Pemilihan Umum
dan Sistem Pemiiihan Umum
Pemilihan umum merupakan mekanisme untuk
memilih para pejabat politik dan memberinya legitimasi untuk menjaiankan
kekuasaan. Pemilu dapat diselenggarakan di segala tatanan sistem politik, baik
itu di dalam sistem politik demokratis, otoriter, maupun totaliter. Dengan
demikian, berdasarkan tipe sistem politik yang dianut masing-masing negara,
kita dapat menemukan jenis-jenis pemilu yaitu pemilu yang kompetitif di
negara-negara demokratis, pemilu yang semi kompetitif, serta pemilu yang
nonkompetitif di negara-negara totaliter.
Di
negara totaliter, warga negara digiring agar memberi legitimasi atas sistem
politik yang dijalankan, tidak ada kebebasan memilih atau peluang untuk memilih
para kontestan. Di negara otoriter, kompetisi dan kebebasan memilih dibatasi
oleh pemerintah. Sementara di negara-negara demokratis, pemilu menjadi sarana
untuk melakukan penggantian pemerintah dan pemberian legitimasi kekuasaan dalam
sebuah kompetisi yang bebas.
Menurut
Dieter Nohien seperti dikutip dalam buku Sistem Pemilu dan Pemiiihan Presiden, pemiiihan umum memiliki
fungsi:
1. legitimasi (pengabsahan sistem
politik) dan pemerintahan suatu partai atau partai koalisi;
2. pelimpahan kepercayaan kepada
seseorang atau partai;
3. rekruitisasi elit politik;
4. representasi pendapat dan
kepentingan para pemilih;
5. mobilisasi massa pemilih demi
nilai-nilai masyarakat, tujuan-tujuan dan program politik, kepentingan partai
politik peserta pemilu;
6. pengontrolan kesadaran politik
masyarakat lewat penggambaran yang jelas tentang masalah-masalah politik yang
dihadapi dan aiternatif penanggulangannya;
7. pengarahan konflik politik
secara konstitusi ke arah penyelesaian secara damai;
8. integrasi pluralisme
masyarakat;
9. pembentukan suatu kekuatan
politik bersama;
10. mengundang satu persaingan untuk
perebutan kekuasaan berdasarkan penawaran program-program tandingan;
11. menciptakan kekuatan oposisi
yang mampu melakukan pengawasan;
12. membangun kesiagaan untuk
perubahan kekuasaan.
Dengan
fungsi-fungsi tersebut, kita dapat memahami betapa pentingnya pemilu bagi
terselenggaranya paham kedaulatan rakyat. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemilu
yang bebas menjadi kunci bagi pelaksanaan demokrasi {no
free elections, no democracy).
Kebebasan menjadi salah satu prasyarat bagi pemilu yang demokratis. Selain itu,
diperlukan juga keberkalaan dalam pelaksanaan pemilu, hak memilih yang luas
bagi warga negara, kebebasan untuk mendiskusikan pilihan, persamaan hak pilih,
serta kejujuran dalam pelaksanaan dan penghitungan hasil-hasilnya.
Dalam
ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemiiihan umum dengan berbagai
variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
Single-member constituency (satu daerah pemiiihan memilih
satu wakil; biasanya disebut sistem distrik).
Multi-member
constituency
(satu daerah pemiiihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang
atau sistem proporsional).
A.SISTEM DISTRIK
Sistem
ini merupakan sistem pemiiihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan
geografis. Setiap kesatuan geografis (biasanya disebut distrik karena kecilnya
daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk
keperluan itu, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil
rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Jika salah satu calon yang dalam suatu
distrik memperoleh suara terbanyak (menang), maka suara-suara yang ditujukan
kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak
diperhitungkan lagi, bagaimanapun kecil selisih kekalahannya. Misalnya, dalam
distrik dengan jumlah suara 100.000, ada dua calon, yakni A dan B. calon A
memperoleh 60.000 dan B 40.000, maka calon A memperoleh kemenangan, sedangkan
jumlah suara 40.000 dari calon B dianggap hilang. Sistem distrik ini digunakan
dalam negara-negara yang mempunyai sistem dwipartai seperti Amerika Serikat dan
Inggris beserta bekas negara jajahannya seperti India dan Malaysia.
Sistem
distrik memiliki beberapa kelemahan, di antaranya:
Sistem ini kurang memperhitungkan adanya
partai-partai kecil dan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam
beberapa distrik.
Sistem ini kurang representatif dalam arti
bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah
mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak
diperhitungkan sama sekali, dan kalau ada beberapa partai yang mengadu
kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal
ini akan dianggap tidak adii oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan.
Ada
kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik
serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.
Sistem
distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang heterogen karena terbagi
dalam keiompok etnis, religius dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan
bahwa “suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis
mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini”.
Di
samping keiemahan-keiemahan tersebut di atas ada banyak segi positifnya, yang
oleh negara-negara yang menganut sistem ini dianggap lebih menguntungkan
daripada sistem pemiiihan lain seperti berikut.
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang
terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungan dengan penduduk
distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih condong untuk memperjuangkan
kepentingan distrik. Lagi pula, kedudukannya terhadap partai akan lebih
independen, oleh karena dalam pemiiihan semacam ini faktor kepribadian
seseorang merupakan faktor yang penting. Sekalipun demikian, dia tentu tidak
bebas sama sekali dari pengaruh partai, sebab dukungan serta fasiiitas partai
diperlukannya baik untuk nominasi maupun untuk kampanye,
Sistem
ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi-kursi
yang diperebutkan dalam setiap distrik pemiiihan hanya satu. Hal ini akan
mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan- perbedaan yang ada dan
mengadakan kerja sama, sekurang-kurangnya menjelang pemiiihan um\m.
Fragmentasi
partai atau kecenderungan untuk membentuk partai baru
dapat dibendung; bahkai sistem distrik ini bisa
mendorong ke arah
penyederhanaan
partai secara alamiah dan tanpa paksaan. Maurice Duverger berpendapat baivva
dalam negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, sistem ini telah mmunjang
bertahannya sistem dwipartai.
Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai
kedudukan mayoritas
dalam parlemen, sehinggi tidak perlu diadakan
koalisi dengan partai
lain.
Hal ini mendukung spbilitas nasional.
Sistem ini sederhana dan riurah untuk
diselenggarakan.
B.SISTEM PROPORSIONAL
Sistem
ini dimaksud unttk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik.
Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh suatu golongan atau
partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat.
Untuk kepsrluan ini ditentukan suatu perimbangan, misalnya 1: 400.000, yang
berarti bahwa scjumlah pemilih (dalam ha) ini 400.000) mempunyai satu waki! di
parlemen. Jumlah total anggota parlemen ditentukan atas dasar perimbangan itu.
Negara
dianggap sebagai s#u daerah pemiiihan yang besar, akan tetapi untuk keperluan
teknis adminisfatif dibagi dalam beberapa daerah pemiiihan yang besar (yang
lebih besar daripada distrik dalam sistem distrik), di mana setiap daerah
pemiiihan memiiih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah
pemiiihan itu. Jumlah wakil dalam setiap daerah pemiiihan ditentukan oleh
jumlah pemilih dalam daerah pemiiihan itu, dibagi dengan 400.000.
Dalam
sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh
sesuatu partai atau golongan suatu daerah pemiiihan dapat ditambahkan pada
jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemiiihan
lain, untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi
tambahan.
Sistem
proporsional ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain antara
lain Sistem Daftar (List System). Sistem Daftar banyak
variasinya, tetapi umumnya dalam Sistem Daftar setiap partai atau golongan
mengajukkn satu daftar calon dan si pemilih memilih satu partai dengan semua
calon yang diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang
diperebutkan.
Sistem
proporsional mempunyai beberapa keuntungan, yaitu:
1. Sistem proporsional dianggap
lebih demokratis dalam arti lebih egaliterian karena asas one
man one vote
dilaksanakan secara penuh, praktis tanpa ada suara yang “hilang”. Akibatnya
ialah bahwa semua golongan dalam masyarakat, termasuk yang kecil pun, mempunyai
peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen, dan hal ini memenuhi rasa
adil (sense of justice).
2. Sistem ini dianggap
representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah
suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilu.
3. Tidak ada distorsi antara suara
yang diperoleh dengan kursi yang didapatkan. Dalam sistem proporsional, setiap
golongan atau partai dipastikan memperoleh kursi di parlemen sesuai dengan
proporsi perolehan suaranya. Sementara dalam sistem distrik, kemungkinan
terjadinya distorsi besar. Dalam sistem distrik, partai besar dengan perolehan
suara besar akan mungkin semakin besar perolehan kursinya. Sementara partai
kecil dengan persebaran suara yang luas, memiliki kemungkinan untuk mendapat
persentase yang lebih kecil dari suaranya.
Di
samping segi-segi positif atau keuntungan tersebut di atas, ada beberapa
kelemahan dari sistem proporsional ini, yaitu:
1. Kelemahan yang paling besar
adalah bahwa sistem ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik
dalam suatu partai anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai
baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi partai baru itu untuk
memperoleh beberapa kursi dalam parlemen melalui pemilu. Jadi, kurang
menggalang kekompakan dalam tubuh partai.
2. Sistem ini kurang mendorong
partai-partai untuk berintegrasi atau kerja sama satu sama lain dan mencari
serta memanfaatkan persamaan- persamaan -yang ada, tetapi sebaliknya cenderung
mempertajam perbedaan-perbedaan. Sistem ini dianggap mempunyai akibat
memperbanyak jumlah partai.
3. Sistem proporsional memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan
partai melalui Sistem Daftar, karena pimpinan partai
(sesudah
berkonsultasi
dengan cabang-cabang) menentukan daftar calon.
4. Wakil yang terpilih kemungkinan
renggang ikatannya dengan warga yang telah memilihnya. Pertama, karena vvitayahnya lebih besar
(bisa sebesar provinsi), sehingga
sukar untuk dikenal banyak orang. Kedua,karena dalam pemiiihan semacam
ini peran partai lebih menonjol
ketimbang
kepribadian seseorang, sehingga si wakil akan lebih terdorong untuk
memperhatikan kepentingan partai serta masalah-masalah umum atau nasional,
ketimbang kepentingan distrik serta warganya.
5. Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi satu partai untuk meraihmayoritas
(50%+l) dalam parlemen yang diperlukan untuk membentuk pemerintah. Partai yang
terbesar terpaksa berkoalisi dengan beberapa partai lain untuk mempercieh
mayoritas. Koalisi semacam ini, jika diselenggarakan dalam sistem parleme.nter,
sering tidak lama umurnya, dan hal ini tidak membina stabilitas politik. Dalam
sistem presidensia! perubahan dalam komposisi di parlemen tidak mempengaruhi
masa jabatan eksekutif. Di Amerika Serikat bisa saja Congress mengalami perubahan dalam
komposisinya, sehingga misalnya badan itu dikuasai oleh Partai Demokrat, tetapi
presiden serta kabinetnya dari Partai Republik tetap bertahan selama empat
tahun.
Perbedaan
antara dua sistem pemilu menyangkut masalah sifat representatif, rasa adil,
sifat integratif, pemantapan jumlah partai, stabilitas politik, keterkaitan
antara perolehan suara dan perolehan kursi dan keakraban antara anggota
parlemen dan rakyat di daerah pemiiihan masing-masing.
C.PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
Sampai
saat ini, di Indonesia telah dilakukan 9 (sembilan) kali pemiiihan umum untuk
anggota legislatif serta satu kali pemiiihan umum secara langsung untuk memilih
presiden dan wakil presiden. Untuk mempermudah pembagian dalam pelaksanaan
pemiiihan umum di Indonesia, kita dapat membaginya menjadi tiga periode.
1. Pemiiihan umum tahun 1955;
2. Pemiiihan umum di masa Orde
Baru, mulai dari tahun 1971 hingga 1997.
3. Pemiiihan umum di masa
Reformasi, yaitu pada tahun 1999 dan 2004.
Pemiiihan
umum tahun 1955 dilakukan dengan menggunakan sistem proporsional yang dikaitkan
dengan Sistem Daftar. Pemiiihan umum berlangsung dengan baik dan hikmat serta
hasilnya menunjukkan keunggulan empat partai, yaitu Masyumi, PNI, NU dan PKI.
Jumlah partai mengalami penambahan, dari 21 partai (ditambah wakil tak
berfraksi) sebelum pemilu menjadi 28 (termasuk perorangan). Sekalipun demikian,
pemilu sedikit banyak menghasilkan penyederhanaan partai dalam arti ternyata
ada empat partai yang besar yaitu PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45
kursi), dan PKI (39 kursi), yang bersama-sama menduduki 77% dari jumlah kursi
dalam DPR. Partai-partai lainnya, yang dalam masa sebelum pemiiihan sering
memegang peranan penting dalam kehidupan politik ternyata masing- masing hanya
menduduki satu sampai delapan kursi.
Kabinet
pertama hasil pemilu merupakan koalisi dari dua partai besar, PNI dan Masyumi,
beserta beberapa partai kecil lainnya, dipimpin oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo (II) dari PNI. Kabinet ini merupakan kabinet yang mendapat
dukungan yang paling besar yang pernah diperoleh suatu kabinet dalam DPR. Akan
tetapi ternyata bahwa pemilu pun tidak dapat membawa stabilitas yang sudah iama
didambakan. Sementara itu, kegiatan masing-masing partai seiama pemilu dan
kampanye mengakibatkan peruncingan dan pertentangan dalam masyarakat. Keadaan
ini terus bertahan bahkan hingga sesudah pemilu yang mengakibatkan keretakan
partai-partai. Sistem proporsional dengan sistem penghitungan suara lebih pada
pemilu 1955, ternyata merugikan daerah-daerah di luar Jawa dan menguntungkan
pulau Jawa. Pulau Jawa dengan 66% dari jumlah penduduk memperoleh hampir 70%
dari jumlah kursi. Lagipula dari empat partai besar, tiga partai memperoleh
dukungan terutama dari Jawa (PNI memperoleh 86% dari dukungannya di Jawa, NU
85,6% dan PKI 88,6%). Pemiiihan umum juga tidak menghindarkan kemacetan kerja
kabinet. Kabinet Ali II hanya bertahan seiama dua belas bulan dan dihadapkan
pada beragam masalah seperti pergolakan di daerah dan Konsepsi Presiden.
Kekompakan antara partai- partai hanya berlangsung semu saja.
Di
masa Demokrasi Terpimpin, tidak ada pemilu yang diselenggarakan. Presiden
Soekarno menerapkan suatu sistem politik, di mana dominasi
kekuasaan
berada pada dirinya. Peranan DPR dan partai politik dibatasi di masa ini. Di
awal Orde Baru, dicetuskan rencana untuk mengurangi jumlah partai secara
alamiah dan penerapan sistem distrik untuk menjamin stabilitas politik. Akan
tetapi usulan ini ditolak kalangan partai politik, karena sistem ini
dikbawatirkan akan mengurangi kekuasaan partai-partai. Akhirnya tercapai
konsensus antara pemerintah dan partai politik di mana sistem proporsional
dengan modifikasi yang akan diterapkan. Dalam modifikasi itu dijelaskan bahwa
tiap Dati II akan dijamin sekurang-kurangnya satu kursi, sehingga perwakilan
dari daerah di luar Jawa akan seimbang dengan perwakilan dari Jawa. Juga
ditetapkan bahwa 100 anggota dari jumlah total 460 akan diangkat dari golongan
ABRI (75) dan non-ABRI (25). Berdasarkan konsensus itulah diselenggarakan
pemilu 1971 dengan menggunakan sistem proporsional, diikuti oleh 10 partai
(termasuk Golkar), dengan 27 daerah pemiiihan dan perimbangan I: 400.000.
Pemilu-pemilu
Orde Baru mulai tahun 1977 hingga 1997 relatif dijalankan secara sama dengan
tetap menggunakan sistem proporsional. Namun demikian sesudah pemilu 1971,
pemerintah Orde Baru melakukan penataan politik khususnya berkaitan dengan
pemilu dan partai politik. Pada tahun 1973 semua organisasi sosial-politik
diatur sedemikian rupa sehingga mengadakan pengelompokan dengan hanya tinggal
tiga organisasi sosial politik yaitu Goikar, PPP, dan PD1. Sehingga mulai
pemilu 1977, sistem proporsional diselenggarakan dengan tiga orsospol. Pemilu
juga diwarnai oleh ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1975
bahwa kepengurusan orsospol terbatas pada ibukota tingkat pusat, Dati I dan
Dati II. Ketentuan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah “massa mengambang”
atau floating mass.
Langkah berikutnya untuk menata kehidupan kepartaian adalah dengan
diterapkannya asas tunggal Pancasila bagi orsospol mulai tahun 1982.
Dengan
kebijakan dan penataan yang dilakukan pemerintah Orde Baru tersebut, pemilu
Orde Baru menghasilkan Golkar sebagai partai mayoritas. Kebijakan massa
mengambang serta intervensi berlebihan dari aparatur negara untuk memenangkan
Golkar menjadi faktor penentu kemenangan partai ini. Namun demikian segi
positif dari diterapkannya sistem pemilu proporsional dapat kita lihat. Pertama, dengan penyederhanaan sistem
kepartaian maka tidak terjadi lagi fragmentasi partai politik. Kedua, tidak ada gejala pergantian
kabinet karena tidak ada partai mayoritas mutlak dalam DPR, seperti yang
dialami di Masa Demokrasi Parlementer. Ketiga, sistem proporsional telah
menghasilkan tingkat representatif yang tinggi serta menghilangkan distorsi
antara jumlah suara dengan jumlah kursi di parlemen.
Pelaksanaan
pemilu di masa Orde Baru tidak lepas dari kekurangan. Penyederhanaan sistem
kepartaian, kebijakan massa mengambang, intervensi aparatur negara,
monoloyalitas PNS atas Golkar telah menyebabkan pemilu yang tidak fair dan tidak kompetitif. Sehingga
setiap lima tahun dalam masa Orde Baru adalah pengulangan kemenangan besar
Golkar sebagai partai pemegang mayoritas mutlak dalam pemilu. Fakta inilah yang
diupayakan untuk diperbaiki di masa Reformasi. Pemerintahan baru, di bawah
kepemimpinan Presiden Habibie mencoba melakukan reformasi atas Undang-Undang
Politik yang seiama ini diterapkan pemerintahan Orde Baru. Tiga Undang-Undang
Politik yaitu Undang-Undang Partai Politik, Undang- Undang Pemilu, dan
Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD telah ditetapkan pada
tahun 1999, menyusul agenda pemiiihan umum akan dilaksanakan pada tahun yang
sama.
Pemiiihan
umum tahun 1999 menggunakan sistem proporsional dengan beberapa penyesuaian
pemilu-pemilu sebelumnya. Namun pemilu ini dilaksanakan dalam kehidupan
multipartai yang diikuti oleh 48 partai politik peserta pemilu. Untuk pertama
kalinya sejak Orde Baru, tidak ada partai yang menjadi mayoritas dalam arti
memperoleh suara 50%+l. PDI-Perjuangan di urutan pertama memperoleh suara 35,7
juta, disusul oleh Golkar dengan 23,7 juta suara, dan PKB mendapat 13,3 juta
suara. Berikutnya menyusul perolehan suara PPP dan PAN.
Pemilu
tahun 1999 relatif berlangsung secara demokratis dan fair,
dengan
terbentuknya Komisi Pemiiihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu yang independen.
Selain itu, sistem multipartai telah memungkinkan terciptanya kompetisi di
antara partai peserta pemilu. Birokrasi telah didorong untuk netral dalam
memilih, Selain itu, untuk menjamin kebebasan memilih, hari pemilu ditetapkan
sebagai hari libur nasional. Kendati demikian, masih terdapat kekurangan di
antaranya dengan masih disediakannya kursi gratis bagi TNI atau POLRI sebanyak
38 kursi tanpa proses pemilu. Di sisi lain dalam laporan yang disampaikan oleh
Panitia Pengawas Pemilu Indonesia dijelaskan mengenai beberapa penyimpangan
yang masih terjadi dalam pelaksanaan pemilu 1999. Angka terbesar kategori
penyimpangan pelaksanaan pemilu, berupa tindak pidana pemilu sebanyak 31,33%,
kemudian penyimpangan menyangkut tata cara penyelenggaraan pemilu sebanyak
30,6%, penyimpangan administratif sebanyak 26,81%, penyimpangan birokrasi dan
pejabat pemerintah sebanyak 7,06%, serta penyimpangan menyangkut politik uang
sebesar 4,2%.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemiiihan Umum, sistem pemilu
berdasarkan sistem proporsional. Namun dalam ketentuan undang-undang tersebut
diatur juga adopsi sistem distrik. Adopsi sistem distrik tersebut tercermin
dalam beberapa ketentuan. Pertama, ketentuan yang mengharuskan
setiap kabupaten/kota terwakili di DPR atau DPRD sekurang-kurangnya satu kursi,
dan setiap kecamatan terwakili sekurang-kurangnya satu kursi di DPRD. Kedua, setiap partai politik peserta
pemilu harus menentukan kabupaten/kota atau kecamatan yang diwakili calon tetap
yang ditentukannya. Untuk itu setiap partai politik peserta pemilu harus
menyusun nomor urut calon yang diajukan untuk mewakili setiap kabupaten/kota
atau kecamatan. Dan ketiga, kursi yang diperoleh setiap
partai politik dari suatu daerah pemiiihan Provinsi atau dari suatu daerah
pemiiihan kabupaten/kota, diberikan kepada kabupaten/kota atau Kecamatan yang
memberi suara terbanyak kepada partai di daerah pemiiihan tersebut. Calon tetap
urutan pertama dari kabupaten/kota atau calon tetap urutan pertama dari
kecamatan tersebut akan diajukan kepada Panitia Pemiiihan sebagai calon
terpilih.
Dengan
demikian, dalam pandangan Prof. Ramlan Surbakti dalam buku Menata
Reformasi Paska Pemilu 1999,
sistem pemilu yang diadopsi Undang- Undang No. 3 Tahun 1999 dapat diringkas
dengan uraian sebagai berikut. Pembagian kursi setiap daerah pemiiihan kepada
partai politik peserta pemilu dilakukan berdasarkan sistem proporsional,
sedangkan pembagian kursi yang diperoleh partai di daerah pemiiihan kepada
kabupaten/kota atau kecamatan dan kepada calon, tetap dilakukan dengan
mengikuti sistem distrik. Namun dalam praktik, sistem proporsional yang
menonjol hanya kursi yang diperoleh dengan jumlah suara yang sama dengan
bilangan pembagi pemilih sajalah yang mengikuti sistem distrik. Itupun tidak
sepenuhnya, karena pimpinan partai politik berhak atas penetapan calon
terpilih.
Kekurangan
dalam pemilu 1999, baik yang berkaitan dengan sistem pemilu (electoral
system)
maupun pelaksanaannya (electoral process), dicoba untuk diperbaiki dalam
pemilu anggota legislatif pada tahun 2004. Dalam pemilu 2004, berlaku
Undang-Un'dang No. 12 Tahun 2003 tentapg pemiiihan umum yang menjadi dasar
hukum pelaksanaannya. Prinsip sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu 2004,
pada dasarnya tetap menggunakan sistem proporsional sebagaimana halnya dengan
pemilu 1999. Untuk tujuan semakin mendekatkan wakil rakyat dengan pemiiihnya,
maka diadopsi suatu sistem proporsional dengan daftar terbuka. Seiama ini,
dalam pemilu-pemilu yang diselenggarakan di Indonesia menganut suatu sistem
proporsional yang tertutup. Dalam sistem proporsional yang tertutup, daftar
calon anggota legislatif ditentukan oleh partai politik dan pemilih hanya diberi
pilihan pada lambang partai politik saja. Hal ini juga diperlihatkan dalam
sistem pemilu di Afrika Selatan, di mana kertas suara berisi nama dan lambang
partai, dan sebuah foto dari pimpinan partai, tetapi tidak dicantumkan nama
para calon anggota legislatif. Salah satu aspek negatif sistem daftar tertutup
adalah bahwa pemilih tidak dapat menentukan pilihan siapa wakil dari partai
mereka.
Dengan
demikian, dalam pemilu 2004 para pemiiih dapat memiliki dua pilihan atau
memilih salah satunya, lambang partai politik atau calon anggota legislatif
yang ada dalam daftar. Dalam sistem proporsional daftar terbuka biasanya urutan
calon anggota legislatif yang mendapat kursi tergantung pada jumlah suara yang
mereka peroieh. Hal ini terhambat untuk diterapkan di Indonesia, karena adanya
ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 yang mengharuskan bahwa selain
mencapai suara terbanyak, calon anggota legislatif harus melewati biiangan
pembagi pemilih. Bilangan pembagi pemilih merupakan angka yang didapat dengan
jalan membagi suara sah seluruh partai politik peserta pemilu dengan jumlah
kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kota/ Kabupaten yang bersangkutan (Pasal
105 ayat
.
Dengan demikian penetapan calon terpilih anggota DPR, DPR Provinsi/ Kota/
Kabupaten didasarkan pada dua hal. Pertama, ia mencapai angka bilangan
pembagi pemilih. Kedua, tidak mencapai angka bilangan
pembagi pemilih, namun ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di
daerah pemiiihan yang bersangkutan (Pasal 107 ayat 2). Sementara itu, penetapan
nomor urut ditentukan oleh pimpinan partai politik. Dengan demikian, seorang
calon anggota legislatif masih sangat tergantung pada penentuan nomor urut yang
disusun oleh partai asainya. Banyak kasus penetapan calon terpilih pada pemilu
2004, di mana si calon legislatif mendapat suara terbanyak namun tidak berhasil
mendapat kursi, karena tidak melewati bilangan pembagi pemilih dan berada pada
nomor urut di luar proporsi perolehan suara partainya. Dari hasil pemilu 2004,
hanya dua orang wakil rakyat yang ditetapkan melampaui bilangan pembagi pemilih
yaitu Hidayat Nurwahid dari PKS dan Saleh Djasit dari Partai Golkar.
Dari
sisi pelaksanaannya, pemilu anggota legislatif 2004 mengalami banyak kemajuan.
Komisi Pemiiihan Umum terdiri dari kalangan profesional dan akademisi yang
independent, demikian juga halnya dengan Panitia Pengawas Pemilu. Meski sempat
tersendat karena pelaksanaan yang bersifat teknis, dapat dikatakan pemilu
anggota legislatif 2004 berjaian dengan demokratis. Selain pemiiihan anggota
DPR dari partai politik, pemilu 2004 juga memilih anggota DPD sebagai
perwakilan daerah di DPR. Ha! ini sejalan dengan semangat untuk menjadikan
lembaga legislatif kita memiliki sistem dua kamar (bikameral). Hal ini sesuai dengan asas
keterwakilan, di mana DPR menjadi lembaga yang menjaiankan keterwakilan politik
atau penduduk, sementara DPD menjadi lembaga yang menjaiankan keterwakilan
daerah. Anggota DPD dipilih dari calon perorangan dengan proporsi masing-
masing provinsi mendapat jatah 4 kursi di parlemen.
Hasil
pemilu anggota legislatif tahun 2004 yang diikuti 24 partai politik ini
menempatkan Partai Golkar di urutan pertama dengan mendapat 24% suara, disusul
PDI-Perjuangan dengan perolehan 19% suara, PKB (11%), PPP (10%), PD (7,5%), PKS
(7%), dan PAN (6,5%).
Dalam
tahun yang sama, untuk pertama kalinya dalam sejarah politik Indonesia,
diselenggarakan pemiiihan presiden dan wakil presiden. Pasangan calon presiden
dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Dalam hal pemiiihan presiden, dikenal beberapa sistem pemiiihan yang agak
berbeda dengan sistem pemiiihan anggota legisiatif. Setidaknya dikenal tiga
sistem pemiiihan presiden. Pertama, sistem the
first past the post,
yang merupakan cara sederhana dengan memberikan kursi presiden dan wakil
presiden kepada calon yang mendapat suara terbanyak. Sistem ini diterapkan di
negara-negara Meksiko, Kenya, Filipina, Korea Selatan, dan lain-lain. Kelemahan
sistem ini adalah memungkinkan seorang presiden terpilih dengan sedikit suara,
dan sebagian besar pemilih sebenarnya tidak memilihnya. Hal ini pernah terjadi
dalam kemenangan Fidel Ramos di Filipina dengan hanya mengantongi 25% suara
dari tujuh calon lainnya. Sistem kedua, yaitu Sistem Pemiiihan
Presiden Dua Putaran ( Two Round Systems) yang dilakukan dengan
mengadakan pemiiihan putaran kedua, jika tidak ada calon yang mayoritas dalam
putaran pertama. Variasi sistem dua putaran ini di antaranya dengan
mempertarungkan dua calon terkuat (,majority runoff) atau antara lebih dua calon (majority-plurality). Pemiiihan presiden dengan
sistem dua putaran ini dapat menghindarkan calon terpilih dengan perolehan
suara yang kecil sekaligus memperbesar legitimasi atas pasangan presiden dan
wakil presiden terpilih. Sistem pemiiihan presiden ketiga adalah preferential
voting,
dengan jalan menggabungkan putaran pertama dan kedua menjadi satu pemiiihan
saja. Dalam sistem ini, pemilih dapat memberi pilihan tidak hanya pada pilihan
pertama mereka, namun mereka dapat memberi pilihan kedua dan ketiganya dengan
memberi angka 1, 2, 3, di samping nama calon. Apabila seorang calon mendapatkan
suara mayoritas absolut (50%+1) pada pilihan pertama, mereka
langsung dinyatakan terpilih. Jika tidak, calon yang mendapatkan suara
mayoritas absolut, maka semua calon kecuali dua calon teratas harus dicoret
dari daftar. Suara pilihan kedua dan ketiganya dialihkan kepada salah satu dari
dua calon teratas tadi, menurut urutan yang sudah tercatat dalam kertas suara.
Siapa saja yang memperoleh jumlah suara yang terbanyak pada akhir proses
dinyatakan terpilih. Cara ini menghemat biaya dan lebih efisien.
Atas
dasar pertimbangan bahwa presiden dan wakil presiden harus memiliki legitimasi
yang kuat sekaligus mewakili kepentingan seluruh rakyat Indonesia, maka
altematif sistem dua putaran digunakan dalam pemiiihan presiden dan wakil
presiden di Indonesia pada tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun
2003 tentang pemiiihan umum presiden dan wakil presiden, pasangan calon dapat
langsung ditetapkan sebagai pemenang pada putaran pertama, jika mereka
mendapatkan lebih dari 50% suara dalam pemiiihan dengan sedikitnya 20% suara di
tiap-tiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia (Pasal 66 ayat 2). Dalam putaran pertama ini pemiiihan diikuti oleh
pasangan calon Wiranto-Solahudin Wahid, Megawati Soekamoputri-Hasyim Muzadi,
Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Amien Rais-Siswono Judohusodo dan
pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Dari hasil putaran pertama pemilu presiden
dan wakil presiden ternyata tidak ada pasangan yang dapat memenuhi ketentuan
pasal 66 ayat 2 di atas. Oleh karena itulah dilakukan pemiiihan putaran kedua.
Dalam penetapan peserta pemilu putaran kedua ini ditetapkan prinsip majority-runoff dengan diikuti oleh dua
pasangan yang memperoleh suara terbanyak pada putaran pertama. Akhimya putaran
kedua pemilu, diikuti oleh pasangan calon Megawati Soekamoputri-Hasyim Muzadi
dan Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Putaran kedua ini dimenangkan oleh
pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, sehingga mereka ditetapkan
sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar