Senin, 13 Oktober 2014

Bentuk Pemerintahan



Bentuk Pemerintahan

Telah disebutkan sebelumnya bahwa secara umum terdapat dua bentuk A pemerintahan (eksekutif) yang umumnya dianut oleh sebagian besar negara, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial

A.SISTEM PARLEMENTER

Pada sistem pemerintahan parlementer, kabinet yang ada diharapkan mampu mencerminkan kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang ada dalam parlemen. Dukungan parlemen terhadap kabinet amat menentukan mati hidupnya kabinet. Oleh sebab itu sangat diperlukan terciptanya keseimbangan hubungan antara badan eksekutif dan badan legislatif. Sehingga, seorang perdana menteri akan berusaha, untuk memilih menteri dari partai-partai yang mendukungnya di badan legislatif.
Dalam sistem pemerintahan parlementer, posisi badan eksekutif terhadap badan legislatif bervariasi. Pola yang paling dikenal adalah pola di mana nasib kabinet seluruhnya bergantung kepada badan legislatif, pola ini ditemukan di Belanda, Jerman Barat (sebelum unifikasi) dan Prancis dalam Republik Prancis IV (1946-1948). Di Prancis dewasa ini (Republik Prancis V) kita temukan beberapa ciri sistem presidensial, sehingga sering dianggap sebagai suatu sistem campuran.
Pola yang agak berbeda ditemukan di Inggris di mana kedua badan saling bergantung, karena selain badan eksekutif dapat dijatuhkan oleh badan legislatif, badan eksekutif pun mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan pemilihan umum pada saat yang dikehendakinya dan dengan demikian membubarkan badan legislatif.
Contoh: Republik Prancis dan Kerajaan Inggris
Di Prancis, sejak tahun 1958 saat Republik Prancis V, sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan menghadirkan seorang presiden dan seorang perdana menteri yang bertindak sebagai pimpinan badan eksekutif. Sistem parlementer ini berbeda sekali dengan yang berlaku di Inggris.
Sebelum tahun 1958 Prancis memang mempunyai sistem parlementer yang mumi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Prancis sering mengalami pergantian kabinet akibat mosi tidak percaya yang diajukan dan dimenangkan oleh pihak oposisi. Keadaan ini mengakibatkan sering terjadi krisis kabinet dan hal ini mengganggu stabilitas politik Prancis. Oleh sebab itu pada tahun 1958 mulai diberlakukan sebuah UUD yang baru dengan tujuan agar pemerintah tidak sering berganti. Undang-Undang Dasar ini mencerminkan pemikiran Jenderal De Gaulle dan diterima rakyat Prancis dalam suatu referendum.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Dasar yang baru, maka sistem pemerintahan memang tidak lagi sepenuhnya merupakan sistem pemerintahan parlementer, melainkan sedikit banyak mirip dengan sistem pemerintahan presidensial. Perdana Menteri serta kabinetnya tetap tergantung pada dukungan dalam badan legislatif, sesuai dengan sistem parlementer, akan tetapi kedudukan Presiden diperkuat dengan memperpanjang masa jabatannya menjadi tujuh tahun. Presiden juga tidak dipilih melalui lembaga legislatif, melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Presiden berhak mengambil tindakan apabila negara mengalami masa krisis dan dapat membubarkan legislatif apabila situasi politik dianggap memerlukan tindakan ini.
Selain itu Undang-Undang yang diterima oleh badan legislatif tetapi tidak disetujui oleh presiden dapat segera diajukan kepada rakyat untuk diputuskan melalui suatu referendum atau dapat dimintakan pertimbangan dari Majelis Konstitusional.
Pengaturan yang ketat ini membuat Prancis dewasa ini memiliki pemerintahan yang lebih stabil daripada masa lalu. Prancis sedikit banyak berhasil untuk menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga politiknya dan tidak lagi mengalami masa krisis seperti sebelum tahun 1958-an.
Sedangkan di Inggris, badan eksekutif dipimpin oleh seorang perdana menteri, saat ini PM Tony Blair dari Partai Buruh. Bentuk negara Inggris adalah kerajaan dan mempunyai seorang Ratu yang kedudukannya sebagai kepala negara yang simbolik. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan perdana menteri selaku badan eksekutif.
Terdapat dua partai utama di Inggris, yaitu Partai Konservatif dan Partai Buruh. Bila salah satu partai politik ini memenangkan pemilihan umum maka partai yang kalah akan bertindak sebagai pihak oposisi. Anggota partai politik yang menang biasanya ketat disiplinnya dan mematuhi garis politik yang ditetapkan oleh partainya. Dan karena hanya ada dua partai utama maka umumnya partai politik yang menang pemilihan umum akan mempunyai kedudukan yang kuat dalam parlemen.
Sesuai dengan sistem parlementer di negara-negara demokrasi lainnya, badan legislatif menentukan mati hidupnya badan eksekutif. Artinya, jika badan eksekutif tidak berhasil untuk menjalankan suatu mosi tidak percaya, maka kabinet harus menyerahkan mandatnya. Akan tetapi, di Inggris badan eksekutif tidak seluruhnya bergantung kepada badan legislatif karena perdana menteri dapat mengadakan pemilihan umum setiap saat sebelum masa jabatan lima tahun seiesai. Dalam hai ini perdana menteri meminta kepada Raja/ Ratu untuk membubarkan parlemen sebagai langkah pertama dalam proses pemilihan umum. Hal ini merupakan senjata ampuh di tangan badan eksekutif.
B.SISTEM PRESIDENSIAL
Badan eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial ini terlepas dari badan legislatif dalam arti bahwa badan eksekutif merupakan suatu kekuatan sendiri dan memiliki masa jabatan tertentu. Mati hidupnya tidak tergantung pada badan legislatif dan karena itu kedudukan badan eksekutif sering kali lebih kuat dan dominan dalam menghadapi badan legislatif daripada dalam sistem parlementer. Badan eksekutif dipimpin oleh seorang presiden, yang mempunyai kebebasan untuk memilih para menterinya, bisa dari kalangan partainya sendiri, baik dari partai lain, maupun orang tak berpartai. Pai a menteri hanya bertanggung jawab kepada presiden.
Contoh: Negara Amerika Serikat
Seperti diuraikan di atas, Amerika Serikat menyelenggarakan sistem “pembagian kekuasaan”. Badan eksekutif terlepas atau terpisah dari badan legislatif yang dikenal dengan sebutan Congress (Senate dan House <>f Représentatives), dalam arti bahwa badan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif dan di pihak lain badan legislatif juga tidak dapat dijatuhkan oleh badan eksekutif. Tetapi badan eksekutif dapat mempengaruhi badan legislatif melalui Pidato Kenegaraan Presiden yang disampaikan pada saat permulaan masa sidang.
Kebanyakan Rancangan Undang-Undang (RUU) berasal dari badan eksekutif, namun demikian bila dianggap perlu, badan legislatif dapat mengubahnya. Kekuasaan badan legislatif terutama terlihat dari wewenangnya untuk memutuskan RUU yang menyangkut anggaran belanja.
Di pihak lain Presiden memiliki wewenang untuk memveto RUU yang telah diterima Congress, akan tetapi pada tahap akhir dari proses pengesahan RUU, presiden tetap harus tunduk pada keputusan Congress. Artinya veto presiden batal jika dikalahkan oleh 2/3 suara anggota kedua majelis. Hal ini berarti bahwa pada tahap akhir presiden tunduk kepada keputusan badan legislatif.
Presiden dapat memilih menteri-menterinya tanpa memikirkan konstelasi kekuatan politik di badan legislatif. Menteri bisa berasal baik dari partai politik yang sama, dari partai politik lainnya, maupun orang non-partai. Namun, untuk beberapa jabatan penting seperti menteri, hakim agung, atau duta besar, presiden harus mendapat persetujuan dari senat. Apabila eksekutif Amerika Serikat hendak mengadakan perjanjian internasional, harus pula diperoleh persetujuan dari senat; dan bila senat tidak menyetujui perjanjian tersebut maka perjanjian internasional itu akan batal. Ini semua dilakukan mengingat Amerika Serikat melakukan praktik checks and balances secara ketat guna menjaga keseimbangan hubungan antara eksekutif dengan badan- badan lainnya.
A.SISTEM SEMI PRESIDENSIAL
Menurut Maurice Duverger dalam buku Model Sistem Politik Baru: Pemerintahan Semi Presidensial, suatu negara dianggap menerapkan sistem semi presidensial jika dalam konstitusi diatur tiga hal berikut:
1.       Presiden dipilih melalui hak pilih universal/ umum.
2.       Presiden memiliki kekuasaan yang cukup besar, serta
3.       Presiden memiliki lawan politik, namun seorang perdana menteri yang
memegang kekuasaan eksekutif dan pemerintahan dapat tetap memegang
jabatan seandainya parlemen tidak menunjukkan oposisi kepada mereka.
Dipilihnya bentuk atau sistem pemerintahan semi presidensial oleh negara-negara yang menerapkannya ditujukan untuk menutupi kelemahan- kelemahan yang dimiliki baik oleh sistem presidensial maupun parlementer. Dalam sistem presidensial misalnya, bahwa pemerintahan akan berjalan lancar manakala terdapat dukungan mayoritas di parlemen. Jika parlemen tidak memberikan dukungan mayoritas maka pemerintahan presidensial dikhawatirkan akan tidak stabil. Arend Lipjhart dalam buku  sisitem pemerintahan parlementer dan presidensial melihat bahwa sistem semi presidensial juga menggabungkan kelebihan dari pemilihan langsung yang demokratis dan masa jabatan tetap yang dihubungkan dengan pemerintahan presidensial dan fleksibilitas kabinet parlementer serta perdana menteri. Dalam sistem ini presiden, perdana menteri dan kabinet bersama-sama memberikan kesempatan yang lebih baik dari sistem presidensial murni untuk membentuk koalisi.
Menurut Duverger, terdapat tiga macam praktik negara-negara yang menerapkan sistem semi presidensial. Pertama, tiga negara dengan presiden sebagai boneka. Model ini diterapkan oleh negara-negara Austria, Irlandia, dan Islandia. Sebagaimana dijelaskan oleh Lili Romli dalam buku Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, ketiga negara model pertama ini dalam konstitusinya menyebutkan menganut sistem semi presidensial, namun praktik politiknya adalah parlementer. Meskipun dipilih secara umum dan diberi kekuasaan pribadi oleh konstitusi, namun ia biasanya bertindak seperti Presiden Italia atau Ratu Inggris. Ia mengesahkan semua keputusan yang diajukan oleh pemerintah, dan hak prerogratifnya hanya memilih PM selama pilihannya tidak ditentukan oleh hasil pemilu. Dalam prakteknya, kekuasaan presiden di ketiga negara tersebut berbeda-beda.
Model kedua adalah Prancis di mana kedudukan presiden sangat kuat. Presiden Republik Prancis dapat membuat berbagai keputusan tanpa harus ditandatangani Perdana Menteri atau tanpa persetujuan pemerintah atau mayoritas parlemen. Dipilihnya sistem semi-presidensial, di mana kekuasaan presiden, sangat besar di Prancis memiliki latar belakang sejarah. Kegagalan sistem parlementer di masa Republik Prancis IV karena sering terjadi jatuh bangunnya kabinet sebagai faktor utama dibangunnya sistem semi presidensial ini. Konstitusi baru yang diprakarsai Presiden de Gaulle pada tahun 1958 telah memperkuat badan eksekutifnya, baik kedudukan presiden maupun kabinetnya. Presiden Prancis dengan masa jabatan 7 tahun, mulai dipilih secara langsung oleh rakyat pada tahun 1962. Presiden memiliki kekuasaan bertindak di masa darurat, di mana presiden boleh mengambil tindakan apa saja yang dianggap perlu untuk mengatasi krisis.
Jika timbul pertentangan antara kabinet dan badan legislatif, presiden boleh membubarkan badan legislatif. Undang-Undang yang telah diterima badan legislatif, tetapi tidak disetujui oleh presiden dapat diajukan langsung kepada rakyat supaya diputuskan dalam suatu referendum, atau dapat diminta pertimbangan dari Majelis Konstitusional. Badan ini mempunyai wewenang untuk menyatakan Undang-Undang tidak sesuai dengan Undang- Undang Dasar. Sistem semipresidensial di Prancis ini menunjukkan cukup keseimbangan antara eksekutif dan legislatif, dan malah dianggap lebih menjurus ke sistem presidensial.
Model ketiga dari sistem semipresidensial adalah di mana kekuasaan presiden dan pemerintah seimbang seperti di Republik Weimar, Finlandia dan Portugal. Menurut Lili Romli, dalam konstitusi di ketiga negara ini terdapat dualisme di mana ada seorang presiden yang dipilih melalui pemilu dan diberi kekuasaan pribadi bersama dengan perdana menteri serta pemerintah yang bersandar pada parlemen dan diberi kekuasaan eksekutif.
D.BADAN EKSEKUTIF DI NEGARA EKS KOMUNIS
Di negara-negara eks komunis, badan eksekutif memiliki bentuk dan peranan yang berbeda dibandingkan badan eksekutif di negara-negara demokratis. Perbedaan badan eksekutif di Negara eks komunis dengan badan eksekutif di Negara demokratis adalah dewan perwakilan rakyat tidak dilihat sebagai badan legislatif saja, tetapi sebagai badan di mana semua kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dipusatkan, oleh karena itu sistem ini disebut pula assembly government (pemerintahan majelis). Akan tetapi perbedaan yang menonjol adalah peranan yang dominan dari Partai Komunis yang menyelami semua aparatur kenegaraan. Negara-negara eks komunis dalam garis besarnya mengikuti pola eks negara Uni Soviet.
Di negara eks Uni Soviet fungsi eksekutif, dibagi antara dua badan, yaitu antara pimpinan dewan perwakilan rakyat, yakni Presidium Soviet Tertinggi, dan kabinet. Pembagian semacam ini menjadikan perbedaan antara badan eksekutif dan legislatif, seperti yang dikenal di negara-negara demokratis, agak kabur.
Presidium, yang terdiri dari kira-kira 30 orang anggota Soviet Tertinggi, bertindak sebagai steering committee dari Soviet Tertinggi dan menyelenggarakan tugas-tugasnya selama badan itu tidak bersidang, seperti misalnya menunjuk dan menghentikan menteri. Dia dapat membubarkan Soviet Tertinggi kalau ada perselisihan antara kedua majelis dan mengadakan pemilihan umum baru (hal ini belum pernah terjadi).
Kedudukan Presidium Soviet Tertinggi boleh dinamakan unik, sebab selain menyelenggarakan kekuasaan tertentu, dia juga merupakan kepala negara kolektif (collegium president), sebagaimana ha! itu dijelaskan oleh Vyshinsky. Dalam menjalankan fungsinya anggota-anggota presidium mempunyai kedudukan yang sama, hanya dalam upacara formal dan protokoler seperti menyematkan tanda jasa dan menerima tamu asing, ketua Presidium bertindak atas nama seluruh Presidium. Dia juga yang biasanya disebut Presiden Uni Soviet.
Wewenang Presidium mencakup bidang eksekutif seperti mengeluarkan dekrit-dekrit, yang dalam sidang Soviet Tertinggi berikutnya disahkan. Di samping itu Presidium mempunyai wewenang yudikatif untuk membatalkan keputusan-keputusan dan aturan-aturan kabinet kalau dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang dan memberi tafsiran yang mengikat mengenai Undang-Undang. Presidium secara formal bertanggung jawab kepada Soviet Tertinggi, akan tetapi dalam praktik Presidium membimbing Soviet Tertinggi. Hal ini dimungkinkan oleh karena anggota Presidium merangkap menjadi pimpinan dalam Partai Komunis.

Anggota kabinet berkisar antara 25 dan 50 orang. Secara formal para menteri diangkat oleh Soviet Tertinggi dan bertanggung jawab kepadanya. Dalam praktik kabinet lebih berkuasa, karena administrasi negara mencakup dan menguasai hampir semua aspek kehidupan rakyat, terutama di bidang ekonomi. Kekuasaan kabinet meliputi bidang legislatif, sebab, walaupun secara formal Soviet Tertinggi merupakan badan legislatif yang tertinggi dan merupakan satu-satunya badan yang menyelenggarakan kekuasaan legislatif, tetapi dalam praktik kabinet merupakan legislator yang paling penting.
Dialah yang menyusun rancangan Undang-Undang dan mengajukannya kepada Soviet Tertinggi, di mana pembahasan dengan bantuan anggota majelis yang juga merangkap anggota Partai Komunis dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak terlalu menyimpang dari rancangan yang diajukan itu. Di samping itu kabinet berwenang mengeluarkan aturan-aturan dan keputusan-keputusan (decisiom and orders) yang bersifat mengikat di seluruh wilayah Uni Soviet. Secara formal Soviet Tertinggi mempunyai wewenang untuk membatalkan aturan-aturan dan keputusan-keputusan ini, tetapi dalam praktik dibatalkan oleh kabinet sendiri kalau dirasa perlu.

0 komentar:

Posting Komentar