Pembagian Kekuasaan di
Indonesia (Checks and Balances dan Otonomi Daerah)
Oleh karena sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial,
maka kabinet tidak bertanggung jawab pada Dewan Perwakilan Rakyat, oleh karena
itu tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat selama masa jabatannya.
Sebaliknya, Presiden juga tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana halnya dalam sistem parlementer di India dan Inggris. Presiden sebagai
penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi tunduk dan bertanggung jawab
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, di mana dia menjadi Mandatarisnya. Para
menteri tidak dibenarkan menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, garis
besarnya, ciri-ciri pembagian kekuasaan
terlihat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pada masa Demokrasi Terpimpin ada usaha untuk meninggalkan gagasan
pembagian
kekuasaan tersebut. Pemikiran ini jelas dari ucapan Presiden Soekarno,
antara lain pada upacara pelantikan menteri Kehakiman tanggal 12 Desember 1963
yang menyatakan bahwa “setelah kita kembali kc Undang-Undang Dasar 1945, Trias palitica kita tinggalkan sebab asalnya datang dari sumber-sumber
liberalisme”. Penolakan asas Trias politica
(dalam arti pembagian kekuasaan) selanjutnya dituangkan dalam bentuk
yang lebih resmi, yaitu dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1964
Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, di mana Penjelasan Umum
berbunyi: “Trias
politica tidak mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional
Indonesia. Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi harus dapat melakukan campur
tangan atau turun tangan dalam pengadilan, yaitu dalam hal-hal tertentu”.
Jelas bahwa undang-undang ini sangat tidak sesuai dengan
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (mengenai Pasal 24 dan 25) yang mengatakan
bahwa “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah”. Penolakan asas pembagian kekuasaan juga
terlihat dalam kedudukan anggota pimpinanDewan
Perwakilan Rakyat Gotong-Royong dan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara yang diberi kedudukan sebagai menteri,sehingg dengan
demikian kedudukan anggota pimpinan ini menjadi kabur, karena
selain menjadi bagian dari badan legislatif, juga menjadi bagian dari badan eksekutif.
Jabatan Ketua Mahkamah Agung diberi status
menteri, dengan demikian dia juga menjadi pembantu
presiden di samping sebagai bagian dari
badan yudikatif.
Pada
masa Orde Baru kepincangan-kepincangan ini telah diupayakan untuk diluruskan.
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 telah diganti dengan Undang-Undang No. 14 Tahun
1970. Prinsip kebebasan kehakiman telah diupayakan untuk dihidupkan kembali.
Namun, selama masa Orde Baru pun praktik pembagian kekuasaan dalam arti
dijalankannya mekanisme checks and balances
di antara ketiga lembaga tinggi negara tidak dijalankan secara seimbang.
Kendati Undang-Undang Dasar 1945 dan aturan hukum di tingkat undang-undang
memberi kebebasan dan kewenangan di masing-masing lembaga tersebut, namun
terlihat betapa dominannya kekuasaan lembaga eksekutif atas lembaga-lembaga
lainnya. Dominasi, eksekutif ini terjadi karena berjalannya mekanisme
pengangkatan atas lebih dari sebagian besar anggota badan legislatif. Dominasi
badan eksekutif (Presiden) juga terjadi dengan berlangsungnya kekuasaan partai
mayoritas (Golkar) selama periode kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Partai ini
memiliki hubungan struktural dengan Presiden sebagai Ketua Dewan Pembina
Golkar. Di samping itu, terdapat Fraksi ABRI yang keanggotaannya melalui jalur
pengangkatan, dan Presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI memiliki akses untuk
menentukan proses pengangkatan tersebut. DPR periode 1987-1992 tercatat dari
500 anggota DPR, 100 di antaranya menduduki kursi legislatif lewat ekanisme
pengangkatan Presiden. Belum lagi, jika kita memperhatikan pengangkatan
sebagian anggota MPR lewat utusan daerah dan golongan, dimana Presiden memiliki
kewenangan dalam hal tersebut, Di sisi lain dalam itannya dengan lembaga
kehakiman, Mahkamah Agung merupakan lembaga yang hakim-hakimnya diangkat oleh
Presiden. Dominasi kekuasaan Presiden juga terjadi karena tidak adanya
pembatasan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pembatasan masa
jabatan Presiden.
A. CHECKS AND BALANCES
Beberapa penyimpangan dan kendala dalam menciptakan pembagian
kekuasaan yang sehat dan seimbang dalam aturan ketatanegaraan menjadi salah
satu alasan untuk dilakukannya amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan (amandemen) atas Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan secara
bertahap, ketiga Bab penting yang mengatur kekuasaan di antara lembaga-lembaga
tinggi negara tersebut mengalami penyesuaian. Dalam Bab III dijelaskan mengenai
kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan pemerintahan. Presiden juga berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, serta menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Demikian pula
halnya dengan masa jabatan Presiden telah dibatasi selama maksimal 10 tahun (2
periode), kecuali kalau seorang presiden memperoleh jabatan karena menggantikan
Presiden yang diberhentikan MPR atau yang meninggal dunia sebelum selesai masa
jabatannya, atau yang mengalami “permanently incapacitate” (secara permanen tidak mampu karena sakit). Dalam hal pelaksanaan
kekuasaan, Presiden telah dibatasi secara tegas untuk dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya. Wewenang pemberhentian Presiden ini dimiliki oleh MPR atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat setelah mengajukan usul pada Mahkamah Konstitusi
yang memutuskan pendapat benar tidaknya, Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 juga secara tegas menjelaskan; bahwa Presiden tidak
dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam hal kewenangan Presiden lainnya, harus mendapat persetujuan
dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung, misalnya dalam hal
pemberian grasi dan rehabilitasi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung. Sementara itu dalam pernyataan perang, perdamaian, perjanjian
dengan negara lain, Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat; juga dalam hal pengangkatan duta dan konsul, serta pemberian amnesti
dan abolisi harus
mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal-hal tersebut
dilakukan untuk memperjelas batasan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh
Presiden agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana terjadi di
masa lalu.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kekuasaan untuk
membentuk undang-undang dan menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan. Untuk menjalankan fungsinya, Dewan Perwakilan Rakyat memiliki
hak-hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat. Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 juga mengamanatkan penguatan kekuasaan kehakiman
sebagai kekuasaan yang merdeka dan menjalankan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Setidaknya terdapat tiga lembaga penting untuk menjalankan
kekuasaan kehakiman ini. Pertama, Mahkamah Agung berwenang melakukan pengujian
peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang terhadap undang-undang.
Kedua, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung dan menjaga kehormatan hakim. Ketiga, Mahkamah
Konstitusi yang memiliki kewenangan uji materiil undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus
pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan putusan atas
usulan Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Dalam hal mekanisme pengangkatan para hakim Agung dan hakim
konstitusi melibatkan peranan lembaga-lembaga tinggi negara. Hakim Agung
misalnya diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapat persetujuan Presiden. Sementara untuk hakim konstitusi, keanggotaannya
diajukan oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Dengan
demikian, lembaga kehakiman benar-benar diharapkan menjadi kekuasaan yang
merdeka, bebas rdari campur tangan lembaga negara lainnya dan dapat
menjadi penjaga konstitusi.
Upaya untuk menciptakan
keseimbangan kekuasaan dalam mekanisme checks and balances tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan oleh satu lembaga negara. Untuk hal itu diperlukan kejelasan mengenai wewenang, pembatasan kekuasaan,
serta kewenangan untuk mengawasi antara satu lembaga negara terhadap
lembaga negara lainnya.
Pembahasan selanjutnya
mengenai pembagian kekuasaan di Indonesia alah tentang otonomi daerah.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa
kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara, yakni pertama, secara
horisontal
menurut fungsi lembaga-lembaga negara, dan kedua adalah secara
vertikal dalam arti pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan.
Pembahasan pembagian kekuasaan secara horisontal di Indonesia telah dijelaskan
di atas, dalam interaksi checks and balances antara
lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif di Indonesia.
Sementara pembagian kekuasaan secara vertikal akan dijelaskan dengan penjelasan
mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Jika kita mempelajari pengalaman otonomi daerah dalam kerangka
negara kesatuan maupun federasi di Indonesia maka kita dapat melacak dari
berbagai ketentuan hukum yang diberlakukan untuk mengatur masalah tersebut.
Dalam sejarah nasional Indonesia, masalah otonomi daerah telah menjadi
perhatian tersendiri bagi pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang. Mereka
memiliki aturan dan sistem yang diterapkan bagi koloninya Indonesia. Pemerintah
kolonial Belanda misalnya menerapkan Undang- Undang Desentralisasi (Décentralisatiewet) Tahun 1903, dengan pemberian kewenangan keuangan dan dewan
perwakilan rakyat daerah (raad). Namun demikian, bentuk
desentralisasi yang diberikan kepada daerah tersebut masih sangat terbatas
karena masih dibatasinya kewenangan daerah dan terbatasnya kekuasaan pemerintah
daerah pada pemerintah pusat. Semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga kini
telah diterapkan setidaknya 6 undang-undang yang berkaitan dengan pemerintahan
daerah dalam berbagai sistem politik yang dianut di Indonesia. Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 18 secara jelas memberikan tempat bagi diaturnya pemerintahan
daerah beserta sistemnya dalam kerangka negara kesatuan. Hal ini diperkuat
dengan keputusan PPKI pada 19 Agustus 1945 yang untuk sementara menetapkan
pembagian wilayah Republik Indonesia ke dalam delapan daerah administratif yang
disebut Provinsi. Masing-masing Provinsi dibagi ke dalam Karesiden, Kooti
(Yogyakarta dan Surakarta), serta Kota. Berkaitan dengan pentingnya
pemerintahan di daerah, maka pada 23 November 1945 diundangkanlah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang tersebut memberikan kewenangan pada badan legislatif daerah untuk
mengadakan peraturan- peraturan untuk kepentingan daerahnya (otonomi), dan
merupakan pertolongan kepada pemerintah atasan untuk menjalankan peraturan-
peraturan pemerintah itu, serta membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh undang-undang umum, dengan ketentuan bahwa
peraturan itu harus disahkan terlebih dulu oleh pemerintah atasan.
Sesuai perkembangan keadaan dan tuntutan akan otonomi daerah yang
diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, maka diundangkanlah Undang- Undang Nomor
22 Tahun 1948. Undang-undang ini pada dasarnya memberikan hak otonomi rasional
pada daerah untuk mempercepat kemajuan rakyatnya. Daerah dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu Provinsi (Daerah Tingkat I), Kabupaten dan Kota Besar (Daerah
Tingkat II), dan Desa (Kota Kecil, Marga, Negeri) bagi Daerah Tingkat III.
Dengan disepakatinya persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada
27 Desember 1949 maka sistem pemerintahan menganut suatu sistem federal dengan
adanya Republik Indonesia Serikat. Republik Indonesia Serikat terdiri dari 15
negara bagian (disebut daerah bagian) dan “saling sama martabat” (equal status) dan “saling sama hak” (equal rights). Secara formal bentuk federal bersifat sempurna, karena:
1.
kekuasaan pemerintah federal dirinci satu
persatu, dan dana kekuasaan terletak pada negara bagian (Undang-Undang Dasar
Pasal 151);
2.
bila timbulnya pertentangan antara
undang-undang federal dengan undang-undang negara bagian, maka Mahkamah Agung
Federal mempunyai wewenang untuk menyelesaikannya dan keputusannya mengikat
kedua belah pihak (Undang-Undang Dasar Pasal 48).
B. OTONOMI
Dengan demikian Undang-Undang No. 22
Tahun 1948 tidak dapat diberlakukan di seluruh Nusantara, tetapi hanya berlaku
di wilayah Republik Indonesia yang berstatus sebagai negara bagian, dan wilayah
yang tercakup dalam negara bagian Republik Indonesia mencakup Jawa, Madura,
Sumatera (tanpa Sumatera Timur), dan Kalimantan. Atas dasar keinginan kuat
untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dibentuklah
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan cara membubarkan Republik
Indonesia Serikat (RIS). Hal ini terjadi pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukan
juga UndangrUndang Dasar Sementara 1950. Dalam Undang- Undang Dasar
Sementara 1950 Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 131 dijelaskan bahwa Negara Republik
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang didesentralisasikan. Untuk melaksanakan
amanat tersebut maka diberlakukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah. Menurut Josep Riwu Kaho dalam bukunya “Prospek Otonomi Daerah di Negara
Republik Indonesia", (2002), Undang-Undang ini
adalah yang pertama kali memperkenalkan konsepsi otonomi yang riil, yang
kemudian diikuti oleh Undang-Undang tentang pemerintahan daerah/di daerah yang
menyusul kemudian dengan beberapa variasinya. Dasar pemikiran dari konsepsi ini
adalah “kenyataan kehidupan masyarakat itu penuh dinamika dan pertumbuhan”.
Untuk pemberian otonomi, maka dicari rumusan yang bersifat umum, tetapi cukup
menjamin kesempatan bagi daerah untuk menunaikan tugasnya sesuai bakat dan
kesanggupannya. Undang-undang ini tidak menetapkan secara tegas apa yang
termasuk urusan rumah tangga daerah dan mana yang tergolong urusan pemerintah
pusat. Undang-undang ini menyatakan bahwa yang termasuk urusan pemerintah pusat
adalah segala urusan yang menurut peraturan perundang-undangan ditugaskan
sendiri oleh pusat kepada dirinya sendiri, dan sisa dari “urusan pusat dan
kepentingan umum/nasional” adalah urusan dan kepentingan rumah tangga daerah.
Dengan demikian, undang-undang ini menerapkan konsepsi residu urusan pusat
merupakan urusan rumah tangga daerah.
Setelah mengalami kembali perubahan sistem politik ke dalam
Demokrasi Terpimpin, maka sistem ketatanegaraan kita kembali mendasarkan
dirinya pada Undang-Undang Dasar 1945. Untuk masalah daerah Pemerintahan
Demokrasi Terpimpin menerapkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965. Undang-Undang
kembali membagi daerah otonom dalam tiga tingkatan, yaitu: provinsi,
kabupaten/kotamadya, serta kecamatan/ kotamadya. Namun demikian, Undang-Undang
ini masih dianggap memiliki kelemahan mendasar. Menurut The Liang Gie dalam
buku “Kumpulan
Pembahasan Terhadap Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah", di antara kekurangan tersebut adalah
kaburnya tentang apa yang menjadi urusan rumah tangga daerah serta
kecenderungan penyeragaman dalam penerapan desentralisasi di Indonesia.
Di masa pemerintahan Orde Baru, masalah otonomi daerah dijelaskan
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa otonomi daerah merupakan
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Untuk melaksanakan hal itu dikenal
dua asas yaitu desentralisasi dan dekonsentrasi, dengan lebih menekankan pada
asas aspek keserasian. Titik berat otonomi dalam undang-undang ini adalah
Daerah Tingkat II.
Seiring dengan proses reformasi dalam sistem politik setelah
berakhirnya kekuasaan Orde Baru, maka konsepsi otonomi daerah ditinjau kembali.
Praktik penyelenggaraan otonomi daerah di masa lampau yang tidak memberikan
peluang pengembangan daerah menjadi titik tolak dilakukannya reformasi mengenai
pemerintahan daerah. Dengan demikian diberlakukanlah Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan
Daerah. Dasar pemikiran undang-undang ini dijelaskan bahwa pengalaman
penyelenggaraan otonomi daerah di masa lampau yang nyata dan bertanggung jawab,
lebih menekankan pada otonomi yang merupakan kewajiban daripada hak. Maka dalam
undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan
daerah kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang
luas,
nyata, dan bertanggung jawab.
Otonomi daerah yang dijanjikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah adalah suatu otonomi luas yang memberikan
kepada daerah hak untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan
semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan
tertentu di bidang lainnya.
Dalam menentukan kewenangan yang dimiliki oleh daerah, berlaku
teori residu, kewenangan daerah merupakan sisa dari semua kewenangan setelah
dikurangi lima kewenangan yang dimiliki Pemerintah Pusat. Dengan demikian,
kewenangan yang dimiliki daerah tidak terhingga, sehingga setiap daerah dapat
menyelenggarakan kewenangan sebanyak-banyaknya tergantung kebutuhan dan
kemampuan daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, sistem otonomi luas yang
dianut oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dapat dikatakan
otonomi yang dimiliki daerah adalah suatu otonomi yang lebih sempurna, karena
dana kekuasaan (reserve of powers)
terletak pada daerah. Hal ini dapat dilihat dari dirincinya kewenangan yang
dimiliki Pemerintah Pusat.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan pengaruh yang sangat
besar atas kelangsungan daerah. Besarnya kewenangan yang dimiliki daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri menjadi aspek positif dari undang-undang ini.
Dengan demikian, diharapkan tujuan pemberian otonomi daerah agar lebih mendekatkan
pemerintah daerah kepada masyarakatnya dapat terwujudkan. Namun dalam
pelaksanaannya, undang-undang ini juga dianggap memiliki beberapa kelemahan.
Tidak siapnya infrastruktur di daerah serta lemahnya pemahaman atas otonomi
daerah menyebabkan munculnya aspek-aspek negatif dari otonomi daerah. Aspek
negatif yang sering terlihat adalah otonomi yang berwujud pemindahan kekuasaan
yang otoritatif ke daerah dan menciptakan “raja-raja” kecil di daerah. Atas
dasar kelemahan,, itulah, muncul pemikiran untuk mencoba menggulirkan perubahan
atas undang-undang tersebut. Pada 11 Desember 2003, pihak DPR telah mengajukan
usul inisiatif dengan pengajuan RUU Perubahan Undang- Undang No. 22 Tahun 1999
tersebut. Namun demikian, di kalangan pemerintah sendiri terdapat perbedaan
cara pandang atas perubahan tersebut. Pihak DPR lebih menginginkan penekanan
perubahan atas undang-undang tersebut lebih dulu menyangkut pengaturan
pemilihan kepala daerah secara langsung. Sementara pihak pemerintah, lebih
menginginkan revisi menyeluruh atas undang-undang tersebut. Hingga akhir masa
jabatan DPR di tahun 2004, perubahan atas undang-undang tersebut tidak berhasil
dilakukan.
|
0 komentar:
Posting Komentar