-hak manusia. Menghadapi dilema tersebut, Locke dan pengikutnya meyakini bahwa satu-satunya jalan ke luar dari kesulitan ini adalah mengorganisasikan pemerintah sebagai lembaga yang berwenang untuk menciptakan ketertiban, tanpa mengurangi hak-hak manusia. Konstitusi merupakan bagian dari bentuk hukum seperti itu.
Konstitusi menurut pemikiran mereka harus mampu mengendalikan kekuasaan pemerintah, yaitu melalui beberapa cara, antara lain:
1.                    membuat daftar apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh pemerintah;
2.        menentukan secara hati-hati bidang-bidang yang menjadi wewenang pemerintah dan yang mengikat kekuasaan tersebut; dan
3.        menetapkan pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Tampaknya bukan suatu yang mengherankan apabila John Locke dan para pengikutnya menganggap pemerintah sebagai ‘musuh’ hak-hak manusia, karena memang mereka hidup pada masa rezim yang memerintah berdasarkan ‘Hak Suci Raja’ dan ‘hak istimewa kaum ningrat’ terhadap rakyatnya. Dalam keadaan seperti ini, mudah dipahami apabila semangat anti monarki selalu ditanggapi dengan penindasan, penangkapan, pemenjaraan dan penyiksaan, maupun tindakan-tindakan lain yang bertentangan dengan citra hak-hak manusia. Pada masa Locke, pemerintah merupakan ancaman atas hak-hak manusia, sehingga gagasan pelembagaan yang cenderung membatasi pemerintah harus ditempatkan dalam situasi seperti ini.
Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya, seiring dengan munculnya negara-negara merdeka yang memerintah secara konstitusional, gagasan John Locke mulai ditinggalkan. Untuk sebagian, hal ini disebabkan oleh karena praktik demokrasi pada abad ke-19 hanya memberikan peranan yang sedemikian kecil kepada pemerintah. Setelah Revolusi Industri (sekitar tahun 1830), disadari bahwa ancaman serius terhadap hak-hak manusia bukan berasal dari pemerintah, akan tetapi dari pihak perorangan atau swasta lainnya. Masalah-masalah pengangguran, pemerasan tenaga kerja, tidak adanya layanan kesehatan, langkanya sarana pendidikan dan lain sebagainya, adalah contoh pemerkosaan hak-hak manusia yang dilakukan oleh perseorangan atau swasta yang ada pada masa itu (masa Revolusi Industri) memainkan peranan penting dalam praktik demokrasi selanjutnya. Oleh karena itu, dalam praktik demokrasi pada abad ke-20 terjadi perubahan mendasar, ketika kepada pemerintah diberikan peranan yang lebih besar dalam rangka mencapai apa yang dikenal sebagai “negara kesejahteraan”. Perubahan ini juga disertai dengan perubahan-perubahan konstitusi dan aturan hukum klasik, menjadi aturan-aturan yang lebih dinamis. Undang- Undang Dasar tidak saja berupaya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak politik rakyat, tetapi juga mencakup hak-hak lainnya, seperti hak-hak sosial dan ekonomi.
B.      UNDANG-UNDANG DASAR DAN KONVENSI
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Undang-Undang Dasar hanyalah merupakan bagian yang tertulis dari suatu konstitusi. Di luar konstitusi, masih ada ketentuan-ketentuan yang mengikat penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan-peraturan seperti ini, yang pada mulanya merupakan kebiasaan disebut konvensi. Oleh karena itu dalam mempelajari konstitusi suatu negara, tidak cukup dengan hanya mempelajari Undang-Undang Dasar yang berupa naskah semata, akan tetapi harus pula mempelajari kebiasaan dan konvensi yang melengkapi rangka dan dasar hukum konstitusi negara tersebut. Hal ini sesuai dengan gagasan living constitution yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang benar-benar hidup di dalam masyarakat tidak hanya terdiri atas naskah tertulis saja, tetapi juga meliputi konvensi.
Pengakuan atas pentingnya konvensi sebagai penopang rangka dan dasar hukum konstitusi juga ditemui di negara-negara Anglo Saxon. Di Inggris misalnya, kita jumpai asas tidak tertulis yang merupakan suatu konvensi yang menyatakan bahwa kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan harus mengundurkan diri apabila ia kehilangan dukungan. Demikian pula di Amerika Serikat terdapat kebiasaan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Karena itu tidak mengherankan apabila para penyusun Undang-Undang Dasar cenderung hanya menetapkan peraturan-peraturan dalam garis

besarnya saja. Sedangkan hal-hal yang belum tertuang di dalam Undang- Undang Dasar dapat dicari dalam konvensi, kebiasaan-kebiasaan dan keputusan hakim. Dengan hanya menetapkan garis besar peraturan, para penyusun Undang-Undang Dasar tampaknya mengharapkan agar Undang- Undang Dasar yang disusunnya tidak lekas usang. Paling sedikit ada dua aiasan mengapa hal seperti ini dapat terjadi; pertama, karena masyarakat terus berkembang secara dinamis dan senantiasa terbuka kemungkinan bahwa ada beberapa hal yang luput dari pemikiran para penyusun Undang-Undang Dasar; dan kedua, karena para penyusun Undang-Undang Dasar tidak selalu mampu melihat atau meramalkan hal-hal yang perlu diatur dalam Undang- Undang Dasar.
Perbedaan pandangan mengenai konstitusi tertulis dan tidak tertulis (konvensi) pernah menjadi topik perdebatan kalangan ilmuwan yang mendalami masalah konstitusi. Narftun demikian, C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution, menyatakan bahwa pembedaan tersebut kurang tepat, karena tidak ada konstitusi yang seluruhnya tidak tertulis, dan sebaliknya tidak ada pula konstitusi yang tertuang dalam naskah tertulis. Suatu konstitusi, pada umumnya disebut tertulis apabila merupakan naskah, sedangkan konstitusi tidak tertulis, mengacu pada suatu konstitusi yang tidak terkumpul dalam satu naskah dan dilengkapi dengan kebiasaan atau konvensi. Oleh karena itu, konstitusi tertulis disebut juga sebagai konstitusi bernaskah, sedangkan konstitusi tidak tertulis disebut sebagai konstitusi tidak bernaskah.
Untuk mendalami pengertian Undang-Undang Dasar dan konvensi, kita dapat membandingkan antara Inggris yang menganut konstitusi tidak tertulis dengan Amerika Serikat yang menganut konstitusi tertulis. Inggris merupakan satu-satunya negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis, dengan pengertian bahwa peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak terkumpul dalam satu naskah serta sangat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan. Inggris bahkan tidak membedakan antara undang-undang tata negara dan undang-undang biasa. Hal ini misalnya dapat dilihat dari wewenang parlemen, sebagai lembaga tertinggi, yang mengubah konstitusi dengan undang-undang biasa. Praktik seperti ini berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di beberapa negara yang pada umumnya pengubahan terhadap Undang-Undang Dasar menjadi wewenang lembaga yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemerintahan Inggris tertuang
6.11

dalam konstitusi sebagai berikut.
1.        Ketentuan tertulis, antara lain:
a.        Magnet Charta (1215) yang ditandatangani oleh Raja John atas desakan kaum bangsawan. Piagam Agung ini berisi pengakuan atas beberapa hak bangsawan. Kendatipun naskah ini bersifat feodal, tetapi kehadirannya tetap penting karena merupakan awal mula pengakuan hak-hak bawahan dari seorang Raja-
b.        5/// of Right (1689) dan Act of Settlement (1701). Keduanya merupakan kemenangan Parlemen terhadap RaJa ^ar' dinasti Stuart, yaitu dengan adanya pemindahan kedaulatan dari tangan Raja kepada Parlemen. Parlemen telah menghentikan Raja James II dari jabatannya dan memberi mahkota kerajaan kepada Putri Mary dan suaminya, Pangeran William of Orange dan dikenal sebagai
Glorious Revolution of1689.
c.         Parliament Act (1911 dan 1949). Kedua undang-undang ini mengatur dan membatasi kekuasaan Majelis Tinggi (House of Lords) dan sekaligus memberikan supremasi kekuasaan kepada Majelis Rendah (House of Commons), misalnya dalam keadaan tertentu Majelis Tinggi tidak diperkenankan untuk mvnolak rancangan undang-undang yang sebelumnya telah diterima oleh Majelis Rendah.
2.        Beberapa Keputusan Hakim, terutama yang merupakan penafsiran
terhadap undang-undang parlemen.
3.        Tradisi atau Kebiasaan yang telah mendarah daging dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan atau telah menjadi suatu aturan tingkah laku politik, seperti kata Edward M. Sait. Di antara beberapa kebiasaan yang terpenting adalah:
a.        Kabinet harus mengundurkan diri apabila kehilangan dukungan mayoritas dari Majelis Rendah.
b.        Bila kabinet mengundurkan diri, Raja harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pimpinan partai oposisi untuk membentuk kabinet baru.

c.         Sebelum berakhirnya masa jabatan Majelis Rendah, Perdana Menteri dapat mengajukan permohonan kepada Raja untuk membubarkan Parlemen dan kemudian mengadakan pemilihan umum baru. Dalam keadaan partai yang berkuasa sedang berada di puncak popularitas atau sedang menghadapi perselisihan dengan Parlemen, konvensi ini sangat menguntungkan Perdana Menteri.
d.        Perdana Menteri juga merangkap sebagai anggota Majelis Rendah.
Meskipun secara yuridis konvensi-konvensi seperti itu tidak mempunyai kepastian dan kekuatan hukum, dan dengan sendirinya relatif kurang mengikat dibandingkan ketentuan-ketentuan yang tertulis, tetapi tetap dihormati dan dipatuhi sebagai salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan Inggris. Hal ini disebabkan oleh karena:
Pertama, dalam parlemen Inggris hanya terdapat dua partai besar, Sehingga tugas untuk membentuk suatu kabinet bara dapat segera diserahkan kepada pemimpin partai oposisi tanpa terjadi perdebatan yang berkepanjangan. Kedua, konvensi telah membudaya dalam aturan tingkah laku politik Inggris, sehingga mereka yang tidak mematuhi atau menaatinya sangat mungkin justru kehilangan dukungan dalam pemilihan umum yang akan diselenggarakan kemudian.
Tetapi sukar untuk disangkal bahwa dalam beberapa hal, penyelenggaraan pemerintahan yang hanya bertumpu pada konvensi- konvensi semata masih belum cukup memuaskan. Karena itu tidak mengherankan apabila akhir-akhir ini mulai terlihat upaya untuk menuangkan konvensi ke dalam undang-undang. Proses ini dikenal sebagai kodifikasi. Menurut Ivor Jennings, dalam bukunya Cabinet Government, kodifikasi itu perlu dilakukan karena:
1.        Undang-undang lebih berwibawa dibandingkan konvensi.
2.        Pelanggaran terhadap undang-undang lebih mudah diketahui dan dengan demikian dapat diambil tindakan yang lebih cepat, karena seorang hakim lebih mudah menafsirkan undang-undang daripada konvensi tidak tertulis.
3.        Undang-undang mulai berlaku pada waktu yang jelas, sedangkan konvensi kadang-kadang sukar ditetapkan kapan ia mulai berlaku.
Di Inggris pun sebenarnya sudah dimulai usaha kodifikasi seperti ini, misalnya mengenai penetapan kedudukan dominion dalam persemakmuran (Statue of Westminster, 1931) dan peraturan gaji yang diberikan kepada Perdana Menteri, menteri-menteri, dan pemimpin partai oposisi (Minister of the Crown Act, 1937). Sebelumnya, baik kedudukan dominion dalam Persemakmuran maupun pemberian gaji kepada pemuka-pemuka politik yang telah disebutkan di atas hanya didasarkan pada konvensi.
Setelah Anda mempelajari konstitusi di Inggris yang tidak tertulis, kita dapat membandingkannya dengan Amerika Serikat yang menganut konstitusi tertulis. Undang-Undang Dasar Amerika Serikat yang disusun tahun 1787 dan diresmikan tahun 1789 adalah konstitusi tertulis yang tertua di dunia. Tetapi perlu dicatat bahwa dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Amerika Serikat, Undang-Undang Dasar bukan merupakan satu-satunya landasan konstitusional. Beberapa ketentuan landasan konstitusional yang lain adalah undang-undang dan keputusan Mahkamah Agung, Misalnya, ketentuan mengenai partai politik diatur dalam undang-undang. Demikian pula halnya dengan pemilihan presiden yang semula dilakukan melalui sistem pemilihan bertingkat oleh Majelis Pemilihan yang anggota- anggotanya dipilih oleh negara-negara bagian, kemudian diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Sedangkan Majelis Pemilihan tetap menunaikan fungsi sebagai pemilihan formal. Pemilihan anggota Senat yang semula dilakukan oleh badan legislatif negara-negara bagian, diubah pula oleh undang-undang menjadi pemilihan yang secara langsung dilakukan oleh rakyat. Contoh lain tentang praktik konstitusional yang tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar, namun dikukuhkan oleh undang-undang adalah pembentukan Bureau of the Budget yang bertugas menyusun Anggaran Belanja, dan dihapuskannya persyaratan atas dasar ras, warna kulit, pungutan pajak dan tingkat kecerdasan untuk menjadi anggota Kongres.
Wewenang Mahkamah Agung untuk menguji undang-undang sebenarnya tidak disebut dalam Undang-Undang Dasar. Hak uji ini hanya bermula dari anggapan bahwa ketiga lembaga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, mempunyai kedudukan yang sama tinggi dan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di bidangnya masing-masing yang bebas dari campur tangan lembaga-lembaga negara lainnya. Akibatnya, masing-masing lembaga negara itu menafsirkan Undang-Undang Dasar menurut cara dan prosedurnya masing-masing. Dalam keadaan seperti ini, jelas diperlukan suatu lembaga lain yang berwenang untuk menguji apakah suatu undang-
undang yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara itu sudah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Wewenang seperti inilah yang kemudian dimiliki oleh Mahkamah Agung, atau sejak John Marshall sebagai ketua berhasil merebut hak untuk menguji undang-undang (Judicial r.eview) melalui keputusan Mahkamah Agung (1803). Selanjutnya, Mahkamah Agung menjadi lembaga yang berperan sebagai “Pengaman Undang-Undang Dasar” (Guardian of the Constitution).
Dengan wewenang Mahkamah Agung tersebut, banyak masalah dapat diatasi tanpa harus mengubah Undang-Undang Dasar. Beberapa contoh penerapan wewenang Mahkamah Agung ini, antara lain, adalah perluasan ruang gerak pemerintah federal untuk mengatur berbagai aspek kehidupan ekonomi dan sosial yang sebelumnya (abad ke-18 dan ke-19) masih sangat terbatas; dan perbaikan status dan kedudukan orang Negro melalui keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Brown vs. Board of Education of Topeka (1954), yang menyatakan bahwa pemisahan atas dasar ras adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
C.      CIRI UNDANG-UNDANG DASAR
Meskipun terdapat beberapa variasi mengenai ketentuan-ketentuan yang dirinci dalam UUD yang ada di dunia ini, tetapi pada pokoknya isi dari sebagian besar UUD itu selalu terdiri dari sebagian atau kombinasi dari beberapa unsur berikut:
1, Pernyataan mengenai Cita-cita dan Asas Ideologi Negara
Di dalam Undang-Undang Dasar sering kali kita jumpai beberapa pernyataan mengenai cita-cita dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai maupun asas ideologi yang mendasarinya. Semua itu merupakan semangat yang ingin diabadikan di dalam Undang-Undang Dasar oleh para penyusunnya. Cita-cita dan asas ideologi yang pada umumnya dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang sangat menjiwai batang tubuh Undang-Undang Dasar itu.
Sebagai contoh, dalam preambul Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tertulis pernyataan bahwa, “Kami, rakyat Amerika Serikat, dalam keinginan untuk membentuk suatu uni yang lebih sempurna, menegakkan keadilan, menjamin kedamaian di dalam negeri, memelihara pertahanan bersama, memajukan kesejahteraan umum, memperoleh berkah dari

kebebasan bagi diri sendiri dan anak cucu kami, menobatkan dan menerapkan konstitusi ini bagi Amerika Serikat”. Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Pembukaan Undang-Undang Dasar India juga menyebutkan bahwa, ’’Kami rakyat India memutuskan secara hikmat untuk membentuk India sebagai suatu Republik yang berdaulat dan demokratis; untuk menjamin kepada semua warga negara menikmati; keadilan sosial, ekonomi dan politik; kebebasan berpikir, mengungkapkan diri, beragama dan beribadat; kesamaan dalam status dan kesempatan; dan untuk memperkembangkan di antara mereka persaudaraan yang menjunjung tinggi martabat seseorang dan persatuan negara”. Cita-cita seperti itu pun tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana terlihat dalam pernyataan,” Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Pernyataan-pernyataan senada pun dapat kita jumpai di dalam konstitusi di negara-negara lain seperti Brazil, Cuba, Filipina, Finlandia, Korea, maupun Liberia. Sementara itu, dalam konstitusi Uni Soviet tahun 1936 misalnya, dikemukakan pula bahwa, ’’Landasan politis dari USSR adalah Soviet dari wakil-wakil rakyat pekerja, yang tumbuh dan menjadi kuat sebagai akibat penggulingan para kapitalis dan tuan-tuan tanah serta kemenangan kediktatoran dari kaum proletar”.
2.       Organisasi Negara
Setiap Undang-Undang Dasar menjelaskan struktur pemerintahan dan pembagian "kekuasaan di antara struktur-struktur itu. Misalnya, dijelaskan mengenai lembaga-lembaga penting apakah yang seharusnya ada, siapa yang layak menduduki jabatan di dalam lembaga-lembaga itu, dan bagaimana prosedur yang harus ditempuh untuk mengisi kedudukan-kedudukan itu.
Banyak pula konstitusi yang menjelaskan secara rinci mengenai bagian- bagian suatu lembaga pemerintahan. Selain itu juga dikemukakan mengenai pedoman pembagian kekuasaan. Pada prinsipnya, Undang-Undang Dasar selalu menjelaskan kekuasaan-kekuasaan apa saja yang dimiliki oleh lembaga-lembaga pemerintahan, misalnya kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di negara-negara demokrasi, Undang-Undang Dasar secara lebih tegas menetapkan batas-batas kekuasaan itu. Semua ini dimaksudkan agar lembaga-lembaga pemerintahan tertentu tidak memaksakan kehendaknya melebihi kekuasaan yang sebenarnya ia miliki. Sebaliknya di negara-negara otoriter, Undang-Undang Dasar memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada pemerintah. Undang-Undang Dasar Arab Saudi tahun 1926 misalnya, secara tegas memberikan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintah kepada Raja. Sedangkan di negara-negara yang berbentuk federasi, Undang-Undang Dasar menjelaskan pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Pembagian kekuasaan tersebut di atas dapat dilihat pula pada Undang-Undang Dasar di Amerika Serikat, Kanada, atau India.
3.        Hak-Hak Asasi Manusia (jika berbentuk naskah tersendiri, disebut
Bill ofRights)
Hampir setiap Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa, hak-hak asasi manusia, harus dijamin. Terdapat dua cara yang biasanya digunakan untuk memberikan jaminan atas hak-hak itu, yakni melimpahkan kewajiban- kewajiban kepada pemerintah tetapi sekaligus dengan memberikan pembatasan-pembatasan atas kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah. Bentuk yang paling tua untuk memberi jaminan konstitusional atas hak-hak individu, misalnya, dilakukan dengan membuat suatu daftar mengenai hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan oleh pemerintah terhadap individu. Undang- Undang Dasar Amerika Serikat misalnya, menyatakan bahwa Kongres tidak dibenarkan membatasi kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan beragama dan lain sebagainya.
Undang-Undang Dasar yang lebih baru, yaitu yang lahir setelah Perang Dunia II, sering kali menjamin hak asasi manusia ditambah dengan serangkaian kewajiban yang harus dilakukan pemerintah; misalnya kewajiban pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja, sarana pendidikan, dan jaminan hari tua.
Pada prinsipnya, Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan jaminan atas hak-hak asasi manusia; misalnya kebebasan untuk mengeluarkan pendapat (pasal 28), memperoleh perlakuan yang sama di muka hukum (pasal 27), kebebasan untuk memeluk agama (pasal 29) dan lain sebagainya.

D.     PENGUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
Ada anggapan bahwa Undang-Undang Dasar sebaiknya tidak terlalu mudah diubah, karena hal itu akan merendahkan arti simbolis Undang- Undang Dasar. Sekalipun demikian, membuat Undang-Undang Dasar yang terlalu sukar diubah pun kurang bijaksana karena keadaan ini mungkin justru memberi peluang bagi generasi-generasi berikutnya untuk bertindak di luar Undang-Undang Dasar. Yang menjadi persoalan ialah, bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi sesuai dengan dinamika masyarakat masih dapat ditampung tanpa mengikis arti simbolis yang dimiliki Undang-Undang Dasar itu.
Sehubungan dengan prosedur pengubahan Undang-Undang Dasar ini, dalam bukunya Modern Political Constitutions, C.F. Strong menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar diklasifikasikan sebagai konstitusi tertulis yang fleksibel apabila ia dapat diubah dengan prosedur yang sama dengan pembuatan undang-undang, misalnya seperti yang selama ini diterapkan di Inggris, Selandia Bara dan Kerajaan Italia sebelum Perang Dunia II. Sedangkan apabila suatu Undang-Undang Dasar hanya dapat diubah dengan prosedur yang berbeda dari prosedur pembuatan undang-undang, maka Undang-Undang Dasar itu diklasifikasikan sebagai Undang-Undang Dasar yang kaku; misalnya Undang-Undang Dasar Amerika Serikat dan Kanâda.
Secara garis besar, terdapat beberapa prosedur yang sering digunakan untuk mengubah Undang-Undang Dasar yaitu melalui:
1.       Sidang Lembaga Legislatif dengan ditambah beberapa persyaratan tertentu. Persyaratan tambahan itu misalnya berapa ketentuan quorum yang harus dicapai dalam sidang yang membahas perubahan Undang- Undang Dasar dan jumlah minimal anggota yang harus menyetujui perubahan itu, seperti halnya diterapkan Belgia.
2.       Referendum atau plebisit. Dalam hal ini perubahan Undang-Undang Dasar sebelumnya harus disetujui masyarakat, seperti yang diterapkan oleh Australia, Denmark, Irlandia dan Switzerland. Masyarakat diberi kesempatan untuk mengemukakan pandangan, dan keinginannya tertuang dalam suatu konstitusi tertulis.
3.       Melalui negara-negara bagian dari suatu sistem Federasi
4.       Dalam suatu negara berbentuk federasi seperti Amerika Serikat, ada dua tahap untuk mengubah Undang-Undang Dasar meskipun baru satu cara yang selama ini dilakukan. Di Amerika Serikat, pembahan Undang- Undang Dasar itu hanya mungkin dilakukan apabila usul pembahan memperoleh persetujuan dari sedikitnya dua pertiga suara di kedua majelis Kongres, dan kemudian diratifikasi melalui lembaga legislatif atau konvensi di tiga perempat negara bagian. Dengan prinsip yang serupa tetapi melalui cara yang berbeda, pembahan Undang-Undang Dasar di Australia dan Switzerland, menganut ketentuan yang menyatakan bahwa pembahan diusulkan lembaga legislatif di tingkat pusat dan harus diratifikasi oleh mayoritas pemilih di dalam suatu pemungutan suara di tingkat pusat maupun di negara-negara bagian.
5.       Melalui Musyawarah Khusus, seperti yang dilakukan oleh beberapa negara Amerika Latin.
E.      KEDUDUKAN UNDANG-UNDANG DASAR
Setiap Undang-Undang Dasar terdiri dari sejumlah aturan-aturan ¿mendasar yang menduduki status khusus, memainkan fungsi khusus di dalam wilayah kedaulatan nasional dan yang harus ditaati baik oleh seluruh anggota masyarakat ataupun oleh alat-alat perlengkapan negara. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar dianggap sebagai hukum tertinggi dibandingkan dengan aturan-aturan lainnya. Karena kedudukannya sebagai hukum tertinggi itulah, Undang-Undang Dasar dapat dibedakan dengan aturan-aturan lain yang sering kali disebut dengan istilah undang-undang. Perbedaan penting antara Undang-Undang Dasar dan undang-undang adalah sebagai berikut:
1.        Sebagian besar Undang-Undang Dasar dibentuk melalui prosedur istimewa yang lebih sulit dan memakan waktu dibandingkan prosedur pembentukan undang-undang biasa. Sebagai konsekuensinya, Undang- Undang Dasar pun lebih sukar diubah daripada undang-undang, selain itu lembaga yang membuatnya pun berbeda. Di Indonesia misalnya, Undang-Undang Dasar dibuat oleh lembaga yang memegang kekuasaan tertinggi, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat; sedangkan undang- undang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
2.        Karena dibuat secara istimewa, Undang-Undang Dasar dapat dianggap sebagai sesuatu yang luhur; karena itu tidak mengherankan apabila secara politis, Undang-Undang Dasar dianggap lebih sempurna dan lebih luhur dibandingkan undang-undang. Undang-Undang Dasar bahkan sering dianggap sebagai kerangka kerja suatu bangsa, karena merupakan suatu piagam yang memuat cita-cita bangsa dan organisasi kenegaraan bangsa itu.
3.       Undang-Undang Dasar memuat garis-garis besar mengenai dasar dan tujuan negara. Setiap ketentuan dalam Undang-Undang Dasar akan dilaksanakan oleh undang-undang. Dengan demikian, jelas bahwa undang-undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa Undang-Undang Dasar bukanlah sebagian dari kodifikasi hukum negara, karena ia hanya menetapkan sebagian dari hukum negara, sedangkan selebihnya diatur melalui undang-undang biasa, kebiasaan dan konvensi. Undang-undang biasa yang dibentuk sebagai penjabaran atas ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar disebut sebagai undang-undang organik.
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa Undang-Undang Dasar dapat dibedakan dari undang-undang biasa. Kalau Undang-Undang Dasar diakui sebagai aturan hukum tertinggi yang menentukan batas-batas undang-undang biasa, maka yang menjadi persoalan ialah lembaga manakah yang berwenang menentukan bahwa suatu undang-undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar? Ada berbagai jawaban mengenai pertanyaan ini.
Pertama, parlemen sebagai lembaga yang dianggap boleh menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional dan menjaga agar semua undang-undang dan peraturan-peraturan lain sesuai atau tidak bertentangan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar. Pandangan seperti ini pada umumnya dianut oleh negara yang menganggap bahwa parlemen merupakan lembaga negara tertinggi, misalnya Inggris. Dengan demikian berarti bahwa supremasi untuk menentukan kesesuaian atau bertentangan antara undang-undang dari Undang-Undang Dasar, sebenarnya terletak pada kedaulatan rakyat.
Kedua, di tangan lembaga yang memiliki wewenang judicial review, yaitu kekuasaan untuk menguji apakah suatu undang-undang sesuai atau tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar. Kekuasaan seperti ini, di Inggris, pada abad ke-17, dipegang oleh beberapa orang hakim.

Di beberapa negara bagian Amerika Serikat hak judicial review ini merupakan sebagian dari sistem konstitusi nasional, sejak diputuskan oleh John Marshall dalam menangani peristiwa Marbury vs. Madison (1803). Selama abad ke-19 dan ke-20, lembaga judicial review ini secara bertahap menyebar ke negara-negara lain. Jepang dan Jerman misalnya, setelah Perang Dunia I, menerapkan hak ini. Sementara di Indonesia, wewenang judicial review ini dipegang oleh lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2003.



0 komentar:

Posting Komentar