Senin, 13 Oktober 2014

Pemilihan Umum dan Sistem Pemiiihan Umum



Pemilihan Umum dan Sistem Pemiiihan Umum
Pemilihan umum merupakan mekanisme untuk memilih para pejabat politik dan memberinya legitimasi untuk menjaiankan kekuasaan. Pemilu dapat diselenggarakan di segala tatanan sistem politik, baik itu di dalam sistem politik demokratis, otoriter, maupun totaliter. Dengan demikian, berdasarkan tipe sistem politik yang dianut masing-masing negara, kita dapat menemukan jenis-jenis pemilu yaitu pemilu yang kompetitif di negara-negara demokratis, pemilu yang semi kompetitif, serta pemilu yang nonkompetitif di negara-negara totaliter.
Di negara totaliter, warga negara digiring agar memberi legitimasi atas sistem politik yang dijalankan, tidak ada kebebasan memilih atau peluang untuk memilih para kontestan. Di negara otoriter, kompetisi dan kebebasan memilih dibatasi oleh pemerintah. Sementara di negara-negara demokratis, pemilu menjadi sarana untuk melakukan penggantian pemerintah dan pemberian legitimasi kekuasaan dalam sebuah kompetisi yang bebas.
Menurut Dieter Nohien seperti dikutip dalam buku Sistem Pemilu dan Pemiiihan Presiden, pemiiihan umum memiliki fungsi:
1.       legitimasi (pengabsahan sistem politik) dan pemerintahan suatu partai atau partai koalisi;
2.       pelimpahan kepercayaan kepada seseorang atau partai;
3.       rekruitisasi elit politik;
4.       representasi pendapat dan kepentingan para pemilih;
5.       mobilisasi massa pemilih demi nilai-nilai masyarakat, tujuan-tujuan dan program politik, kepentingan partai politik peserta pemilu;
6.       pengontrolan kesadaran politik masyarakat lewat penggambaran yang jelas tentang masalah-masalah politik yang dihadapi dan aiternatif penanggulangannya;
7.       pengarahan konflik politik secara konstitusi ke arah penyelesaian secara damai;
8.       integrasi pluralisme masyarakat;
9.       pembentukan suatu kekuatan politik bersama;


10.   mengundang satu persaingan untuk perebutan kekuasaan berdasarkan penawaran program-program tandingan;
11.   menciptakan kekuatan oposisi yang mampu melakukan pengawasan;
12.   membangun kesiagaan untuk perubahan kekuasaan.
Dengan fungsi-fungsi tersebut, kita dapat memahami betapa pentingnya pemilu bagi terselenggaranya paham kedaulatan rakyat. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemilu yang bebas menjadi kunci bagi pelaksanaan demokrasi {no free elections, no democracy). Kebebasan menjadi salah satu prasyarat bagi pemilu yang demokratis. Selain itu, diperlukan juga keberkalaan dalam pelaksanaan pemilu, hak memilih yang luas bagi warga negara, kebebasan untuk mendiskusikan pilihan, persamaan hak pilih, serta kejujuran dalam pelaksanaan dan penghitungan hasil-hasilnya.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemiiihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
 Single-member constituency (satu daerah pemiiihan memilih satu wakil; biasanya disebut sistem distrik).
 Multi-member constituency (satu daerah pemiiihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional).

A.SISTEM DISTRIK

Sistem ini merupakan sistem pemiiihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Jika salah satu calon yang dalam suatu distrik memperoleh suara terbanyak (menang), maka suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun kecil selisih kekalahannya. Misalnya, dalam distrik dengan jumlah suara 100.000, ada dua calon, yakni A dan B. calon A memperoleh 60.000 dan B 40.000, maka calon A memperoleh kemenangan, sedangkan jumlah suara 40.000 dari calon B dianggap hilang. Sistem distrik ini digunakan dalam negara-negara yang mempunyai sistem dwipartai seperti Amerika Serikat dan Inggris beserta bekas negara jajahannya seperti India dan Malaysia.
Sistem distrik memiliki beberapa kelemahan, di antaranya:
 Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
 Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adii oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan.
Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.
Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang heterogen karena terbagi dalam keiompok etnis, religius dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa “suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini”.
Di samping keiemahan-keiemahan tersebut di atas ada banyak segi positifnya, yang oleh negara-negara yang menganut sistem ini dianggap lebih menguntungkan daripada sistem pemiiihan lain seperti berikut.
 Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungan dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih condong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagi pula, kedudukannya terhadap partai akan lebih independen, oleh karena dalam pemiiihan semacam ini faktor kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting. Sekalipun demikian, dia tentu tidak bebas sama sekali dari pengaruh partai, sebab dukungan serta fasiiitas partai diperlukannya baik untuk nominasi maupun untuk kampanye,
Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi-kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemiiihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan- perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama, sekurang-kurangnya menjelang pemiiihan um\m.
Fragmentasi partai atau kecenderungan untuk membentuk partai baru
dapat    dibendung; bahkai sistem distrik ini bisa mendorong ke arah
penyederhanaan partai secara alamiah dan tanpa paksaan. Maurice Duverger berpendapat baivva dalam negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, sistem ini telah mmunjang bertahannya sistem dwipartai.
Lebih    mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas
dalam   parlemen, sehinggi tidak perlu diadakan koalisi dengan partai
lain. Hal ini mendukung spbilitas nasional.
 Sistem ini sederhana dan riurah untuk diselenggarakan.


B.SISTEM PROPORSIONAL

Sistem ini dimaksud unttk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat. Untuk kepsrluan ini ditentukan suatu perimbangan, misalnya 1: 400.000, yang berarti bahwa scjumlah pemilih (dalam ha) ini 400.000) mempunyai satu waki! di parlemen. Jumlah total anggota parlemen ditentukan atas dasar perimbangan itu.
Negara dianggap sebagai s#u daerah pemiiihan yang besar, akan tetapi untuk keperluan teknis adminisfatif dibagi dalam beberapa daerah pemiiihan yang besar (yang lebih besar daripada distrik dalam sistem distrik), di mana setiap daerah pemiiihan memiiih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemiiihan itu. Jumlah wakil dalam setiap daerah pemiiihan ditentukan oleh jumlah pemilih dalam daerah pemiiihan itu, dibagi dengan 400.000.
Dalam sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh sesuatu partai atau golongan suatu daerah pemiiihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemiiihan lain, untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi tambahan.
Sistem proporsional ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain antara lain Sistem Daftar (List System). Sistem Daftar banyak variasinya, tetapi umumnya dalam Sistem Daftar setiap partai atau golongan mengajukkn satu daftar calon dan si pemilih memilih satu partai dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang diperebutkan.
Sistem proporsional mempunyai beberapa keuntungan, yaitu:
1.       Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih egaliterian karena asas one man one vote dilaksanakan secara penuh, praktis tanpa ada suara yang “hilang”. Akibatnya ialah bahwa semua golongan dalam masyarakat, termasuk yang kecil pun, mempunyai peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen, dan hal ini memenuhi rasa adil (sense of justice).
2.       Sistem ini dianggap representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilu.
3.       Tidak ada distorsi antara suara yang diperoleh dengan kursi yang didapatkan. Dalam sistem proporsional, setiap golongan atau partai dipastikan memperoleh kursi di parlemen sesuai dengan proporsi perolehan suaranya. Sementara dalam sistem distrik, kemungkinan terjadinya distorsi besar. Dalam sistem distrik, partai besar dengan perolehan suara besar akan mungkin semakin besar perolehan kursinya. Sementara partai kecil dengan persebaran suara yang luas, memiliki kemungkinan untuk mendapat persentase yang lebih kecil dari suaranya.
Di samping segi-segi positif atau keuntungan tersebut di atas, ada beberapa kelemahan dari sistem proporsional ini, yaitu:
1.       Kelemahan yang paling besar adalah bahwa sistem ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi partai baru itu untuk memperoleh beberapa kursi dalam parlemen melalui pemilu. Jadi, kurang menggalang kekompakan dalam tubuh partai.
2.       Sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau kerja sama satu sama lain dan mencari serta memanfaatkan persamaan- persamaan -yang ada, tetapi sebaliknya cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan. Sistem ini dianggap mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai.


3.       Sistem  proporsional memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan
partai    melalui Sistem Daftar, karena pimpinan partai (sesudah
berkonsultasi dengan cabang-cabang) menentukan daftar calon.
4.       Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan warga yang telah memilihnya. Pertama, karena vvitayahnya lebih besar (bisa sebesar     provinsi), sehingga sukar untuk dikenal banyak orang. Kedua,karena dalam pemiiihan semacam ini peran partai lebih menonjol
ketimbang kepribadian seseorang, sehingga si wakil akan lebih terdorong untuk memperhatikan kepentingan partai serta masalah-masalah umum atau nasional, ketimbang kepentingan distrik serta warganya.
5.       Karena  banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi satu partai untuk meraihmayoritas (50%+l) dalam parlemen yang diperlukan untuk membentuk pemerintah. Partai yang terbesar terpaksa berkoalisi dengan beberapa partai lain untuk mempercieh mayoritas. Koalisi semacam ini, jika diselenggarakan dalam sistem parleme.nter, sering tidak lama umurnya, dan hal ini tidak membina stabilitas politik. Dalam sistem presidensia! perubahan dalam komposisi di parlemen tidak mempengaruhi masa jabatan eksekutif. Di Amerika Serikat bisa saja Congress mengalami perubahan dalam komposisinya, sehingga misalnya badan itu dikuasai oleh Partai Demokrat, tetapi presiden serta kabinetnya dari Partai Republik tetap bertahan selama empat tahun.
Perbedaan antara dua sistem pemilu menyangkut masalah sifat representatif, rasa adil, sifat integratif, pemantapan jumlah partai, stabilitas politik, keterkaitan antara perolehan suara dan perolehan kursi dan keakraban antara anggota parlemen dan rakyat di daerah pemiiihan masing-masing.
C.PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
Sampai saat ini, di Indonesia telah dilakukan 9 (sembilan) kali pemiiihan umum untuk anggota legislatif serta satu kali pemiiihan umum secara langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden. Untuk mempermudah pembagian dalam pelaksanaan pemiiihan umum di Indonesia, kita dapat membaginya menjadi tiga periode.
1.       Pemiiihan umum tahun 1955;
2.       Pemiiihan umum di masa Orde Baru, mulai dari tahun 1971 hingga 1997.
3.       Pemiiihan umum di masa Reformasi, yaitu pada tahun 1999 dan 2004.
Pemiiihan umum tahun 1955 dilakukan dengan menggunakan sistem proporsional yang dikaitkan dengan Sistem Daftar. Pemiiihan umum berlangsung dengan baik dan hikmat serta hasilnya menunjukkan keunggulan empat partai, yaitu Masyumi, PNI, NU dan PKI. Jumlah partai mengalami penambahan, dari 21 partai (ditambah wakil tak berfraksi) sebelum pemilu menjadi 28 (termasuk perorangan). Sekalipun demikian, pemilu sedikit banyak menghasilkan penyederhanaan partai dalam arti ternyata ada empat partai yang besar yaitu PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi), dan PKI (39 kursi), yang bersama-sama menduduki 77% dari jumlah kursi dalam DPR. Partai-partai lainnya, yang dalam masa sebelum pemiiihan sering memegang peranan penting dalam kehidupan politik ternyata masing- masing hanya menduduki satu sampai delapan kursi.
Kabinet pertama hasil pemilu merupakan koalisi dari dua partai besar, PNI dan Masyumi, beserta beberapa partai kecil lainnya, dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (II) dari PNI. Kabinet ini merupakan kabinet yang mendapat dukungan yang paling besar yang pernah diperoleh suatu kabinet dalam DPR. Akan tetapi ternyata bahwa pemilu pun tidak dapat membawa stabilitas yang sudah iama didambakan. Sementara itu, kegiatan masing-masing partai seiama pemilu dan kampanye mengakibatkan peruncingan dan pertentangan dalam masyarakat. Keadaan ini terus bertahan bahkan hingga sesudah pemilu yang mengakibatkan keretakan partai-partai. Sistem proporsional dengan sistem penghitungan suara lebih pada pemilu 1955, ternyata merugikan daerah-daerah di luar Jawa dan menguntungkan pulau Jawa. Pulau Jawa dengan 66% dari jumlah penduduk memperoleh hampir 70% dari jumlah kursi. Lagipula dari empat partai besar, tiga partai memperoleh dukungan terutama dari Jawa (PNI memperoleh 86% dari dukungannya di Jawa, NU 85,6% dan PKI 88,6%). Pemiiihan umum juga tidak menghindarkan kemacetan kerja kabinet. Kabinet Ali II hanya bertahan seiama dua belas bulan dan dihadapkan pada beragam masalah seperti pergolakan di daerah dan Konsepsi Presiden. Kekompakan antara partai- partai hanya berlangsung semu saja.
Di masa Demokrasi Terpimpin, tidak ada pemilu yang diselenggarakan. Presiden Soekarno menerapkan suatu sistem politik, di mana dominasi


kekuasaan berada pada dirinya. Peranan DPR dan partai politik dibatasi di masa ini. Di awal Orde Baru, dicetuskan rencana untuk mengurangi jumlah partai secara alamiah dan penerapan sistem distrik untuk menjamin stabilitas politik. Akan tetapi usulan ini ditolak kalangan partai politik, karena sistem ini dikbawatirkan akan mengurangi kekuasaan partai-partai. Akhirnya tercapai konsensus antara pemerintah dan partai politik di mana sistem proporsional dengan modifikasi yang akan diterapkan. Dalam modifikasi itu dijelaskan bahwa tiap Dati II akan dijamin sekurang-kurangnya satu kursi, sehingga perwakilan dari daerah di luar Jawa akan seimbang dengan perwakilan dari Jawa. Juga ditetapkan bahwa 100 anggota dari jumlah total 460 akan diangkat dari golongan ABRI (75) dan non-ABRI (25). Berdasarkan konsensus itulah diselenggarakan pemilu 1971 dengan menggunakan sistem proporsional, diikuti oleh 10 partai (termasuk Golkar), dengan 27 daerah pemiiihan dan perimbangan I: 400.000.
Pemilu-pemilu Orde Baru mulai tahun 1977 hingga 1997 relatif dijalankan secara sama dengan tetap menggunakan sistem proporsional. Namun demikian sesudah pemilu 1971, pemerintah Orde Baru melakukan penataan politik khususnya berkaitan dengan pemilu dan partai politik. Pada tahun 1973 semua organisasi sosial-politik diatur sedemikian rupa sehingga mengadakan pengelompokan dengan hanya tinggal tiga organisasi sosial politik yaitu Goikar, PPP, dan PD1. Sehingga mulai pemilu 1977, sistem proporsional diselenggarakan dengan tiga orsospol. Pemilu juga diwarnai oleh ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 bahwa kepengurusan orsospol terbatas pada ibukota tingkat pusat, Dati I dan Dati II. Ketentuan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah “massa mengambang” atau floating mass. Langkah berikutnya untuk menata kehidupan kepartaian adalah dengan diterapkannya asas tunggal Pancasila bagi orsospol mulai tahun 1982.
Dengan kebijakan dan penataan yang dilakukan pemerintah Orde Baru tersebut, pemilu Orde Baru menghasilkan Golkar sebagai partai mayoritas. Kebijakan massa mengambang serta intervensi berlebihan dari aparatur negara untuk memenangkan Golkar menjadi faktor penentu kemenangan partai ini. Namun demikian segi positif dari diterapkannya sistem pemilu proporsional dapat kita lihat. Pertama, dengan penyederhanaan sistem kepartaian maka tidak terjadi lagi fragmentasi partai politik. Kedua, tidak ada gejala pergantian kabinet karena tidak ada partai mayoritas mutlak dalam DPR, seperti yang dialami di Masa Demokrasi Parlementer. Ketiga, sistem proporsional telah menghasilkan tingkat representatif yang tinggi serta menghilangkan distorsi antara jumlah suara dengan jumlah kursi di parlemen.
Pelaksanaan pemilu di masa Orde Baru tidak lepas dari kekurangan. Penyederhanaan sistem kepartaian, kebijakan massa mengambang, intervensi aparatur negara, monoloyalitas PNS atas Golkar telah menyebabkan pemilu yang tidak fair dan tidak kompetitif. Sehingga setiap lima tahun dalam masa Orde Baru adalah pengulangan kemenangan besar Golkar sebagai partai pemegang mayoritas mutlak dalam pemilu. Fakta inilah yang diupayakan untuk diperbaiki di masa Reformasi. Pemerintahan baru, di bawah kepemimpinan Presiden Habibie mencoba melakukan reformasi atas Undang-Undang Politik yang seiama ini diterapkan pemerintahan Orde Baru. Tiga Undang-Undang Politik yaitu Undang-Undang Partai Politik, Undang- Undang Pemilu, dan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD telah ditetapkan pada tahun 1999, menyusul agenda pemiiihan umum akan dilaksanakan pada tahun yang sama.
Pemiiihan umum tahun 1999 menggunakan sistem proporsional dengan beberapa penyesuaian pemilu-pemilu sebelumnya. Namun pemilu ini dilaksanakan dalam kehidupan multipartai yang diikuti oleh 48 partai politik peserta pemilu. Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, tidak ada partai yang menjadi mayoritas dalam arti memperoleh suara 50%+l. PDI-Perjuangan di urutan pertama memperoleh suara 35,7 juta, disusul oleh Golkar dengan 23,7 juta suara, dan PKB mendapat 13,3 juta suara. Berikutnya menyusul perolehan suara PPP dan PAN.
Pemilu tahun 1999 relatif berlangsung secara demokratis dan fair, dengan terbentuknya Komisi Pemiiihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu yang independen. Selain itu, sistem multipartai telah memungkinkan terciptanya kompetisi di antara partai peserta pemilu. Birokrasi telah didorong untuk netral dalam memilih, Selain itu, untuk menjamin kebebasan memilih, hari pemilu ditetapkan sebagai hari libur nasional. Kendati demikian, masih terdapat kekurangan di antaranya dengan masih disediakannya kursi gratis bagi TNI atau POLRI sebanyak 38 kursi tanpa proses pemilu. Di sisi lain dalam laporan yang disampaikan oleh Panitia Pengawas Pemilu Indonesia dijelaskan mengenai beberapa penyimpangan yang masih terjadi dalam pelaksanaan pemilu 1999. Angka terbesar kategori penyimpangan pelaksanaan pemilu, berupa tindak pidana pemilu sebanyak 31,33%, kemudian penyimpangan menyangkut tata cara penyelenggaraan pemilu sebanyak 30,6%, penyimpangan administratif sebanyak 26,81%, penyimpangan birokrasi dan pejabat pemerintah sebanyak 7,06%, serta penyimpangan menyangkut politik uang sebesar 4,2%.
Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemiiihan Umum, sistem pemilu berdasarkan sistem proporsional. Namun dalam ketentuan undang-undang tersebut diatur juga adopsi sistem distrik. Adopsi sistem distrik tersebut tercermin dalam beberapa ketentuan. Pertama, ketentuan yang mengharuskan setiap kabupaten/kota terwakili di DPR atau DPRD sekurang-kurangnya satu kursi, dan setiap kecamatan terwakili sekurang-kurangnya satu kursi di DPRD. Kedua, setiap partai politik peserta pemilu harus menentukan kabupaten/kota atau kecamatan yang diwakili calon tetap yang ditentukannya. Untuk itu setiap partai politik peserta pemilu harus menyusun nomor urut calon yang diajukan untuk mewakili setiap kabupaten/kota atau kecamatan. Dan ketiga, kursi yang diperoleh setiap partai politik dari suatu daerah pemiiihan Provinsi atau dari suatu daerah pemiiihan kabupaten/kota, diberikan kepada kabupaten/kota atau Kecamatan yang memberi suara terbanyak kepada partai di daerah pemiiihan tersebut. Calon tetap urutan pertama dari kabupaten/kota atau calon tetap urutan pertama dari kecamatan tersebut akan diajukan kepada Panitia Pemiiihan sebagai calon terpilih.
Dengan demikian, dalam pandangan Prof. Ramlan Surbakti dalam buku Menata Reformasi Paska Pemilu 1999, sistem pemilu yang diadopsi Undang- Undang No. 3 Tahun 1999 dapat diringkas dengan uraian sebagai berikut. Pembagian kursi setiap daerah pemiiihan kepada partai politik peserta pemilu dilakukan berdasarkan sistem proporsional, sedangkan pembagian kursi yang diperoleh partai di daerah pemiiihan kepada kabupaten/kota atau kecamatan dan kepada calon, tetap dilakukan dengan mengikuti sistem distrik. Namun dalam praktik, sistem proporsional yang menonjol hanya kursi yang diperoleh dengan jumlah suara yang sama dengan bilangan pembagi pemilih sajalah yang mengikuti sistem distrik. Itupun tidak sepenuhnya, karena pimpinan partai politik berhak atas penetapan calon terpilih.
Kekurangan dalam pemilu 1999, baik yang berkaitan dengan sistem pemilu (electoral system) maupun pelaksanaannya (electoral process), dicoba untuk diperbaiki dalam pemilu anggota legislatif pada tahun 2004. Dalam pemilu 2004, berlaku Undang-Un'dang No. 12 Tahun 2003 tentapg pemiiihan umum yang menjadi dasar hukum pelaksanaannya. Prinsip sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu 2004, pada dasarnya tetap menggunakan sistem proporsional sebagaimana halnya dengan pemilu 1999. Untuk tujuan semakin mendekatkan wakil rakyat dengan pemiiihnya, maka diadopsi suatu sistem proporsional dengan daftar terbuka. Seiama ini, dalam pemilu-pemilu yang diselenggarakan di Indonesia menganut suatu sistem proporsional yang tertutup. Dalam sistem proporsional yang tertutup, daftar calon anggota legislatif ditentukan oleh partai politik dan pemilih hanya diberi pilihan pada lambang partai politik saja. Hal ini juga diperlihatkan dalam sistem pemilu di Afrika Selatan, di mana kertas suara berisi nama dan lambang partai, dan sebuah foto dari pimpinan partai, tetapi tidak dicantumkan nama para calon anggota legislatif. Salah satu aspek negatif sistem daftar tertutup adalah bahwa pemilih tidak dapat menentukan pilihan siapa wakil dari partai mereka.
Dengan demikian, dalam pemilu 2004 para pemiiih dapat memiliki dua pilihan atau memilih salah satunya, lambang partai politik atau calon anggota legislatif yang ada dalam daftar. Dalam sistem proporsional daftar terbuka biasanya urutan calon anggota legislatif yang mendapat kursi tergantung pada jumlah suara yang mereka peroieh. Hal ini terhambat untuk diterapkan di Indonesia, karena adanya ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 yang mengharuskan bahwa selain mencapai suara terbanyak, calon anggota legislatif harus melewati biiangan pembagi pemilih. Bilangan pembagi pemilih merupakan angka yang didapat dengan jalan membagi suara sah seluruh partai politik peserta pemilu dengan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kota/ Kabupaten yang bersangkutan (Pasal 105 ayat
. Dengan demikian penetapan calon terpilih anggota DPR, DPR Provinsi/ Kota/ Kabupaten didasarkan pada dua hal. Pertama, ia mencapai angka bilangan pembagi pemilih. Kedua, tidak mencapai angka bilangan pembagi pemilih, namun ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemiiihan yang bersangkutan (Pasal 107 ayat 2). Sementara itu, penetapan nomor urut ditentukan oleh pimpinan partai politik. Dengan demikian, seorang calon anggota legislatif masih sangat tergantung pada penentuan nomor urut yang disusun oleh partai asainya. Banyak kasus penetapan calon terpilih pada pemilu 2004, di mana si calon legislatif mendapat suara terbanyak namun tidak berhasil mendapat kursi, karena tidak melewati bilangan pembagi pemilih dan berada pada nomor urut di luar proporsi perolehan suara partainya. Dari hasil pemilu 2004, hanya dua orang wakil rakyat yang ditetapkan melampaui bilangan pembagi pemilih yaitu Hidayat Nurwahid dari PKS dan Saleh Djasit dari Partai Golkar.


Dari sisi pelaksanaannya, pemilu anggota legislatif 2004 mengalami banyak kemajuan. Komisi Pemiiihan Umum terdiri dari kalangan profesional dan akademisi yang independent, demikian juga halnya dengan Panitia Pengawas Pemilu. Meski sempat tersendat karena pelaksanaan yang bersifat teknis, dapat dikatakan pemilu anggota legislatif 2004 berjaian dengan demokratis. Selain pemiiihan anggota DPR dari partai politik, pemilu 2004 juga memilih anggota DPD sebagai perwakilan daerah di DPR. Ha! ini sejalan dengan semangat untuk menjadikan lembaga legislatif kita memiliki sistem dua kamar (bikameral). Hal ini sesuai dengan asas keterwakilan, di mana DPR menjadi lembaga yang menjaiankan keterwakilan politik atau penduduk, sementara DPD menjadi lembaga yang menjaiankan keterwakilan daerah. Anggota DPD dipilih dari calon perorangan dengan proporsi masing- masing provinsi mendapat jatah 4 kursi di parlemen.
Hasil pemilu anggota legislatif tahun 2004 yang diikuti 24 partai politik ini menempatkan Partai Golkar di urutan pertama dengan mendapat 24% suara, disusul PDI-Perjuangan dengan perolehan 19% suara, PKB (11%), PPP (10%), PD (7,5%), PKS (7%), dan PAN (6,5%).
Dalam tahun yang sama, untuk pertama kalinya dalam sejarah politik Indonesia, diselenggarakan pemiiihan presiden dan wakil presiden. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dalam hal pemiiihan presiden, dikenal beberapa sistem pemiiihan yang agak berbeda dengan sistem pemiiihan anggota legisiatif. Setidaknya dikenal tiga sistem pemiiihan presiden. Pertama, sistem the first past the post, yang merupakan cara sederhana dengan memberikan kursi presiden dan wakil presiden kepada calon yang mendapat suara terbanyak. Sistem ini diterapkan di negara-negara Meksiko, Kenya, Filipina, Korea Selatan, dan lain-lain. Kelemahan sistem ini adalah memungkinkan seorang presiden terpilih dengan sedikit suara, dan sebagian besar pemilih sebenarnya tidak memilihnya. Hal ini pernah terjadi dalam kemenangan Fidel Ramos di Filipina dengan hanya mengantongi 25% suara dari tujuh calon lainnya. Sistem kedua, yaitu Sistem Pemiiihan Presiden Dua Putaran ( Two Round Systems) yang dilakukan dengan mengadakan pemiiihan putaran kedua, jika tidak ada calon yang mayoritas dalam putaran pertama. Variasi sistem dua putaran ini di antaranya dengan mempertarungkan dua calon terkuat (,majority runoff) atau antara lebih dua calon (majority-plurality). Pemiiihan presiden dengan sistem dua putaran ini dapat menghindarkan calon terpilih dengan perolehan suara yang kecil sekaligus memperbesar legitimasi atas pasangan presiden dan wakil presiden terpilih. Sistem pemiiihan presiden ketiga adalah preferential voting, dengan jalan menggabungkan putaran pertama dan kedua menjadi satu pemiiihan saja. Dalam sistem ini, pemilih dapat memberi pilihan tidak hanya pada pilihan pertama mereka, namun mereka dapat memberi pilihan kedua dan ketiganya dengan memberi angka 1, 2, 3, di samping nama calon. Apabila seorang calon mendapatkan suara mayoritas absolut (50%+1) pada pilihan pertama, mereka langsung dinyatakan terpilih. Jika tidak, calon yang mendapatkan suara mayoritas absolut, maka semua calon kecuali dua calon teratas harus dicoret dari daftar. Suara pilihan kedua dan ketiganya dialihkan kepada salah satu dari dua calon teratas tadi, menurut urutan yang sudah tercatat dalam kertas suara. Siapa saja yang memperoleh jumlah suara yang terbanyak pada akhir proses dinyatakan terpilih. Cara ini menghemat biaya dan lebih efisien.
Atas dasar pertimbangan bahwa presiden dan wakil presiden harus memiliki legitimasi yang kuat sekaligus mewakili kepentingan seluruh rakyat Indonesia, maka altematif sistem dua putaran digunakan dalam pemiiihan presiden dan wakil presiden di Indonesia pada tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang pemiiihan umum presiden dan wakil presiden, pasangan calon dapat langsung ditetapkan sebagai pemenang pada putaran pertama, jika mereka mendapatkan lebih dari 50% suara dalam pemiiihan dengan sedikitnya 20% suara di tiap-tiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia (Pasal 66 ayat 2). Dalam putaran pertama ini pemiiihan diikuti oleh pasangan calon Wiranto-Solahudin Wahid, Megawati Soekamoputri-Hasyim Muzadi, Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Amien Rais-Siswono Judohusodo dan pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Dari hasil putaran pertama pemilu presiden dan wakil presiden ternyata tidak ada pasangan yang dapat memenuhi ketentuan pasal 66 ayat 2 di atas. Oleh karena itulah dilakukan pemiiihan putaran kedua. Dalam penetapan peserta pemilu putaran kedua ini ditetapkan prinsip majority-runoff dengan diikuti oleh dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pada putaran pertama. Akhimya putaran kedua pemilu, diikuti oleh pasangan calon Megawati Soekamoputri-Hasyim Muzadi dan Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Putaran kedua ini dimenangkan oleh pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, sehingga mereka ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.



0 komentar:

Posting Komentar