Rabu, 15 Oktober 2014

Undang-undang dasar di Indonesia



Undang-Undang Dasar di Indonesia
A.      PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DI INDONESIA
Jika kita amati dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kita akan menjumpai beberapa Undang-Undang Dasar yang memuat aturan konstitusional yang digunakan, yaitu:
1.        Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku mulai 18 Agustus 1945 sampai 1949.
2.        Undang-Undang Dasar RIS, yang berlaku mulai 1949-1950.
3.        Undang-Undang Dasar Sementara, yang berlaku mulai 1950-1959.
4.        Undang-Undang Dasar 1945 (yang belum diamandemen), yang berlaku mulai 1959-1999.
5.        Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen, yang diproses dalam perubahan pertama hingga keempat sejak 1999-2002.
Apabila kita membandingkan antara aturan-aturan konstitusional dengan praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan, terlihat beberapa perbedaan, yaitu:
1.       Sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku mulai tanggal 18 Agustus 1945, sistem pemerintahan Indonesia bersifat Presidensial. Dalam kedudukannya sebagai pembantu presiden, para menteri tidak bertanggung jawab kepada lembaga legislatif, tetapi memberikan pertanggungjawabannya kepada presiden. Selain itu, presiden dapat disebut sebagai “eksekutif tetap” dengan pengertian bahwa ia tidak dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif. Akan tetapi mulai bulan November 1945, Pengumuman Badan Pekerja 11 November 1945, dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, maka tanggung jawab politik terletak di tangan para menteri. Dengan demikian, sistem pemerintahan Parlementer mulai menggantikan sistem pemerintahan Presidensial. Keadaan ini tetap dipertahankan sampai digantikannya Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang Dasar RIS tahun 1949.
2.      Terhadap kejadian di atas, beberapa pakar berpendapat sebagai penyimpangan pertama atas Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi bila lebih arif dalam menilai kejadian itu dapat dilihat beberapa hal yang melatarbelakanginya. Beberapa faktor yang tampak mendorong penyimpangan-penyimpangan itu antara lain peranan partai politik dan suasana perjuangan untuk mengusir penjajah.
3.      Dalam Undang-Undang Dasar 1945 memang tidak ada ketentuan khusus yang mengatur partai politik, karena itu tidak mengherankan apabila ketentuan itu harus dibuat tersendiri di luar Undang-Undang Dasar 1945. Perdebatan mengenai partai politik dan peranannya, bermula dari ide Presiden Sukarno, yang mengusulkan pembentukan partai nasional dalam sistem kepartaian Indonesia. Ide ini banyak ditolak oleh pemimpin lainnya, karena dianggap bertentangan dengan asas demokrasi. Teriebih lagi, pada waktu itu peranan partai politik dalam rangka mengorganisasi massa untuk mengusir penjajah demikian besar. Bahkan mulai bulan November 1945 diberikan kebebasan kepada partai politik untuk berdiri dan berkembang.
4.      Meskipun demikian di dalam menghadapi keadaan darurat, kekuasaan pemerintah telah tiga kali diserahkan kepada Presiden. Pertama, melalui Maklumat Presiden untuk mengatasi peristiwa penculikan beberapa anggota kabinet oleh Persatuan Perjuangan yang tidak menyetujui perundingan dengan pihak Belanda. Pengambilan kekuasaan ke tangan Presiden itu berlangsung dari tanggal 22 Juni sampai 2 Oktober 1946; kedua, juga melalui Maklumat Presiden, untuk mengatasi keadaan darurat sebagai akibat penandatanganan Persetujuan Linggarjati. Pengambilalihan kekuasaan oleh Presiden ini berlangsung selama seminggu, mulai tanggal 27 Juni 1947 sampai 3 Juli 1947; dan ketiga melalui suatu Undang-Undang lembaga legislatif (badan Pekerja yang bertindak atas nama Komite Nasional) yang memberi kekuasaan penuh (plein pouvoir) kepada Presiden selama tiga bulan, mulai 15 September 1948, untuk mengatasi peristiwa pemberontakan PKI Madiun.

5.        Dalam pada itu, Undang-Undang Dasar RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, menganut sistem pemerintahan Parlementer. Meskipun demikian, kedua Undang-Undang Dasar ini pun tidak mengatur partai politik. Karena masa berlakunya Undang-Undang Dasar RIS 1949 terlalu singkat, hanya sekitar satu tahun, maka tidak banyak praktik pemerintahan yang dapat dikemukakan. Sebaliknya, Undang- Undang Dasar Sementara 1950, yang masa berlakunya cukup panjang, mulai tahun 1950 sampai tahun 1959, dapat dilihat mengenai praktik penyelenggaraan pemerintahan. Di dalam kurun waktu itu, ada upaya untuk mengadakan pemilihan umum sesuai dengan ketentuan konstitusional, yang kemudian berhasil dilakukan pada tahun 1955. Namun, sistem parlementer yang diterapkan pada waktu itu, pada akhirnya dianggap mendorong ke arah ketidakstabilan politik. Ketidakstabilan itu ditandai dengan sering terjadinya pergantian Kabinet (umur kabinet tidak lebih dari satu tahun yakni Kabinet Wilopo dan Ali); sukarnya dicapai kata sepakat di dalam Konstituante; dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan daerah. Karena itulah Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 ini diganti kembali oleh Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Sejak saat itu hingga sekarang, berlaku kembali Undang-Undang Dasar. 1945 yang menganut sistem pemerintahan Presidensial.
6.        Pada masa penyelenggaraan pemerintahan sejak Dekrit Presiden sampai tahun 1965, Orde Lama, sering kali terjadi penyimpangan atas Undang- Undang Dasar 1945. Pemilihan umum tidak berhasil diselenggarakan, sehingga lembaga-lembaga negara seperti DPA, DPR, dan BPK serta lembaga-lembaga tertinggi MPR belum dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan masih bersifat sementara. Selain itu, penyimpangan lain atas Undang-Undang Dasar 1945 adalah pertama, Presiden telah menggunakan kekuasaan eksekutif dan legislatif secara berlebihan. Karena itu tidak mengherankan apabila produk- produk legislatif yang seharusnya berbentuk Undang-Undang hanya dituangkan dalam bentuk Penetapan Presiden tanpa memperoleh persetujuan dari DPR; kedua, keputusan MPRS untuk mengangkat Presiden seumur hidup, jelas bertentangan dengan ketentuan masa jabatan lima tahun yang digariskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945; ketiga, tidak diajukannya Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) untuk memperoleh persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran; dan keempat, Presiden bahkan pernah membubarkan DPR (1960), karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan oleh pemerintah.
7.       Praktik penyelenggaraan pemerintahan setelah tahun 1966, Orde Baru, berusaha untuk memberikan koreksi atas penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Tindakan koreksi itu dilakukan dengan cara-cara konstitusional, misalnya melalui Sidang Umum MPRS ke IV (1966) dan Sidang Istimewa (1967). Sementara pemilihan umum belum dilaksanakan, Presiden bersama-sama dengan DPR menyusun undang-undang mengenai lembaga-lembaga negara misalnya MPR (Undang-Undang No. 16/ 1969) tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 5/1975); DPA (Undang-Undang No. 3/1967 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 4/1978), Mahkamah Agung dan badan pengadilan lainnya (Undang-Undang No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman). Setelah itu diselenggarakan pemilihan umum pada tahun-tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, hingga 1999 untuk memilih anggota-anggota lembaga perwakilan rakyat; DPR dan MPR. Selanjutnya, MPR menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan GBHN yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan GBHN itulah, Presiden menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) dan menyiapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun berikutnya, sebagai pelaksana tahunan REPELITA. Sebagai pemegang kekuasaan legislatif, MPR bersama-sama DPR telah menghasilkan sejumlah Undang-Undang organik sebagai penjabaran ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, misalnya Undang- Undang Parpol dan Golkar, Undang-Undang Pokok Pers, Undang- Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Perkawinan dan lain sebagainya.
Namun demikian, berlangsungnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto memunculkan beberapa penyimpangan pula atas kehidupan demokrasi. Dominasi kekuasaan eksekutif atas lembaga-lembaga negara lainnya telah menyebabkan hilangnya kontrol dan lemahnya mekanisme checks and balances yang seharusnya dijalankan. Dominasi ini diperkuat dengan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak membuat batasan jelas akan masa jabatan Presiden dan mekanisme kontrol terhadapnya. Pada akhirnya, DPR sebagai lembaga perwakilan politik rakyat lebih berperan sebagai pengesah dan pemberi legitimasi atas kebijakan yang dibuat pemerintah. Tambahan lagi, kekuasaan kehakiman juga tidak lepas dari campur tangan eksekutif. Penyimpangan-penyimpangan inilah yang kemudian semakin membuat negara kita terperosok dalam krisis perekonomian nasional yang dimulai pada tahun 1997. Krisis yang kemudian memicu gerakan reformasi yang akhirnya berhasil menurunkan Presiden Soeharto dari kursi Presiden pada bulan Mei 1998. Pengalaman di masa lalu, baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru itulah yang kemudian melahirkan pemikiran untuk melakukan amandemen atas Undang- Undang Dasar 1945.
B.       AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945 diwarnai oleh perdebatan di antara sejumlah kalangan. Terdapat kalangan yang menolak untuk dilakukannya amandemen dengan menganggap bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sesuatu yang sakral. Sementara pihak yang mendukung amandemen lebih melihat pengalaman di masa lalu, di mana Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan peluang bagi lahirnya pemerintahan yang tidak demokratis. Menurut Ramlan Surbakti dalam buku Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, sekurang-kurangnya terdapat tiga pandangan mengenai kejadian perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai agenda reformasi. Pertama, karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Undang-Undang Dasar yang bersifat sementara sebagaimana dikemukakan pendiri bangsa, maka dipandang perlu merumuskan Undang-Undang Dasar, baru. Undang-Undang Dasar baru tidaklah dengan sendirinya baru seluruhnya, melainkan dapat saja dilakukan

dengan mempertahankan prinsip-prinsip yang dipandang baik dari Undang- Undang Dasar 1945 yang asii. Pada kenyataannya Undang-Undang Dasar 1945 ternyata telah terbukti gagal melahirkan sistem politik demokratik.
Kedua, pandangan yang menilai kegagalan sistem politik pada masa lalu bukan karena Undang-Undang Dasar 1945 melainkan kesalahan penyelenggara negara yang memanipulasi Undang-Undang Dasar 1945 demi kepentingan penguasa. Karena itu, reformasi yang diperlukan bukan pada tataran Undang-Undang Dasar, melainkan pada tataran perundang-undangan dan pada tataran penyelenggara negara. Kedua pandangan ini berasal dari kalangan purnawirawan TNI, tokoh-tokoh senior yang masih hidup, dan sejumlah politisi. Mereka yang menolak perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga tidak homogen karena sebagian dilatarbelakangi oleh keprihatinan bangsa dan romantika politik masa lalu dan sebagian lagi penolakan itu didorong oleh kepentingan jangka pendek.
Ketiga, pandangan yang menilai Undang-Undang Dasar 1945 tidak perlu diganti melainkan diamandemen. Perubahan atau amandemen yang dilakukan menggunakan empat patokan, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak diubah, Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dipertahankan, Bentuk pemerintahan Presidensial akan terus digunakan, dan perubahan pasal dan ayat yang dilakukan harus merupakan penjabaran Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Amandemen juga dilakukan dengan jalan addendum. Artinya amandemen dilakukan dengan merubah pasal demi pasal yang dianggap perlu dan dijadikan prioritas. Amandemen tidak dilakukan dengan menulis ulang atau melakukan konsolidasi dan reorganisasi pasal-pasal. Amandemen juga dilakukan dengan tidak menambah penjelasan sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 yang asli. Dengan demikian rumusan-rumusan pasal dari amandemen bersifat tuntas, dan tidak ada alternatif interpretasi.
Semua Fraksi di MPR menawarkan dan melaksanakan pandangan yang ketiga ini. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan dalam kurun waktu tiga tahun, sejak 1999 hingga 2002 dan sudah dilaksanakan sebanyak empat kali serta yang dilakukan oleh MPR. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri memang menegaskan di dalam pasal 37 bahwa perubahan Undang- Undang Dasar tersebut dapat dilakukan oteh MPR dengan mendapat dukungan 2/3 dari anggota lembaga tersebut. Proses amandemen dilakukan dengan melalui tahap-tahap tertentu sebagai berikut:

1.        Tahap pertama adalah MPR membentuk Badan Pekerja yang terdiri dari anggota MPR yang berasal dari semua fraksi di MPR.
2.        Tahap kedua adalah Badan Pekerja membentuk Panitia Ad-Hoc atau PAH, dan yang diberi tanggung jawab khusus untuk melakukan persiapan guna melakukan amandemen dibentuk PAH 1 atau Panitia Ad- Hoc I.
3.        Tahap ketiga adalah tahap sosialisasi, di mana PAH mencari masukan dari berbagai pihak dan setelah itu membuat draft awal, yang biasanya dilakukan uji shahih terhadap draft tersebut guna mendapat dukungan masyarakat.
4.        Tahap keempat adalah pembahasan yang dilakukan pada Sidang Tahunan. Pada tahap ini pembicaraan dilakukan pada tingkat Komisi di MPR yang juga melibatkan semua Fraksi yang ada di MPR. Apa yang sudah dibicarakan dalam PAH I Badan Pekerja MPR dapat saja didiskusikan kembali oleh anggota-anggota Komisi di MPR. Akan tetapi biasanya kalau tidak ada hal-hal yang sangat krusial, maka pembicaraan di tingkat Komisi berjalan dengan lancar.
5.        Tahap kelima adalah hasil Sidang Komisi dibawa ke Sidang Pleno MPR. Pada dasarnya Sidang Pleno adalah sidang yang melibatkan semua anggota MPR, akan tetapi tidak jarang ada anggota MPR tidak mengikutinya dengan berbagai alasan, kecuali pada pleno pembukaan. Pada Sidang Pleno, masing-masing Fraksi yang diwakili oleh seorang anggotanya menyampaikan pandangannya. Bila tidak ada hal-hal yang krusial, maka apa yang dirumuskan dalam Sidang Komisi akan tidak terlampau sulit untuk diterima dalam Pleno oleh masing-masing Fraksi, dan terjadilah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Afan Gaffar dalam buku Amandemen Konstitusi dan Strategi penyelesaian Krisis Politik Indonesia (2002), dari proses amandemen sebanyak empat kali tersebut terdapat beberapa hal penting dalam ketatanegaraan kita yang mengalami perubahan. Perubahan-perubahan sebut di antaranya:
1.                    Pembatasan Masa Jabatan Presiden
Sebelum dilakukan amandemen maka ada peluang seorang presiden dapat menjabat terus-menerus sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden Soeharto karena bunyi pasal tentang masa jabatan presiden sangat terbuka untuk dilakukan interpretasi. Dengan amandemen itu, maka presiden Indonesia hanya dapat menjabat paling lama 10 tahun, kecuali kalau seorang presiden memperoleh jabatannya karena menggantikan Presiden yang diberhentikan MPR atau yang meninggal dunia sebelum selesai masa jabatannya, atau yang mengalami “permanently incapacitate” (secara permanen tidak mampu karena sakit).
2.                    Pembatasan Kekuasaan Presiden dalam Bidang Legislasi
Dalam amandemen yang pertama ditegaskan bahwa kekuasaan legislatif berada di tangan DPR. Sekalipun demikian, Presiden dapat mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang kepada DPR, dan terserah DPR untuk membicarakannya, menerima, melakukan perubahan, ataupun menolak RUU tersebut.
3.                    Usaha Membangun Mekanisme Checks andBalances
Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 diusahakan pula untuk membangun mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dengan eksekutif dan yudikatif. Menurut Ramlan Subakti dalam buku yang sama, distribusi kekuasaan yang seimbang dan saling cek tampak pada ketegasan: (a) kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasaan membuat Undang-Undang (pasal 20 perubahan pertama); (b) pembedaan tugas dan kewenangan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 dan 24C perubahan ketiga); (c) kewenangan daerah otonom mengatur dan mengurus kepentingan sendiri dalam bidang yang sangat luas (Pasal 18, 18A, dan 18C perubahan kedua); (d) kekuasaan presiden yang mandiri hanya kekuasaan eksekutif sedangkan dalam bidang legislatif dan yudikatif harus mendapat persetujuan atau setidak-tidaknya pertimbangan dari lembaga negara lainnya; dan (e) kedudukan Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri (Pasal 22E perubahan ketiga). Kini Badan Pemeriksa Keuangan
mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya kepada DPR, karena selain DPR menggunakan hasil kerja BPK untuk mengawasi presiden, tetapi juga karena anggota BPK dipilih oleh DPR dengan pertimbangan DPD. Dalam perubahan keempat, juga dijelaskan tentang penghapusan DPA dan kemudian Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan pertimbangan dan nasihat kepada Presiden (Pasal 16 perubahan keempat). Akan tetapi, kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tidak setara dengan DPR (Pasal 22C dan 22D perubahan ketiga) menyebabkan penerapan prinsip checks and balances dalam distribusi kekuasaan menjadi tidak penuh. Sistem perwakilan rakyat yang diterapkan bukan unicameral, karena keberadaan DPD sebagai wadah keterwakilan daerah di samping DPR sebagai wadah keterwakilan penduduk (lihat Modul tentang lembaga legislatif), tetapi juga bukan bikameral karena RUU hanya memerlukan persetujuan DPR (bersama Presiden).
Perubahan Pemahaman terhadap Kedaulatan Rakyat
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dilakukan amandemen menegaskan bahwa “kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, kemudian dirumuskan kembali dengan menegaskan “kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Dasar”. Mengapa hal itu dilakukan? Alasannya, pertama sesuatu yang tidak pada tempatnya kedaulatan diserahkan pada sebuah lembaga seperti itu. Kedaulatan merupakan sesuatu yang tidak dapat diserahkan atau didelegasikan. Kedaulatan melekat pada rakyat dan oleh karena itu seharusnya tidak diserahkan ke sebuah lembaga. Kedua, tampaknya pengalaman pemilihan Presiden Wahid oleh MPR di mana partainya hanya mendapat dukungan 9% suara dalam pemilu melatarbelakangi perubahan tersebut.
Adopsi Sistem Bikameral yang Terbatas
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 berhasil merumuskan keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memiliki kewenangan legislasi yang terbatas. Dengan demikian, untuk pertama kalinya diperkenalkan sistem perwakilan bikameral dalam sistem politik

Indonesia kendati dalam pengertian yang terbatas. Keterbatasan ini dikarenakan kewenangan yang dimiliki DPD dalam legislasi tidak setara dengan kewenangan yang dimiliki DPR.
6.                    Pemilihan Presiden secara Langsung
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah mengubah secara fundamental sistem pemilihan presiden. Kalau dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen Presiden dipilih MPR lewat mekanisme yang diatur oleh lembaga tersebut. Maka dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Presiden dan wakilnya dipilih secara langsung dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan umum sebelumnya (Pasal 6A perubahan ketiga dan keempat).
7.                    Mahkamah Konstitusi
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 juga memperkenalkan lembaga baru di bidang kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi. Kewenangan utama dari Mahkamah Konstitusi adalah melakukan hak uji materiil (judicial review) terhadap sejumlah produk hukum dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan Undang- Undang Dasar. Kewenangan lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan pertimbangan hukum sebelum dilakukan “impeachmenf' yang dilakukan MPR terhadap Presiden kalau Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana besar, dan lain sebagainya.
8.                    Prosedur Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 juga menegaskan kembali proses perubahan terhadap Undang-Undang Dasar yang tentu saja berbeda dengan apa yang dirumuskan dalam pasal yang menyangkut perubahan Undang-Undang Dasar sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dilakukan amandemen. Dalam aturan mengenai perubahan Undang-Undang Dasar yang telah diaamandemen misalnya ditegaskan aturan mengenai tidak dapat diubahnya bentuk

0 komentar:

Posting Komentar