Undang-Undang Dasar di Indonesia
A. PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DI INDONESIA
Jika
kita amati dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kita akan
menjumpai beberapa Undang-Undang Dasar yang memuat aturan konstitusional yang
digunakan, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar 1945,
yang berlaku mulai 18 Agustus 1945 sampai 1949.
2. Undang-Undang Dasar RIS,
yang berlaku mulai 1949-1950.
3. Undang-Undang Dasar
Sementara, yang berlaku mulai 1950-1959.
4. Undang-Undang Dasar 1945
(yang belum diamandemen), yang berlaku mulai 1959-1999.
5. Undang-Undang Dasar 1945
yang diamandemen, yang diproses dalam perubahan pertama hingga keempat sejak
1999-2002.
Apabila
kita membandingkan antara aturan-aturan konstitusional dengan praktek-praktek
penyelenggaraan pemerintahan, terlihat beberapa perbedaan, yaitu:
1.
Sesuai dengan ketentuan di
dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku mulai tanggal 18 Agustus 1945,
sistem pemerintahan Indonesia bersifat Presidensial. Dalam kedudukannya sebagai
pembantu presiden, para menteri tidak bertanggung jawab kepada lembaga
legislatif, tetapi memberikan pertanggungjawabannya kepada presiden. Selain
itu, presiden dapat disebut sebagai “eksekutif tetap” dengan pengertian bahwa
ia tidak dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif. Akan tetapi mulai bulan
November 1945, Pengumuman Badan Pekerja 11 November 1945, dan Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945, maka tanggung jawab politik terletak di
tangan para menteri. Dengan demikian, sistem pemerintahan Parlementer mulai
menggantikan sistem pemerintahan Presidensial. Keadaan ini tetap dipertahankan
sampai digantikannya Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang Dasar RIS
tahun 1949.
2. Terhadap kejadian di atas, beberapa pakar berpendapat sebagai
penyimpangan pertama atas Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi bila lebih arif dalam
menilai kejadian itu dapat dilihat beberapa hal yang melatarbelakanginya.
Beberapa faktor yang tampak mendorong penyimpangan-penyimpangan itu antara lain
peranan partai politik dan suasana perjuangan untuk mengusir penjajah.
3. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 memang tidak ada ketentuan khusus
yang mengatur partai politik, karena itu tidak mengherankan apabila ketentuan
itu harus dibuat tersendiri di luar Undang-Undang Dasar 1945. Perdebatan
mengenai partai politik dan peranannya, bermula dari ide Presiden Sukarno, yang
mengusulkan pembentukan partai nasional dalam sistem kepartaian Indonesia. Ide
ini banyak ditolak oleh pemimpin lainnya, karena dianggap bertentangan dengan
asas demokrasi. Teriebih lagi, pada waktu itu peranan partai politik dalam
rangka mengorganisasi massa untuk mengusir penjajah demikian besar. Bahkan
mulai bulan November 1945 diberikan kebebasan kepada partai politik untuk
berdiri dan berkembang.
4. Meskipun demikian di dalam menghadapi keadaan darurat, kekuasaan
pemerintah telah tiga kali diserahkan kepada Presiden. Pertama, melalui
Maklumat Presiden untuk mengatasi peristiwa penculikan beberapa anggota kabinet
oleh Persatuan Perjuangan yang tidak menyetujui perundingan dengan pihak
Belanda. Pengambilan kekuasaan ke tangan Presiden itu berlangsung dari tanggal
22 Juni sampai 2 Oktober 1946; kedua,
juga melalui Maklumat Presiden, untuk mengatasi keadaan darurat sebagai akibat
penandatanganan Persetujuan Linggarjati. Pengambilalihan kekuasaan oleh
Presiden ini berlangsung selama seminggu, mulai tanggal 27 Juni 1947 sampai 3
Juli 1947; dan ketiga melalui
suatu Undang-Undang lembaga legislatif (badan Pekerja yang bertindak atas nama
Komite Nasional) yang memberi kekuasaan penuh (plein
pouvoir) kepada Presiden selama tiga bulan, mulai 15 September
1948, untuk mengatasi peristiwa pemberontakan PKI Madiun.
5. Dalam pada itu,
Undang-Undang Dasar RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, menganut
sistem pemerintahan Parlementer. Meskipun demikian, kedua Undang-Undang Dasar
ini pun tidak mengatur partai politik. Karena masa berlakunya Undang-Undang
Dasar RIS 1949 terlalu singkat, hanya sekitar satu tahun, maka tidak banyak
praktik pemerintahan yang dapat dikemukakan. Sebaliknya, Undang- Undang Dasar
Sementara 1950, yang masa berlakunya cukup panjang, mulai tahun 1950 sampai
tahun 1959, dapat dilihat mengenai praktik penyelenggaraan pemerintahan. Di
dalam kurun waktu itu, ada upaya untuk mengadakan pemilihan umum sesuai dengan
ketentuan konstitusional, yang kemudian berhasil dilakukan pada tahun 1955.
Namun, sistem parlementer yang diterapkan pada waktu itu, pada akhirnya
dianggap mendorong ke arah ketidakstabilan politik. Ketidakstabilan itu
ditandai dengan sering terjadinya pergantian Kabinet (umur kabinet tidak lebih
dari satu tahun yakni Kabinet Wilopo dan Ali); sukarnya dicapai kata sepakat di
dalam Konstituante; dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan daerah. Karena
itulah Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 ini diganti kembali oleh
Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Sejak
saat itu hingga sekarang, berlaku kembali Undang-Undang Dasar. 1945 yang
menganut sistem pemerintahan Presidensial.
6. Pada masa penyelenggaraan
pemerintahan sejak Dekrit Presiden sampai tahun 1965, Orde Lama, sering kali
terjadi penyimpangan atas Undang- Undang Dasar 1945. Pemilihan umum tidak
berhasil diselenggarakan, sehingga lembaga-lembaga negara seperti DPA, DPR, dan
BPK serta lembaga-lembaga tertinggi MPR belum dibentuk sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945 dan masih bersifat sementara. Selain itu, penyimpangan
lain atas Undang-Undang Dasar 1945 adalah pertama,
Presiden telah menggunakan kekuasaan eksekutif dan legislatif secara
berlebihan. Karena itu tidak mengherankan apabila produk- produk legislatif
yang seharusnya berbentuk Undang-Undang hanya dituangkan dalam bentuk Penetapan
Presiden tanpa memperoleh persetujuan dari DPR; kedua,
keputusan MPRS untuk mengangkat Presiden seumur hidup, jelas bertentangan
dengan ketentuan masa jabatan lima tahun yang digariskan di dalam Undang-Undang
Dasar 1945; ketiga,
tidak diajukannya Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN)
untuk memperoleh persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran; dan keempat, Presiden
bahkan pernah membubarkan DPR (1960), karena tidak menyetujui RAPBN yang
diajukan oleh pemerintah.
7.
Praktik penyelenggaraan
pemerintahan setelah tahun 1966, Orde Baru, berusaha untuk memberikan koreksi
atas penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Tindakan koreksi itu dilakukan dengan cara-cara konstitusional, misalnya
melalui Sidang Umum MPRS ke IV (1966) dan Sidang Istimewa (1967). Sementara
pemilihan umum belum dilaksanakan, Presiden bersama-sama dengan DPR menyusun
undang-undang mengenai lembaga-lembaga negara misalnya MPR (Undang-Undang No.
16/ 1969) tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD yang kemudian diubah
dengan Undang-Undang No. 5/1975); DPA (Undang-Undang No. 3/1967 yang kemudian
disempurnakan dengan Undang-Undang No. 4/1978), Mahkamah Agung dan badan
pengadilan lainnya (Undang-Undang No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman). Setelah itu diselenggarakan pemilihan umum pada tahun-tahun 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, hingga 1999 untuk memilih anggota-anggota lembaga
perwakilan rakyat; DPR dan MPR. Selanjutnya, MPR menetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN), memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan menjalankan roda
pemerintahan sesuai dengan GBHN yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan
GBHN itulah, Presiden menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) dan
menyiapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun
berikutnya, sebagai pelaksana tahunan REPELITA. Sebagai pemegang kekuasaan
legislatif, MPR bersama-sama DPR telah menghasilkan sejumlah Undang-Undang
organik sebagai penjabaran ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945,
misalnya Undang- Undang Parpol dan Golkar, Undang-Undang Pokok Pers, Undang-
Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Perkawinan dan lain sebagainya.
Namun demikian,
berlangsungnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto
memunculkan beberapa penyimpangan pula atas kehidupan demokrasi. Dominasi
kekuasaan eksekutif atas lembaga-lembaga negara lainnya telah menyebabkan
hilangnya kontrol dan lemahnya mekanisme checks
and balances yang seharusnya dijalankan. Dominasi ini diperkuat
dengan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak membuat batasan jelas
akan masa jabatan Presiden dan mekanisme kontrol terhadapnya. Pada akhirnya,
DPR sebagai lembaga perwakilan politik rakyat lebih berperan sebagai pengesah
dan pemberi legitimasi atas kebijakan yang dibuat pemerintah. Tambahan lagi,
kekuasaan kehakiman juga tidak lepas dari campur tangan eksekutif.
Penyimpangan-penyimpangan inilah yang kemudian semakin membuat negara kita
terperosok dalam krisis perekonomian nasional yang dimulai pada tahun 1997.
Krisis yang kemudian memicu gerakan reformasi yang akhirnya berhasil menurunkan
Presiden Soeharto dari kursi Presiden pada bulan Mei 1998. Pengalaman di masa
lalu, baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru itulah yang kemudian melahirkan
pemikiran untuk melakukan amandemen atas Undang- Undang Dasar 1945.
B. AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Amandemen
atas Undang-Undang Dasar 1945 diwarnai oleh perdebatan di antara sejumlah
kalangan. Terdapat kalangan yang menolak untuk dilakukannya amandemen dengan
menganggap bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sesuatu yang sakral.
Sementara pihak yang mendukung amandemen lebih melihat pengalaman di masa lalu,
di mana Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan peluang bagi lahirnya
pemerintahan yang tidak demokratis. Menurut Ramlan Surbakti dalam buku Amandemen Konstitusi dan
Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia,
sekurang-kurangnya terdapat tiga pandangan mengenai kejadian perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai agenda reformasi. Pertama,
karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Undang-Undang Dasar yang bersifat
sementara sebagaimana dikemukakan pendiri bangsa, maka dipandang perlu
merumuskan Undang-Undang Dasar, baru. Undang-Undang Dasar baru tidaklah dengan
sendirinya baru seluruhnya, melainkan dapat saja dilakukan
dengan
mempertahankan prinsip-prinsip yang dipandang baik dari Undang- Undang Dasar
1945 yang asii. Pada kenyataannya Undang-Undang Dasar 1945 ternyata telah
terbukti gagal melahirkan sistem politik demokratik.
Kedua, pandangan yang menilai kegagalan sistem politik pada masa lalu
bukan karena Undang-Undang Dasar 1945 melainkan kesalahan penyelenggara negara
yang memanipulasi Undang-Undang Dasar 1945 demi kepentingan penguasa. Karena
itu, reformasi yang diperlukan bukan pada tataran Undang-Undang Dasar,
melainkan pada tataran perundang-undangan dan pada tataran penyelenggara
negara. Kedua pandangan ini berasal dari kalangan purnawirawan TNI, tokoh-tokoh
senior yang masih hidup, dan sejumlah politisi. Mereka yang menolak perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 juga tidak homogen karena sebagian dilatarbelakangi
oleh keprihatinan bangsa dan romantika politik masa lalu dan sebagian lagi
penolakan itu didorong oleh kepentingan jangka pendek.
Ketiga, pandangan yang menilai Undang-Undang Dasar 1945 tidak perlu
diganti melainkan diamandemen. Perubahan atau amandemen yang dilakukan
menggunakan empat patokan, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak
diubah, Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dipertahankan, Bentuk
pemerintahan Presidensial akan terus digunakan, dan perubahan pasal dan ayat
yang dilakukan harus merupakan penjabaran Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945.
Amandemen juga dilakukan dengan jalan addendum.
Artinya amandemen dilakukan dengan merubah pasal demi pasal yang
dianggap perlu dan dijadikan prioritas. Amandemen tidak dilakukan dengan
menulis ulang atau melakukan konsolidasi dan reorganisasi pasal-pasal.
Amandemen juga dilakukan dengan tidak menambah penjelasan sebagaimana
Undang-Undang Dasar 1945 yang asli. Dengan demikian rumusan-rumusan pasal dari
amandemen bersifat tuntas, dan tidak ada alternatif interpretasi.
Semua
Fraksi di MPR menawarkan dan melaksanakan pandangan yang ketiga ini. Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan dalam kurun waktu tiga tahun, sejak 1999
hingga 2002 dan sudah dilaksanakan sebanyak empat kali serta yang dilakukan
oleh MPR. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri memang menegaskan di dalam pasal 37
bahwa perubahan Undang- Undang Dasar tersebut dapat dilakukan oteh MPR dengan
mendapat dukungan 2/3 dari anggota lembaga tersebut. Proses amandemen dilakukan
dengan melalui tahap-tahap tertentu sebagai berikut:
1. Tahap pertama adalah MPR
membentuk Badan Pekerja yang terdiri dari anggota MPR yang berasal dari semua
fraksi di MPR.
2. Tahap kedua adalah Badan
Pekerja membentuk Panitia Ad-Hoc
atau PAH, dan yang diberi tanggung jawab khusus untuk melakukan persiapan guna
melakukan amandemen dibentuk PAH 1 atau Panitia Ad-
Hoc I.
3. Tahap ketiga adalah tahap
sosialisasi, di mana PAH mencari masukan dari berbagai pihak dan setelah itu
membuat draft
awal, yang biasanya dilakukan uji shahih terhadap draft tersebut guna mendapat
dukungan masyarakat.
4. Tahap keempat adalah pembahasan
yang dilakukan pada Sidang Tahunan. Pada tahap ini pembicaraan dilakukan pada
tingkat Komisi di MPR yang juga melibatkan semua Fraksi yang ada di MPR. Apa
yang sudah dibicarakan dalam PAH I Badan Pekerja MPR dapat saja didiskusikan
kembali oleh anggota-anggota Komisi di MPR. Akan tetapi biasanya kalau tidak
ada hal-hal yang sangat krusial, maka pembicaraan di tingkat Komisi berjalan
dengan lancar.
5. Tahap kelima adalah hasil
Sidang Komisi dibawa ke Sidang Pleno MPR. Pada dasarnya Sidang Pleno adalah sidang
yang melibatkan semua anggota MPR, akan tetapi tidak jarang ada anggota MPR
tidak mengikutinya dengan berbagai alasan, kecuali pada pleno pembukaan. Pada
Sidang Pleno, masing-masing Fraksi yang diwakili oleh seorang anggotanya
menyampaikan pandangannya. Bila tidak ada hal-hal yang krusial, maka apa yang
dirumuskan dalam Sidang Komisi akan tidak terlampau sulit untuk diterima dalam
Pleno oleh masing-masing Fraksi, dan terjadilah amandemen terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Afan Gaffar dalam buku Amandemen
Konstitusi dan Strategi penyelesaian Krisis Politik Indonesia
(2002), dari proses amandemen sebanyak empat kali tersebut terdapat beberapa
hal penting dalam ketatanegaraan kita yang mengalami perubahan. Perubahan-perubahan
sebut di antaranya:
1.
Pembatasan Masa Jabatan Presiden
Sebelum dilakukan
amandemen maka ada peluang seorang presiden dapat menjabat terus-menerus
sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden Soeharto karena bunyi pasal tentang
masa jabatan presiden sangat terbuka untuk dilakukan interpretasi. Dengan
amandemen itu, maka presiden Indonesia hanya dapat menjabat paling lama 10
tahun, kecuali kalau seorang presiden memperoleh jabatannya karena menggantikan
Presiden yang diberhentikan MPR atau yang meninggal dunia sebelum selesai masa
jabatannya, atau yang mengalami “permanently
incapacitate” (secara permanen tidak mampu karena sakit).
2.
Pembatasan Kekuasaan Presiden dalam Bidang
Legislasi
Dalam amandemen yang
pertama ditegaskan bahwa kekuasaan legislatif berada di tangan DPR. Sekalipun
demikian, Presiden dapat mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang kepada DPR,
dan terserah DPR untuk membicarakannya, menerima, melakukan perubahan, ataupun
menolak RUU tersebut.
3.
Usaha Membangun Mekanisme Checks andBalances
Dalam
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 diusahakan pula untuk membangun mekanisme checks and balances
antara lembaga legislatif dengan eksekutif dan yudikatif. Menurut Ramlan
Subakti dalam buku yang sama, distribusi kekuasaan yang seimbang dan saling cek
tampak pada ketegasan: (a) kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasaan membuat
Undang-Undang (pasal 20 perubahan pertama); (b) pembedaan tugas dan kewenangan
Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 dan 24C perubahan ketiga);
(c) kewenangan daerah otonom mengatur dan mengurus kepentingan sendiri dalam
bidang yang sangat luas (Pasal 18, 18A, dan 18C perubahan kedua); (d) kekuasaan
presiden yang mandiri hanya kekuasaan eksekutif sedangkan dalam bidang
legislatif dan yudikatif harus mendapat persetujuan atau setidak-tidaknya
pertimbangan dari lembaga negara lainnya; dan (e) kedudukan Komisi Pemilihan
Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri (Pasal 22E perubahan ketiga).
Kini Badan Pemeriksa Keuangan
mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya kepada DPR, karena
selain DPR menggunakan hasil kerja BPK untuk mengawasi presiden, tetapi juga
karena anggota BPK dipilih oleh DPR dengan pertimbangan DPD. Dalam perubahan
keempat, juga dijelaskan tentang penghapusan DPA dan kemudian Presiden
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan pertimbangan dan
nasihat kepada Presiden (Pasal 16 perubahan keempat). Akan tetapi, kedudukan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tidak setara dengan DPR (Pasal 22C dan 22D
perubahan ketiga) menyebabkan penerapan prinsip checks
and balances dalam distribusi kekuasaan menjadi tidak penuh.
Sistem perwakilan rakyat yang diterapkan bukan unicameral,
karena keberadaan DPD sebagai wadah keterwakilan daerah di samping DPR sebagai
wadah keterwakilan penduduk (lihat Modul tentang lembaga legislatif), tetapi
juga bukan bikameral
karena RUU hanya memerlukan persetujuan DPR (bersama Presiden).
Perubahan
Pemahaman terhadap Kedaulatan Rakyat
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dilakukan amandemen menegaskan
bahwa “kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”,
kemudian dirumuskan kembali dengan menegaskan “kedaulatan ada di tangan rakyat
dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Dasar”. Mengapa hal itu dilakukan?
Alasannya, pertama
sesuatu yang tidak pada tempatnya kedaulatan diserahkan pada sebuah lembaga
seperti itu. Kedaulatan merupakan sesuatu yang tidak dapat diserahkan atau
didelegasikan. Kedaulatan melekat pada rakyat dan oleh karena itu seharusnya
tidak diserahkan ke sebuah lembaga. Kedua,
tampaknya pengalaman pemilihan Presiden Wahid oleh MPR di mana partainya hanya
mendapat dukungan 9%
suara dalam pemilu melatarbelakangi perubahan tersebut.
Adopsi
Sistem Bikameral yang Terbatas
Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 berhasil merumuskan keberadaan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) yang memiliki kewenangan legislasi yang terbatas. Dengan demikian, untuk
pertama kalinya diperkenalkan sistem perwakilan bikameral dalam sistem politik
Indonesia kendati dalam
pengertian yang terbatas. Keterbatasan ini dikarenakan kewenangan yang dimiliki
DPD dalam legislasi tidak setara dengan kewenangan yang dimiliki DPR.
6.
Pemilihan Presiden secara Langsung
Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 telah mengubah secara fundamental sistem pemilihan presiden. Kalau
dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen Presiden dipilih MPR lewat
mekanisme yang diatur oleh lembaga tersebut. Maka dalam amandemen Undang-Undang
Dasar 1945, Presiden dan wakilnya dipilih secara langsung dan diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan umum sebelumnya
(Pasal 6A perubahan ketiga dan keempat).
7.
Mahkamah Konstitusi
Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 juga memperkenalkan lembaga baru di bidang kekuasaan yudikatif yaitu
Mahkamah Konstitusi. Kewenangan utama dari Mahkamah Konstitusi adalah melakukan
hak uji materiil (judicial
review) terhadap sejumlah produk hukum dan kebijakan pemerintah
yang dianggap tidak sesuai dengan Undang- Undang Dasar. Kewenangan lainnya yang
tidak kalah pentingnya adalah memberikan pertimbangan hukum sebelum dilakukan “impeachmenf' yang
dilakukan MPR terhadap Presiden kalau Presiden telah melakukan pengkhianatan
terhadap negara, melakukan tindak pidana besar, dan lain sebagainya.
8.
Prosedur Amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar
Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 juga menegaskan kembali proses perubahan terhadap Undang-Undang
Dasar yang tentu saja berbeda dengan apa yang dirumuskan dalam pasal yang
menyangkut perubahan Undang-Undang Dasar sebagaimana dirumuskan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dilakukan amandemen. Dalam aturan mengenai
perubahan Undang-Undang Dasar yang telah diaamandemen misalnya ditegaskan
aturan mengenai tidak dapat diubahnya bentuk
0 komentar:
Posting Komentar