Sejarah
perkembangan badan legislatif di Indonesia, diawali dengan dibentuknya Voiksraad. Pembentukan ini menimbulkan
kesan bahwa setidak-tidaknya pemerintah kolonial rnelandaskan kebijakan yang
ditetapkannya kepada aspirasi masyarakat yang tersalur melalui wakil mereka di
dalam Voiksraad.
Voiksraad
dibentuk pada tahun 1917. Sepuluh tahun sesudah dibentuk, lembaga ini baru
mempunyai wewenang legislatif bersama Gubernur Jenderai. Sebelumnya wewenang
tersebut merupakan monopoli Gubernur Jenderal, Voiksraad hanya bersifat
formalitas. Secara operasional Voiksraad hanya dimanfaatkan untuk keperluan
pemerintah kolonial.
Pada
awal berdirinya, anggota Voiksraad berjumlah 38 orang, ditambah ketua seorang
Belanda yang ditunjuk oleh pemerintah. Partisipasi sangat terbatas. Para
pemimpin nasional berpendapat bahwa Indonesia memerlukan parlemen yang
sesungguhnya, bukan parlemen yang diwujudkan dalam bentuk Voiksraad.
A. KOMITE NASIONAL INDONESIA
PUSAT: 1945-1949
Komite
nasional ini pernah bersidang enam kali, yang pertama tanggal 29 Agustus 1945
di Jakarta dan yang terakhir pada tanggal 15 Desember 1949. Jumlah anggota yang
pertama adalah 103 orang dan pada sidang terakhir sebanyak 536 orang. Komite
Nasional Indonesia dan Badan Pekerja merupakan lambang dari dukungan rakyat
kepada perjuangan kemerdekaan. Komite Nasional Indonesia telah menyetujui 133
Rancangan Undang- Undang No. 11 Tahun 1949 tentang pengesahan Konstitusi
Republik Indonesia Serikat, mengeluarkan 6 mosi dan 3 interpelasi.
B.BADAN
LEGISLATIF INDONESIA SERIKAT: 1949-1950
Badan
legislatif ini terdiri dari dua majelis yaitu Senat yang jumlah anggotanya 32
orang dan DPR dengan jumlah anggota 146, 49 di antaranya dari Republik
Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. DPR mempunyai wewenang membuat Rancangan
Undang-Undang bersama pemerintah, juga mempunyai hak budget, hak inisiatif, hak
bertanya, hak interpelasi dan hak angket. DPR tidak mempunyai hak untuk
menjatuhkan kabinet.
Badan
ini hanya berumur setahun. Dalam masa itu telah diselesaikan 7 buah undang-undang,
yaitu di antaranya adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1950 tentang perubahan
Konstitusi Sementara R1S menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia, 16 mosi dan satu interpelasi, baik oleh Senat maupun oleh DPR.
C.DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEMENTARA (DPRS):
1950-
1956
DPRS
mempunyai anggota yang terdiri dari anggota bekas Senat Republik Indonesia
Serikat, serta anggota bekas DPR dan anggota Badan Pekeria Komite Nasional
Indonesia, anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia yang berpusat di
Yogyakarta. Badan ini mempunyai semua hak yang dimiliki lembaga legislatif
seperti yang diterangkan dalam kegiatan belajar sebelumnya.
Dewan
ini telah membicarakan 237 rancangan undang-undang dan menyetujui 167 rancangan
undang-undang tersebut menjadi Undang-undang di antaranya adalah Undang-Undang
No. 7 Tahun 1953 tentang pemilihan anggota Konstituante dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Juga telah menyetujui 21 mosi dari 82 yang diusulkan, 16
interpelasi dari 24 yang diajukan, 1 angket dan melaksanakan 2 kali hak budget.
D.DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT (HASIL PEMILU 1955): 1956-
1959
Badan
ini pada tahun 1956 beranggotakan 272 orang. Dari jumlah tersebut 60 anggota
merupakan wakil Masyumi, 58 PNI, 47 wakil NU, 32 wakil PKI dan lebihnya adalah
w'akil dari partai-partai politik lain. Jumlah fraksi ada 18 dan 2 orang wakil
yang tidak berffaksi. Wewenang yang dimiliki lembaga ini sama dengan DPR
sementara.
Lembaga
ini telah menyetujui 113 Undang-Undang dari 145 rancangan undang-undang yang
diajukan, menyetujui 2 mosi dari 8 mosi yang diusulkan serta 3 interpelasi
disetujui dari 8 interpelasi yang diusulkan.
E.BADAN LEGISLATIF PADA MASA
DEMOKRASI TERPIMPIN:1959-1966
Dengan
adanya Dekrit Presiden 1959, maka berlaku kembali Undang- Undang Dasar 1945. Sistem
pemerintahan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, di mana ditentukan sistem
presidensial, Presiden tidak dapat dijatuhkan DPR. Kedudukan kedua lembaga
tersebut sama sederajat. Anggota DPR secara otomatis menjadi anggota MPR
sebagai lembaga tertinggi negara.
Dikeluarkannya
Penetapan Presiden No.l Tahun 1959 menetapkan bahwa DPR hasil Pemilu 1955
menjalankan fungsi sebagai DPR menurut Undang-Undang Dasar 1945. DPR ini
disebut DPR Peralihan. Jumlah anggota 263 yang terdiri dari 56 dari PNI, 53
dari Masyumi, 45 dari NU, 33 anggota PKI dan lebihnya dari partai kecil
lainnya. Jumlah fraksi yang ada adalah 18 dan 4 anggota tidak berffaksi. DPR
ini dibubarkan oleh Presiden melalui PP No. 3 Tahun 1960. Wewenang yang
dimiliki sesuai dengan hak- hak DPR yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar
1945. DPR peralihan telah menghasilkan 5 buah Undang-Undang dan 2 buah usul
pemyataan pendapat.
Dengan
ditetapkannya PP No. 4 Tahun 1960, maka terbentuk DPR Gotong Royong. DPR GR ini
ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah. Perubahan fungsi ini
tercermin dalam tata tertib DPR GR yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.
14 Tahun 1960, di mana tidak terdapat hak kontrol seperti hak bertanya, hak
interpelasi, dan sebagainya.
Dalam
masa Demokrasi Terpimpin kekuasaan terpusat pada eksekutif. Badan eksekutif
mengadakan penetapan-penetapan Presiden atas dasar Dekrit 5 Juli 1959.
Keputusan politik dibuat di luar DPR-GR.
Keanggotaan
DPR-GR tidak hanya didasarkan pada partai-partai politik hasil pemilu, namun
juga keanggotaan yang didasarkan golongan karya antara lain dari angkatan
bersenjata, tani, buruh, para ulama, pemuda, koperasi, wanita, dan sebagainya.
Jumlah anggota DPR-GR adalah 283 anggota yang terdiri dari 130 anggota partai
dan 152 golongan karya. Dua partai politik dibubarkan oleh presiden yaitu
Masyumi dan PSI, oleh karena itu kedua partai tersebut tidak mempunyai wakil di
DPR-GR Demokrasi Terpimpin. Pimpinan DPR-GR diberi status menteri. Selama masa
kerjanya DPR GR telah menghasilkan 117 undang-undang.
F.DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT MASA DEMOKRASI
PANCASILA: 1966-1997
Sebelum diadakannya pemilu 1977, yaitu pada awal
berdirinya Orde Baru, tata kerja lembaga legislatif sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Jumlah anggota DPR-GR Demokrasi
Pancasila adalah 242 anggota, yang terdiri dari 102 anggota dari partai politik
dan 140 anggota dari golongan karya (termasuk ABRI).
Cara pengambilan keputusan yang dipergunakan adalah
dengan sistem musyawarah mufakat, di samping itu juga dipergunakan cara
memutuskan yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan untuk MPR yaitu dengan
suara terbanyak. Cara tersebut diadakan dua tahap, pertama dicoba mencapai
mufakat, jika tidak tercapai mufakat sedangkan persoalan amat penting maka
diadakan pemungutan suara secara rahasia dan tertulis atas sistem suara
terbanyak.
DPR-GR Demokrasi Pancasila (1966-1971) telah
menyelesaikan 82 £>uah undang-undang, 7 buah resolusi, 9 buah pernyataan
pendapat dan 1 buah angket.
Pada tanggal 3 Juli 1971 diadakan pemilihan umum.
Pemilu itu didasarkan pada Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu
Anggota Badan Perwakilan Rakyat. Selain itu didasarkan pula pada Undang- Undang
No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR dan DPRD
sejumlah 460 (100 anggota diangkat dan 360 anggota dipilih).
Organisasi badan legislatif Indonesia atau Dewan
Perwakilan Rakyat dibagi ke dalam dua penggolongan. Pertama, didasarkan
kepada partai-partai politik yang ada, dalam hal ini penggolongan tersebut
dinamakan fraksi. Ada empat fraksi, yaitu fraksi ABRI, fraksi Karya
Pembangunan, fraksi Persatuan Pembangunan, serta fraksi Demokrasi Pembangunan. Kedua,
organisasi DPR dibagi ke dalam sebelas komisi. Pembagian tersebut didasarkan
pada kebutuhan yang ada dalam masyarakat, dalam hal ini bersifat departemen,
misalnya Komisi IX menangani masalah yang termasuk dalam Departemen Agama dan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
DPR
periode 1971-1977 berhasil menetapkan 43 undang-undang (di antaranya 29 di luar
APBN). DPR periode 1977-1983 berhasil menetapkan 55 undang-undang.
Perkembangan DPR di dalam periode ini, mengalami
perubahan peranan yaitu, semakin mendekati peranan DPR sebagai pembentuk
legitimasi eksekutif ketimbang peranan lembaga sebagai penyalur aspirasi rakyat
yang diwakilinya. Selain itu, adanya penurunan produk kebijakan yang
berkelanjutan baik dari segi jumlahnya maupun variasinya. Perubahan tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena usaha untuk bermusyawarah
guna mencapai mufakat. Gaya mengambil keputusan dengan jalan mencari konsensus
selalu menyita waktu lebih banyak daripada mengambil keputusan dengan jalan
menghitung suara. Akan tetapi mungkin musyawarah lebih sesuai dengan budaya
politik Indonesia. Suatu sebab lain berasal dari dalam lembaga itu sendiri,
yaitu yang menyangkut prosedur dan tata tertib serta kurangnya fasilitas yang
dimiliki Dewan.
G.DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MASA REFORMASI
(1997-SEKARANG)
Dalam masa ini, terdapat 3 lembaga legislatif yang
dihasilkan oleh pemilihan umum. Pertama adalah DPR hasil pemilu 1997, kedua
DPR hasil pemilu 1999, serta yang terakhir adalah DPR hasil pemilu 2004. Dalam
periode ini terlihat perubahan peran dan kewenangan lembaga legislatif di
Indonesia menjadi semakin besar dan semakin menentukan dalam kehidupan politik
di Indonesia dibandingkan masa sebelumnya khususnya masa DPR Demokrasi
Pancasila. Untuk memahami peranan yang dimiliki ketiga badan legislatif di masa
reformasi tersebut, kita dapat menguraikannya satu persatu.
DPR periode 1997-1999 memiliki 500 jumlah anggota,
di mana 75 di antaranya diangkat melalui jalur ABRI. Sebanyak 425 sisanya
sebagian besar mewakili Golongan Karya. Sementara itu dalam jumlah yang sama
(sebanyak 500 orang) anggota MPR diangkat oleh Presiden untuk mewakili utusan
golongan dan utusan daerah. Praktis dari segi keanggotaan, DPR periode ini
tidak begitu berbeda dengan DPR di masa Demokrasi Pancasila, di mana sebagian
besar anggotanya menduduki jabatan anggota Dewan lewat pengangkatan Presiden.
Masalah inilah yang sering kali menjadi hambatan bagi dewan untuk menjalankan
fungsinya dalam mekanisme checks and balances dengan lembaga-lembaga
negara lainnya.
Salah satu mekanisme yang juga menghambat
optimalisasi fungsi dewan tersebut adalah tetap digunakannya mekanisme recalling
anggota DPR. Mekanisme inilah yang kemudian dijadikan alat oleh partai politik
untuk melakukan recalling terhadap anggotanya. Beberapa
anggota DPR yang pernah di-recall karena aturan tersebut antara
lain: Sri Bintang Pamungkas dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Bambang Indra
Utomo, Bambang Warih Kusumo, Marzuki Uzman, dan Mubha Kahar Muang dari Fraksi
Karya Pembangunan, serta RK Sembiring Meliala, Theo Syafei, Rukmini, dan
Syamsuddin dari Fraksi ABRI. Selain itu, terdapat juga aturan bagi para anggota
DPR yang hendak menggunakan haknya untuk mengumpulkan jumlah minimal 10 anggota
dari dua fraksi. Akibatnya inisiatif yang muncul harus selalu dikompromikan
sampai ke tingkat fraksi.
Salah
satu hasil kerja DPR periode ini adalah UU No. 31 Tahun 1999 yang menjadi dasar
pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lebih dikenai
sebagai Komisi Antikorupsi oleh pemerintah. Formulasi dan pembahasan
pembentukan Komisi Antikorupsi tersebut sebenarnya amat terlambat. Hal ini
didasarkan pada Pasal 43 yang memberi batas waktu terbentuknya Komisi
Antikorupsi paling iambat dua tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan
atau tanggal 16 Agustus 2001.
Setelah
terjadinya pergantian pimpinan nasional dengan pengunduran Presiden Soeharto
pada bulan Mei 1998 dan digantikan oleh Presiden Habibie, maka serangkaian
perubahan politik dilakukan. Di antara perubahan tersebut, agenda pelaksanaan
pemilu pada tahun 1999 menjadi salah satu yang terpenting. Akhirnya Pemilu 1999
dilaksanakan yang diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu 1999 digunakan untuk
memilih wakil rakyat di DPR, DPRD Provinsi (menggantikan sebutan DPRD I), dan
DPRD Kota/Kabupaten (menggantikan sebutan DPRD II).
Keanggotaan
DPR berjumlah 500 orang yang terdiri dari 462 orang yang dipilih melalui pemilu
dan 38 orang diangkat dari unsur TNI dan Polri. Sedangkan untuk MPR berjumlah
700 orang yang terdiri dari 500 orang anggota DPR, 66 orang utusan golongan,
130 orang utusan daerah, dan empat orang utusan eks Timor-Timur. Mengenai
anggota utusan daerah diperoleh dari perolehan suara mayoritas partai politik
di setiap provinsi. Masing- masing provinsi (kecuali Timor-Timur) mendapat
jatah lima orang untuk diutus sebagai anggota utusan daerah. Sedangkan mengenai
anggota utusan golongan ditentukan oleh KPU yang didasari dari
kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
Hasil
Pemilu 1999 memperlihatkan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)
menempati urutan pertama. Sedangkan PG (Partai Golkar) yang pada pemilu-pemilu
Orde selalu menempati posisi mayoritas harus puas di urutan ke-2. Urutan
selanjutnya adalah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PPP (Partai Persatuan
Pembangunan), PAN (Partai Amanat Nasional), dan PBB (Partai Bulan Bintang),
Jika
pada periode-p;riode Orde Baru, MPR hanya bersidang sekali dalam lima tahun
untuk menerima pertanggungjawaban presiden serta memilih presiden dan wakil
presiden. Maka hasil Pemilu 1999 mensyaratkan MPR untuk bersidang satu kali
dalam setahun atau biasa disebut dengan Sidang Tahunan MPR. Sedangkan agenda
sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden disebut Sidang Umum MPR.
Sementara itu Sidang Istimewa MPR dapat d.selenggarakan karena adanya
masalah-masalah khusus yang sifatnya darunt/mendesak.
Dalam
masa ini, MPR telah mengadakan satu kali SU (Sidang Umum), lima kali ST (Sidang
Tahiman) dan sekali SI (Sidang Istimewa). SU MPR yang berlangsung pada tahun
1999 berhasil memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati
Soekarnoputri sebagai wakil presiden. ST MPR digunakan untuk agenda amandemen
UUD 1945 (empat kali ST yaitu tahun 1999 sampai denjan 2002) dan mendengar
kegiatan-kegiatan pemerintah yang telah dan akan dijalankan. Sedangkan satu
kali SI MPR berlangsung pada tahun 2001. SI MPR diadakan karena terdapat
memorandum DPR yang mempertanyakan kinerja dan tanggung jawab Presiden
Abdurrahman Wahid mengenai pemecatan beberapa menteri (Jusuf Kalla, Laksamana
Sukardi, Ian Hamzah Haz) dan serta adanya indikasi dan dugaan terlibat
penggunaan dana nonneraca Bulog dan bantuan Sultan Brunai atau yang dikenal
dengan Bdoggate
dan Brunaigate.
Adanya SI MPR telah membuat Abdurrahman Wahid harus turun dari jabatannya
sebagai presiden. Akhirnya MPR menetapkan Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz
sebagai presiden dan wakil piesiden pada SI MPR tersebut.
Walaupun
kita menganut sistem presidensial, namun peran anggota DPR 1999 layaknya
parlemen di tegara-negara demokrasi liberal. Kinerja DPR dianggap sering
melampaji batas kewenangan dan masuk urusan pemerintahan yang semestirya
menjadi tugas badan eksekutif. Dengan demikian muncul istilah legklatif
heavy,
suatu kondisi di mana parlemen lebih berkuasa ketimbang lenbaga-lembaga negara
yang ada. Hal tersebut merupakan kebalikan dengan rondisi masa Orde Baru, badan
eksekutif lebih berkuasa, sentralistis dan ooriter atau disebut executive
heavy. Peran
berlebihan yang ditampilkan oleh satu lembaga baik executive
heavy atau legislatif
heavy dapat
mengarah terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan juga menafikan hakikat checks
and balances.
Pada
periode 1999-2004 ini, DPR menjalankan fimgsinya dengan cukup dominan. Fungsi
pengawasan terhadap eksekutif terutama dijalankan dengan dibentuknya beberapa
panitia khusus untuk menyelidiki penyalahgunaan kekuasaan atau kebijakan yang
dibuat oleh pihak eksekutif. Beberapa Undang-undang yang dihasilkan oleh DPR
periode ini seperti Paket Undang- Undang Politik (Partai Politik, Pemilu,
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD), Undang-Undang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Tentang
Pemekaran Wilayah di Daerah. Di sisi lain, DPR juga berperan aktif dalam
pembentukan Komisi Pemilihan Umum, KPKPN serta Komisi Penyiaran Indonesia.
Hingga akhir masa tugasnya di tahun 2004 beberapa rancangan undang-undang telah
menjadi pembicaraan serius namun belum berhasil diselesaikan. Di antara
rancangan undang-undang (RUU) tersebut di antaranya RUU Lembaga Kepresidenan,
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, RUU Tentang Perubahan Undang-Undang No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, serta RUU tentang Kementerian
Negara.
Pada
tanggal 5 April 2004 diadakan pemilu yang ke-9 dalam sejarah Republik
Indonesia. Pemilu 2004 tersebut diikuti oleh 24 partai politik yang terdiri
dari enam partai politik yang lolos electoral threshold pada Pemilu 1999 dan 18 partai
politik baru. Pemilu kali ini hampir sama dengan Pemilu 1999 yaitu untuk
memiiih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Bedanya, pada
Pemilu 2004 juga untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang
setiap provinsi divvakili oleh empat orang. Seiain itu, tidak ada lagi yang
anggota diangkat pada lembaga legislatif baik di pusat ataupun daerah. Juga
telah dihapuskannya utusan golongan dari keanggotaan MPR. Jadi susunan anggota
MPR terdiri atas 550 orang anggota DPR dan 128 orang anggota DPD.
Dari
pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, Partai Golkar kembali memenangkan
suara mayoritas dengan perolehan 24%. Sedangkan PDI Perjuangan yang dalam
Pemilu 1999 menempati posisi pertama harus puas dengan posisi kedua dengan
perolehan 19%. Urutan selanjutnya dalam Pemilu 2004 adalah PKB (11%), PPP
(10%), PD (7,5%), PKS (7%), dan PAN (6,5%).
Selain
itu karena susunan dan kedudukan MPR dan DPR serta DPRD telah berubah dengan diterbitkannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini menjelaskan
susunan dan kedudukan dari masing-masing lembaga legislatif yang ada, hasil
dari Pemilu 2004.
Dalam
Undang-Undang Republik RI Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD tersebut diatur secara jelas susunan kedudukan, hak,
kewajiban serta kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh lembaga legislatif di
Indonesia. MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD berdasarkan pemilu
dengan masa jabatan 5 tahun. Berdasarkan undang-undang tersebut, MPR meiniliki
tugas dan wewenang sebagai berikut:
1. mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar;
2. melantik Presiden dan Wakil
Presiden berdasarkan hasil pemiiihan unram, dalam Sidang Paripuma MPR;
3. memutuskan usul DPR berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi untuk mernberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi
kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripuma MPR;
4. melantik Wakil Presiden menjadi
Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
5. memilih Wakil Presiden dari dua
calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden
dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari.
Sementara
itu, DPR terdiri atas anggota partai politik yang dipilih dalam pemiiihan umum.
Mereka berjumlah 500 orang dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun.
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2003 tersebut, DPR memiliki tiga fungsi yakni
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi
untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan Presiden. Fungsi anggaran
adalah fungsi untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Fungsi pengawasan adalah fungsi untuk mengawasi pelaksanaan
undang-undang, APBN, dan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dalam
bidang legislasi, DPR mempunyai tugas dan wewenang:
1.
membentuk
undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
2.
membahas
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) untuk kemudian memberikan
persetujuan atau menolaknya;
3.
menerima
dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD sesuai
bidang tugasnya;
4.
memperhatikan
pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang mengenai APBN;
5.
memperhatikan
pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
Dalam
bidang anggaran, DPR mempunyai tugas dan wewenang dalam.
■
menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan ' DPD.
Sementara
itu, dalam bidang pengawasan, DPR mempunyai tugas dan wewenang:
1. mengawasi pelaksanaan
undang-undang;
2. mengawasi pelaksanaan APBN;
3. mengawasi pelaksanaan segala
kebijakan pemerintah;
4. membahas dan menindaklanjuti
hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD. Pengawasan ini meliputi pelaksanaan
Undang-undang mengenai:
otonomi
daerah; 2) pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; 3) hubungan pusat
dan daerah; 4) sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; 5) pelaksanaan
APBN; 6) pajak, pendidikan, dan agama.
Di
samping wewenang dan fungsi di atas, DPR juga mempunyai tugas dan wewenang
dalam hal:
1. memilih anggota Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
2. membahas dan menindaklanjuti
hasil pemeriksaan atas keuangan negara oleh BPK;
3. memberikan persetujuan kepada
Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
4. memberikan persetujuan calon
hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan oleh Presiden;
5. memilih tiga orang calon
anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan;
6. memberikan pertimbangan kepada
Presiden untuk mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain;
7. memberikan pertimbangan kepada
Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;
memberikan
persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang,membuat perdamaian dan
perjanjian dengan Negara lain;
8. memberikan persetujuan kepada
Presiden untuk membuat perjanjian
internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat,
yang terkait dengan beban keuangan negara dan atau pembentukan Undang-undang;
9. menyerap, menghimpun,
menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
10. melaksanakan tugas dan wewenang
lainnya yang ditentukan Undang- undang.
Untuk
optimalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga legislatif tersebut,
DPR
memiliki hak-hak sebagai berikut.
1. hak interpelasi yakni hak untuk meminta keterangan kepada
pemerintah/Presiden
mengenai kebijakan pemerintah;
2. hak angket yakni hak untuk
melakukan penyelidikan mengenai sesuatu hal;
3. hak menyatakan pendapat, baik
yang berhubungan dengan hal yang sedang hangat dibicarakan secara nasional
maupun mengenai hal lain;
4. DPRjuga memiliki hak memanggil
seseorang/badan hukum yakni untuk meminta pejabat negara, pejabat pemerintah,
badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu
hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
Sementara
itu, untuk menunjang kelancaran tugas kelembagaan, lembaga ini ditopang oleh
alat-alat kelengkapan dan alat-alat pendukung. Aiat kelengkapan DPR antara
lain: Pimpinan, Komisi, Badan Musyawarah, Badan Legislasi, Badan Urusan Rumah
Tangga, Badan Kerja sama Antar-Parlemen, Badan Kehormatan, Panitia Anggaran,
dan Alat Kelengkapan lain yang diperlukan. Selain itu, DPR juga dilengkapi
dengan alat pendukung berupa Sekretariat Jenderai (Setjen) yang ditetapkan
dengan keputusan Presiden. Personalia Setjen ini terdiri atas pegavvai negeri
sipil dan dikepalai oleh seorang Sekretaris Jenderai yang diangkat dan
diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR.
Selain
DPR, sesuai dengan semangat penerapan sistem bikamercilisme dalam lembaga legislatif di
Indonesia, dibentuklah lembaga Dewan Perwakilan Daerah. Susunan dan keanggotaan
DPD terdiri atas wakii-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilu.
Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang. Jumlah
seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 anggota DPR. DPD memiliki fungsi
pengajuan usul, ikut 'dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang
berkaitan dengan bidang legislasi tertentu (yang berkaitan dengan daerah, APBN,
pajak, pendidikan, dan agama). Mereka juga menjaiankan fungsi pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang dalam bidang-bidang tersebut. Untuk menjaiankan
fungsinya tersebut, DPD memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut
1.
DPD
dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi
lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2.
DPD
mengusuikan Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagaimana dimaksud pada ayat di atas
kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.
3.
Pembahasan
RUU sebagaimana dimaksud ayat (b) diiakukan sebelum DPR membahas Rancangan
Undang-Undang dimaksud pada ayat (a) dengan pemerintah.
0 komentar:
Posting Komentar