Rabu, 15 Oktober 2014

Pembagian Kekuasaan Di Indonesia (checks and Balances Otonomi Derah)




Pembagian Kekuasaan di Indonesia (Checks and Balances dan Otonomi Daerah)

Sebelum dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dalam ketiga Undang-Undang Dasar Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin pemisahan kekuasaan dianut, namun menganut sistem pembagian kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian Bab dalam Undang-Undang Dasar 1945, seperti Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh menteri-menteri, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman.
Oleh karena sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial, maka kabinet tidak bertanggung jawab pada Dewan Perwakilan Rakyat, oleh karena itu tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat selama masa jabatannya. Sebaliknya, Presiden juga tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana halnya dalam sistem parlementer di India dan Inggris. Presiden sebagai penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, di mana dia menjadi Mandatarisnya. Para menteri tidak dibenarkan menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, garis besarnya, ciri-ciri pembagian kekuasaan terlihat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pada masa Demokrasi Terpimpin ada usaha untuk meninggalkan gagasan pembagian kekuasaan tersebut. Pemikiran ini jelas dari ucapan Presiden Soekarno, antara lain pada upacara pelantikan menteri Kehakiman tanggal 12 Desember 1963 yang menyatakan bahwa “setelah kita kembali kc Undang-Undang Dasar 1945, Trias palitica kita tinggalkan sebab asalnya datang dari sumber-sumber liberalisme”. Penolakan asas Trias politica
(dalam arti pembagian kekuasaan) selanjutnya dituangkan dalam bentuk

yang lebih resmi, yaitu dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, di mana Penjelasan Umum berbunyi: “Trias politica tidak mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional Indonesia. Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi harus dapat melakukan campur tangan atau turun tangan dalam pengadilan, yaitu dalam hal-hal tertentu”.
Jelas bahwa undang-undang ini sangat tidak sesuai dengan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (mengenai Pasal 24 dan 25) yang mengatakan bahwa “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”. Penolakan asas pembagian kekuasaan juga terlihat  dalam kedudukan anggota pimpinanDewan
Perwakilan Rakyat Gotong-Royong dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang diberi   kedudukan sebagai menteri,sehingg dengan
demikian kedudukan anggota pimpinan ini menjadi kabur, karena selain menjadi bagian dari badan legislatif, juga menjadi bagian dari badan eksekutif. Jabatan Ketua Mahkamah Agung diberi status menteri,          dengan demikian dia juga menjadi pembantu presiden di samping sebagai bagian dari
badan yudikatif.
Pada masa Orde Baru kepincangan-kepincangan ini telah diupayakan untuk diluruskan. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 telah diganti dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Prinsip kebebasan kehakiman telah diupayakan untuk dihidupkan kembali. Namun, selama masa Orde Baru pun praktik pembagian kekuasaan dalam arti dijalankannya mekanisme checks and balances di antara ketiga lembaga tinggi negara tidak dijalankan secara seimbang. Kendati Undang-Undang Dasar 1945 dan aturan hukum di tingkat undang-undang memberi kebebasan dan kewenangan di masing-masing lembaga tersebut, namun terlihat betapa dominannya kekuasaan lembaga eksekutif atas lembaga-lembaga lainnya. Dominasi, eksekutif ini terjadi karena berjalannya mekanisme pengangkatan atas lebih dari sebagian besar anggota badan legislatif. Dominasi badan eksekutif (Presiden) juga terjadi dengan berlangsungnya kekuasaan partai mayoritas (Golkar) selama periode kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Partai ini memiliki hubungan struktural dengan Presiden sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar. Di samping itu, terdapat Fraksi ABRI yang keanggotaannya melalui jalur pengangkatan, dan Presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI memiliki akses untuk menentukan proses pengangkatan tersebut. DPR periode 1987-1992 tercatat dari 500 anggota DPR, 100 di antaranya menduduki kursi legislatif lewat ekanisme pengangkatan Presiden. Belum lagi, jika kita memperhatikan pengangkatan sebagian anggota MPR lewat utusan daerah dan golongan, dimana Presiden memiliki kewenangan dalam hal tersebut, Di sisi lain dalam itannya dengan lembaga kehakiman, Mahkamah Agung merupakan lembaga yang hakim-hakimnya diangkat oleh Presiden. Dominasi kekuasaan Presiden juga terjadi karena tidak adanya pembatasan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pembatasan masa jabatan Presiden.
A.      CHECKS AND BALANCES
Beberapa penyimpangan dan kendala dalam menciptakan pembagian kekuasaan yang sehat dan seimbang dalam aturan ketatanegaraan menjadi salah satu alasan untuk dilakukannya amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan (amandemen) atas Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan secara bertahap, ketiga Bab penting yang mengatur kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi negara tersebut mengalami penyesuaian. Dalam Bab III dijelaskan mengenai kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan pemerintahan. Presiden juga berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, serta menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Demikian pula halnya dengan masa jabatan Presiden telah dibatasi selama maksimal 10 tahun (2 periode), kecuali kalau seorang presiden memperoleh jabatan karena menggantikan Presiden yang diberhentikan MPR atau yang meninggal dunia sebelum selesai masa jabatannya, atau yang mengalami “permanently incapacitate” (secara permanen tidak mampu karena sakit). Dalam hal pelaksanaan kekuasaan, Presiden telah dibatasi secara tegas untuk dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Wewenang pemberhentian Presiden ini dimiliki oleh MPR atas usul Dewan Perwakilan Rakyat setelah mengajukan usul pada Mahkamah Konstitusi yang memutuskan pendapat benar tidaknya, Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 juga secara tegas menjelaskan; bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam hal kewenangan Presiden lainnya, harus mendapat persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung, misalnya dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Sementara itu dalam pernyataan perang, perdamaian, perjanjian dengan negara lain, Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; juga dalam hal pengangkatan duta dan konsul, serta pemberian amnesti dan abolisi harus

mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal-hal tersebut dilakukan untuk memperjelas batasan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh Presiden agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana terjadi di masa lalu.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang dan menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Untuk menjalankan fungsinya, Dewan Perwakilan Rakyat memiliki hak-hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 juga mengamanatkan penguatan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dan menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Setidaknya terdapat tiga lembaga penting untuk menjalankan kekuasaan kehakiman ini. Pertama, Mahkamah Agung berwenang melakukan pengujian peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang terhadap undang-undang. Kedua, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan menjaga kehormatan hakim. Ketiga, Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan uji materiil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan putusan atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam hal mekanisme pengangkatan para hakim Agung dan hakim konstitusi melibatkan peranan lembaga-lembaga tinggi negara. Hakim Agung misalnya diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan Presiden. Sementara untuk hakim konstitusi, keanggotaannya diajukan oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Dengan demikian, lembaga kehakiman benar-benar diharapkan menjadi kekuasaan yang merdeka, bebas rdari campur tangan lembaga negara lainnya dan dapat menjadi penjaga konstitusi.
Upaya untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan dalam mekanisme checks and balances tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh satu lembaga negara. Untuk hal itu diperlukan kejelasan mengenai wewenang, pembatasan kekuasaan, serta kewenangan untuk mengawasi antara satu lembaga negara terhadap lembaga negara lainnya.
Pembahasan selanjutnya mengenai pembagian kekuasaan di Indonesia alah tentang  otonomi daerah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa
kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara, yakni pertama, secara horisontal menurut fungsi lembaga-lembaga negara, dan kedua adalah secara vertikal dalam arti pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Pembahasan pembagian kekuasaan secara horisontal di Indonesia telah dijelaskan di atas, dalam interaksi checks and balances antara lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif di Indonesia. Sementara pembagian kekuasaan secara vertikal akan dijelaskan dengan penjelasan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Jika kita mempelajari pengalaman otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan maupun federasi di Indonesia maka kita dapat melacak dari berbagai ketentuan hukum yang diberlakukan untuk mengatur masalah tersebut. Dalam sejarah nasional Indonesia, masalah otonomi daerah telah menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang. Mereka memiliki aturan dan sistem yang diterapkan bagi koloninya Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda misalnya menerapkan Undang- Undang Desentralisasi (Décentralisatiewet) Tahun 1903, dengan pemberian kewenangan keuangan dan dewan perwakilan rakyat daerah (raad). Namun demikian, bentuk desentralisasi yang diberikan kepada daerah tersebut masih sangat terbatas karena masih dibatasinya kewenangan daerah dan terbatasnya kekuasaan pemerintah daerah pada pemerintah pusat. Semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga kini telah diterapkan setidaknya 6 undang-undang yang berkaitan dengan pemerintahan daerah dalam berbagai sistem politik yang dianut di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 secara jelas memberikan tempat bagi diaturnya pemerintahan daerah beserta sistemnya dalam kerangka negara kesatuan. Hal ini diperkuat dengan keputusan PPKI pada 19 Agustus 1945 yang untuk sementara menetapkan pembagian wilayah Republik Indonesia ke dalam delapan daerah administratif yang disebut Provinsi. Masing-masing Provinsi dibagi ke dalam Karesiden, Kooti (Yogyakarta dan Surakarta), serta Kota. Berkaitan dengan pentingnya pemerintahan di daerah, maka pada 23 November 1945 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan pada badan legislatif daerah untuk mengadakan peraturan- peraturan untuk kepentingan daerahnya (otonomi), dan merupakan pertolongan kepada pemerintah atasan untuk menjalankan peraturan- peraturan pemerintah itu, serta membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh undang-undang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu harus disahkan terlebih dulu oleh pemerintah atasan.
Sesuai perkembangan keadaan dan tuntutan akan otonomi daerah yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, maka diundangkanlah Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948. Undang-undang ini pada dasarnya memberikan hak otonomi rasional pada daerah untuk mempercepat kemajuan rakyatnya. Daerah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu Provinsi (Daerah Tingkat I), Kabupaten dan Kota Besar (Daerah Tingkat II), dan Desa (Kota Kecil, Marga, Negeri) bagi Daerah Tingkat III.
Dengan disepakatinya persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 maka sistem pemerintahan menganut suatu sistem federal dengan adanya Republik Indonesia Serikat. Republik Indonesia Serikat terdiri dari 15 negara bagian (disebut daerah bagian) dan “saling sama martabat” (equal status) dan “saling sama hak” (equal rights). Secara formal bentuk federal bersifat sempurna, karena:
1.         kekuasaan pemerintah federal dirinci satu persatu, dan dana kekuasaan terletak pada negara bagian (Undang-Undang Dasar Pasal 151);
2.         bila timbulnya pertentangan antara undang-undang federal dengan undang-undang negara bagian, maka Mahkamah Agung Federal mempunyai wewenang untuk menyelesaikannya dan keputusannya mengikat kedua belah pihak (Undang-Undang Dasar Pasal 48).
B.       OTONOMI
Dengan demikian Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tidak dapat diberlakukan di seluruh Nusantara, tetapi hanya berlaku di wilayah Republik Indonesia yang berstatus sebagai negara bagian, dan wilayah yang tercakup dalam negara bagian Republik Indonesia mencakup Jawa, Madura, Sumatera (tanpa Sumatera Timur), dan Kalimantan. Atas dasar keinginan kuat untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dibentuklah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan cara membubarkan Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini terjadi pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukan juga UndangrUndang Dasar Sementara 1950. Dalam Undang- Undang Dasar Sementara 1950 Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 131 dijelaskan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang didesentralisasikan. Untuk melaksanakan amanat tersebut maka diberlakukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah. Menurut Josep Riwu Kaho dalam bukunya “Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia", (2002), Undang-Undang ini adalah yang pertama kali memperkenalkan konsepsi otonomi yang riil, yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang tentang pemerintahan daerah/di daerah yang menyusul kemudian dengan beberapa variasinya. Dasar pemikiran dari konsepsi ini adalah “kenyataan kehidupan masyarakat itu penuh dinamika dan pertumbuhan”. Untuk pemberian otonomi, maka dicari rumusan yang bersifat umum, tetapi cukup menjamin kesempatan bagi daerah untuk menunaikan tugasnya sesuai bakat dan kesanggupannya. Undang-undang ini tidak menetapkan secara tegas apa yang termasuk urusan rumah tangga daerah dan mana yang tergolong urusan pemerintah pusat. Undang-undang ini menyatakan bahwa yang termasuk urusan pemerintah pusat adalah segala urusan yang menurut peraturan perundang-undangan ditugaskan sendiri oleh pusat kepada dirinya sendiri, dan sisa dari “urusan pusat dan kepentingan umum/nasional” adalah urusan dan kepentingan rumah tangga daerah. Dengan demikian, undang-undang ini menerapkan konsepsi residu urusan pusat merupakan urusan rumah tangga daerah.
Setelah mengalami kembali perubahan sistem politik ke dalam Demokrasi Terpimpin, maka sistem ketatanegaraan kita kembali mendasarkan dirinya pada Undang-Undang Dasar 1945. Untuk masalah daerah Pemerintahan Demokrasi Terpimpin menerapkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965. Undang-Undang kembali membagi daerah otonom dalam tiga tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten/kotamadya, serta kecamatan/ kotamadya. Namun demikian, Undang-Undang ini masih dianggap memiliki kelemahan mendasar. Menurut The Liang Gie dalam buku “Kumpulan Pembahasan Terhadap Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah", di antara kekurangan tersebut adalah kaburnya tentang apa yang menjadi urusan rumah tangga daerah serta kecenderungan penyeragaman dalam penerapan desentralisasi di Indonesia.
Di masa pemerintahan Orde Baru, masalah otonomi daerah dijelaskan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa otonomi daerah merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Untuk melaksanakan hal itu dikenal dua asas yaitu desentralisasi dan dekonsentrasi, dengan lebih menekankan pada asas aspek keserasian. Titik berat otonomi dalam undang-undang ini adalah Daerah Tingkat II.

Seiring dengan proses reformasi dalam sistem politik setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru, maka konsepsi otonomi daerah ditinjau kembali. Praktik penyelenggaraan otonomi daerah di masa lampau yang tidak memberikan peluang pengembangan daerah menjadi titik tolak dilakukannya reformasi mengenai pemerintahan daerah. Dengan demikian diberlakukanlah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dasar pemikiran undang-undang ini dijelaskan bahwa pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah di masa lampau yang nyata dan bertanggung jawab, lebih menekankan pada otonomi yang merupakan kewajiban daripada hak. Maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
 Otonomi daerah yang dijanjikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah adalah suatu otonomi luas yang memberikan kepada daerah hak untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan tertentu di bidang lainnya.
Dalam menentukan kewenangan yang dimiliki oleh daerah, berlaku teori residu, kewenangan daerah merupakan sisa dari semua kewenangan setelah dikurangi lima kewenangan yang dimiliki Pemerintah Pusat. Dengan demikian, kewenangan yang dimiliki daerah tidak terhingga, sehingga setiap daerah dapat menyelenggarakan kewenangan sebanyak-banyaknya tergantung kebutuhan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, sistem otonomi luas yang dianut oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dapat dikatakan otonomi yang dimiliki daerah adalah suatu otonomi yang lebih sempurna, karena dana kekuasaan (reserve of powers) terletak pada daerah. Hal ini dapat dilihat dari dirincinya kewenangan yang dimiliki Pemerintah Pusat.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan pengaruh yang sangat besar atas kelangsungan daerah. Besarnya kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri menjadi aspek positif dari undang-undang ini. Dengan demikian, diharapkan tujuan pemberian otonomi daerah agar lebih mendekatkan pemerintah daerah kepada masyarakatnya dapat terwujudkan. Namun dalam pelaksanaannya, undang-undang ini juga dianggap memiliki beberapa kelemahan. Tidak siapnya infrastruktur di daerah serta lemahnya pemahaman atas otonomi daerah menyebabkan munculnya aspek-aspek negatif dari otonomi daerah. Aspek negatif yang sering terlihat adalah otonomi yang berwujud pemindahan kekuasaan yang otoritatif ke daerah dan menciptakan “raja-raja” kecil di daerah. Atas dasar kelemahan,, itulah, muncul pemikiran untuk mencoba menggulirkan perubahan atas undang-undang tersebut. Pada 11 Desember 2003, pihak DPR telah mengajukan usul inisiatif dengan pengajuan RUU Perubahan Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 tersebut. Namun demikian, di kalangan pemerintah sendiri terdapat perbedaan cara pandang atas perubahan tersebut. Pihak DPR lebih menginginkan penekanan perubahan atas undang-undang tersebut lebih dulu menyangkut pengaturan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sementara pihak pemerintah, lebih menginginkan revisi menyeluruh atas undang-undang tersebut. Hingga akhir masa jabatan DPR di tahun 2004, perubahan atas undang-undang tersebut tidak berhasil dilakukan.


0 komentar:

Posting Komentar