Senin, 13 Oktober 2014

Badan Legislatif di Indonesia





 Sejarah perkembangan badan legislatif di Indonesia, diawali dengan dibentuknya Voiksraad. Pembentukan ini menimbulkan kesan bahwa setidak-tidaknya pemerintah kolonial rnelandaskan kebijakan yang ditetapkannya kepada aspirasi masyarakat yang tersalur melalui wakil mereka di dalam Voiksraad.
Voiksraad dibentuk pada tahun 1917. Sepuluh tahun sesudah dibentuk, lembaga ini baru mempunyai wewenang legislatif bersama Gubernur Jenderai. Sebelumnya wewenang tersebut merupakan monopoli Gubernur Jenderal, Voiksraad hanya bersifat formalitas. Secara operasional Voiksraad hanya dimanfaatkan untuk keperluan pemerintah kolonial.
Pada awal berdirinya, anggota Voiksraad berjumlah 38 orang, ditambah ketua seorang Belanda yang ditunjuk oleh pemerintah. Partisipasi sangat terbatas. Para pemimpin nasional berpendapat bahwa Indonesia memerlukan parlemen yang sesungguhnya, bukan parlemen yang diwujudkan dalam bentuk Voiksraad.

A. KOMITE NASIONAL INDONESIA PUSAT: 1945-1949
Komite nasional ini pernah bersidang enam kali, yang pertama tanggal 29 Agustus 1945 di Jakarta dan yang terakhir pada tanggal 15 Desember 1949. Jumlah anggota yang pertama adalah 103 orang dan pada sidang terakhir sebanyak 536 orang. Komite Nasional Indonesia dan Badan Pekerja merupakan lambang dari dukungan rakyat kepada perjuangan kemerdekaan. Komite Nasional Indonesia telah menyetujui 133 Rancangan Undang- Undang No. 11 Tahun 1949 tentang pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, mengeluarkan 6 mosi dan 3 interpelasi.

 B.BADAN LEGISLATIF INDONESIA SERIKAT: 1949-1950
Badan legislatif ini terdiri dari dua majelis yaitu Senat yang jumlah anggotanya 32 orang dan DPR dengan jumlah anggota 146, 49 di antaranya dari Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. DPR mempunyai wewenang membuat Rancangan Undang-Undang bersama pemerintah, juga mempunyai hak budget, hak inisiatif, hak bertanya, hak interpelasi dan hak angket. DPR tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan kabinet.
Badan ini hanya berumur setahun. Dalam masa itu telah diselesaikan 7 buah undang-undang, yaitu di antaranya adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1950 tentang perubahan Konstitusi Sementara R1S menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, 16 mosi dan satu interpelasi, baik oleh Senat maupun oleh DPR.
 C.DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEMENTARA (DPRS): 1950-
1956
DPRS mempunyai anggota yang terdiri dari anggota bekas Senat Republik Indonesia Serikat, serta anggota bekas DPR dan anggota Badan Pekeria Komite Nasional Indonesia, anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Badan ini mempunyai semua hak yang dimiliki lembaga legislatif seperti yang diterangkan dalam kegiatan belajar sebelumnya.
Dewan ini telah membicarakan 237 rancangan undang-undang dan menyetujui 167 rancangan undang-undang tersebut menjadi Undang-undang di antaranya adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang pemilihan anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Juga telah menyetujui 21 mosi dari 82 yang diusulkan, 16 interpelasi dari 24 yang diajukan, 1 angket dan melaksanakan 2 kali hak budget.
 D.DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (HASIL PEMILU 1955): 1956-
1959
Badan ini pada tahun 1956 beranggotakan 272 orang. Dari jumlah tersebut 60 anggota merupakan wakil Masyumi, 58 PNI, 47 wakil NU, 32 wakil PKI dan lebihnya adalah w'akil dari partai-partai politik lain. Jumlah fraksi ada 18 dan 2 orang wakil yang tidak berffaksi. Wewenang yang dimiliki lembaga ini sama dengan DPR sementara.
Lembaga ini telah menyetujui 113 Undang-Undang dari 145 rancangan undang-undang yang diajukan, menyetujui 2 mosi dari 8 mosi yang diusulkan serta 3 interpelasi disetujui dari 8 interpelasi yang diusulkan.





E.BADAN LEGISLATIF PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN:1959-1966
Dengan adanya Dekrit Presiden 1959, maka berlaku kembali Undang- Undang Dasar 1945. Sistem pemerintahan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, di mana ditentukan sistem presidensial, Presiden tidak dapat dijatuhkan DPR. Kedudukan kedua lembaga tersebut sama sederajat. Anggota DPR secara otomatis menjadi anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Dikeluarkannya Penetapan Presiden No.l Tahun 1959 menetapkan bahwa DPR hasil Pemilu 1955 menjalankan fungsi sebagai DPR menurut Undang-Undang Dasar 1945. DPR ini disebut DPR Peralihan. Jumlah anggota 263 yang terdiri dari 56 dari PNI, 53 dari Masyumi, 45 dari NU, 33 anggota PKI dan lebihnya dari partai kecil lainnya. Jumlah fraksi yang ada adalah 18 dan 4 anggota tidak berffaksi. DPR ini dibubarkan oleh Presiden melalui PP No. 3 Tahun 1960. Wewenang yang dimiliki sesuai dengan hak- hak DPR yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. DPR peralihan telah menghasilkan 5 buah Undang-Undang dan 2 buah usul pemyataan pendapat.
Dengan ditetapkannya PP No. 4 Tahun 1960, maka terbentuk DPR Gotong Royong. DPR GR ini ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah. Perubahan fungsi ini tercermin dalam tata tertib DPR GR yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 14 Tahun 1960, di mana tidak terdapat hak kontrol seperti hak bertanya, hak interpelasi, dan sebagainya.
Dalam masa Demokrasi Terpimpin kekuasaan terpusat pada eksekutif. Badan eksekutif mengadakan penetapan-penetapan Presiden atas dasar Dekrit 5 Juli 1959. Keputusan politik dibuat di luar DPR-GR.
Keanggotaan DPR-GR tidak hanya didasarkan pada partai-partai politik hasil pemilu, namun juga keanggotaan yang didasarkan golongan karya antara lain dari angkatan bersenjata, tani, buruh, para ulama, pemuda, koperasi, wanita, dan sebagainya. Jumlah anggota DPR-GR adalah 283 anggota yang terdiri dari 130 anggota partai dan 152 golongan karya. Dua partai politik dibubarkan oleh presiden yaitu Masyumi dan PSI, oleh karena itu kedua partai tersebut tidak mempunyai wakil di DPR-GR Demokrasi Terpimpin. Pimpinan DPR-GR diberi status menteri. Selama masa kerjanya DPR GR telah menghasilkan 117 undang-undang.

F.DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MASA DEMOKRASI
PANCASILA: 1966-1997
Sebelum diadakannya pemilu 1977, yaitu pada awal berdirinya Orde Baru, tata kerja lembaga legislatif sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Jumlah anggota DPR-GR Demokrasi Pancasila adalah 242 anggota, yang terdiri dari 102 anggota dari partai politik dan 140 anggota dari golongan karya (termasuk ABRI).
Cara pengambilan keputusan yang dipergunakan adalah dengan sistem musyawarah mufakat, di samping itu juga dipergunakan cara memutuskan yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan untuk MPR yaitu dengan suara terbanyak. Cara tersebut diadakan dua tahap, pertama dicoba mencapai mufakat, jika tidak tercapai mufakat sedangkan persoalan amat penting maka diadakan pemungutan suara secara rahasia dan tertulis atas sistem suara terbanyak.
DPR-GR Demokrasi Pancasila (1966-1971) telah menyelesaikan 82 £>uah undang-undang, 7 buah resolusi, 9 buah pernyataan pendapat dan 1 buah angket.
Pada tanggal 3 Juli 1971 diadakan pemilihan umum. Pemilu itu didasarkan pada Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu Anggota Badan Perwakilan Rakyat. Selain itu didasarkan pula pada Undang- Undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR dan DPRD sejumlah 460 (100 anggota diangkat dan 360 anggota dipilih).
Organisasi badan legislatif Indonesia atau Dewan Perwakilan Rakyat dibagi ke dalam dua penggolongan. Pertama, didasarkan kepada partai-partai politik yang ada, dalam hal ini penggolongan tersebut dinamakan fraksi. Ada empat fraksi, yaitu fraksi ABRI, fraksi Karya Pembangunan, fraksi Persatuan Pembangunan, serta fraksi Demokrasi Pembangunan. Kedua, organisasi DPR dibagi ke dalam sebelas komisi. Pembagian tersebut didasarkan pada kebutuhan yang ada dalam masyarakat, dalam hal ini bersifat departemen, misalnya Komisi IX menangani masalah yang termasuk dalam Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
DPR periode 1971-1977 berhasil menetapkan 43 undang-undang (di antaranya 29 di luar APBN). DPR periode 1977-1983 berhasil menetapkan 55 undang-undang.
Perkembangan DPR di dalam periode ini, mengalami perubahan peranan yaitu, semakin mendekati peranan DPR sebagai pembentuk legitimasi eksekutif ketimbang peranan lembaga sebagai penyalur aspirasi rakyat yang diwakilinya. Selain itu, adanya penurunan produk kebijakan yang berkelanjutan baik dari segi jumlahnya maupun variasinya. Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena usaha untuk bermusyawarah guna mencapai mufakat. Gaya mengambil keputusan dengan jalan mencari konsensus selalu menyita waktu lebih banyak daripada mengambil keputusan dengan jalan menghitung suara. Akan tetapi mungkin musyawarah lebih sesuai dengan budaya politik Indonesia. Suatu sebab lain berasal dari dalam lembaga itu sendiri, yaitu yang menyangkut prosedur dan tata tertib serta kurangnya fasilitas yang dimiliki Dewan.

G.DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MASA REFORMASI
(1997-SEKARANG)
Dalam masa ini, terdapat 3 lembaga legislatif yang dihasilkan oleh pemilihan umum. Pertama adalah DPR hasil pemilu 1997, kedua DPR hasil pemilu 1999, serta yang terakhir adalah DPR hasil pemilu 2004. Dalam periode ini terlihat perubahan peran dan kewenangan lembaga legislatif di Indonesia menjadi semakin besar dan semakin menentukan dalam kehidupan politik di Indonesia dibandingkan masa sebelumnya khususnya masa DPR Demokrasi Pancasila. Untuk memahami peranan yang dimiliki ketiga badan legislatif di masa reformasi tersebut, kita dapat menguraikannya satu persatu.
DPR periode 1997-1999 memiliki 500 jumlah anggota, di mana 75 di antaranya diangkat melalui jalur ABRI. Sebanyak 425 sisanya sebagian besar mewakili Golongan Karya. Sementara itu dalam jumlah yang sama (sebanyak 500 orang) anggota MPR diangkat oleh Presiden untuk mewakili utusan golongan dan utusan daerah. Praktis dari segi keanggotaan, DPR periode ini tidak begitu berbeda dengan DPR di masa Demokrasi Pancasila, di mana sebagian besar anggotanya menduduki jabatan anggota Dewan lewat pengangkatan Presiden. Masalah inilah yang sering kali menjadi hambatan bagi dewan untuk menjalankan fungsinya dalam mekanisme checks and balances dengan lembaga-lembaga negara lainnya.
Salah satu mekanisme yang juga menghambat optimalisasi fungsi dewan tersebut adalah tetap digunakannya mekanisme recalling anggota DPR. Mekanisme inilah yang kemudian dijadikan alat oleh partai politik untuk melakukan recalling terhadap anggotanya. Beberapa anggota DPR yang pernah di-recall karena aturan tersebut antara lain: Sri Bintang Pamungkas dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Bambang Indra Utomo, Bambang Warih Kusumo, Marzuki Uzman, dan Mubha Kahar Muang dari Fraksi Karya Pembangunan, serta RK Sembiring Meliala, Theo Syafei, Rukmini, dan Syamsuddin dari Fraksi ABRI. Selain itu, terdapat juga aturan bagi para anggota DPR yang hendak menggunakan haknya untuk mengumpulkan jumlah minimal 10 anggota dari dua fraksi. Akibatnya inisiatif yang muncul harus selalu dikompromikan sampai ke tingkat fraksi.
Salah satu hasil kerja DPR periode ini adalah UU No. 31 Tahun 1999 yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lebih dikenai sebagai Komisi Antikorupsi oleh pemerintah. Formulasi dan pembahasan pembentukan Komisi Antikorupsi tersebut sebenarnya amat terlambat. Hal ini didasarkan pada Pasal 43 yang memberi batas waktu terbentuknya Komisi Antikorupsi paling iambat dua tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan atau tanggal 16 Agustus 2001.
Setelah terjadinya pergantian pimpinan nasional dengan pengunduran Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 dan digantikan oleh Presiden Habibie, maka serangkaian perubahan politik dilakukan. Di antara perubahan tersebut, agenda pelaksanaan pemilu pada tahun 1999 menjadi salah satu yang terpenting. Akhirnya Pemilu 1999 dilaksanakan yang diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu 1999 digunakan untuk memilih wakil rakyat di DPR, DPRD Provinsi (menggantikan sebutan DPRD I), dan DPRD Kota/Kabupaten (menggantikan sebutan DPRD II).
Keanggotaan DPR berjumlah 500 orang yang terdiri dari 462 orang yang dipilih melalui pemilu dan 38 orang diangkat dari unsur TNI dan Polri. Sedangkan untuk MPR berjumlah 700 orang yang terdiri dari 500 orang anggota DPR, 66 orang utusan golongan, 130 orang utusan daerah, dan empat orang utusan eks Timor-Timur. Mengenai anggota utusan daerah diperoleh dari perolehan suara mayoritas partai politik di setiap provinsi. Masing- masing provinsi (kecuali Timor-Timur) mendapat jatah lima orang untuk diutus sebagai anggota utusan daerah. Sedangkan mengenai anggota utusan golongan ditentukan oleh KPU yang didasari dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
Hasil Pemilu 1999 memperlihatkan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) menempati urutan pertama. Sedangkan PG (Partai Golkar) yang pada pemilu-pemilu Orde selalu menempati posisi mayoritas harus puas di urutan ke-2. Urutan selanjutnya adalah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PAN (Partai Amanat Nasional), dan PBB (Partai Bulan Bintang),
Jika pada periode-p;riode Orde Baru, MPR hanya bersidang sekali dalam lima tahun untuk menerima pertanggungjawaban presiden serta memilih presiden dan wakil presiden. Maka hasil Pemilu 1999 mensyaratkan MPR untuk bersidang satu kali dalam setahun atau biasa disebut dengan Sidang Tahunan MPR. Sedangkan agenda sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden disebut Sidang Umum MPR. Sementara itu Sidang Istimewa MPR dapat d.selenggarakan karena adanya masalah-masalah khusus yang sifatnya darunt/mendesak.
Dalam masa ini, MPR telah mengadakan satu kali SU (Sidang Umum), lima kali ST (Sidang Tahiman) dan sekali SI (Sidang Istimewa). SU MPR yang berlangsung pada tahun 1999 berhasil memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. ST MPR digunakan untuk agenda amandemen UUD 1945 (empat kali ST yaitu tahun 1999 sampai denjan 2002) dan mendengar kegiatan-kegiatan pemerintah yang telah dan akan dijalankan. Sedangkan satu kali SI MPR berlangsung pada tahun 2001. SI MPR diadakan karena terdapat memorandum DPR yang mempertanyakan kinerja dan tanggung jawab Presiden Abdurrahman Wahid mengenai pemecatan beberapa menteri (Jusuf Kalla, Laksamana Sukardi, Ian Hamzah Haz) dan serta adanya indikasi dan dugaan terlibat penggunaan dana nonneraca Bulog dan bantuan Sultan Brunai atau yang dikenal dengan Bdoggate dan Brunaigate. Adanya SI MPR telah membuat Abdurrahman Wahid harus turun dari jabatannya sebagai presiden. Akhirnya MPR menetapkan Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz sebagai presiden dan wakil piesiden pada SI MPR tersebut.
Walaupun kita menganut sistem presidensial, namun peran anggota DPR 1999 layaknya parlemen di tegara-negara demokrasi liberal. Kinerja DPR dianggap sering melampaji batas kewenangan dan masuk urusan pemerintahan yang semestirya menjadi tugas badan eksekutif. Dengan demikian muncul istilah legklatif heavy, suatu kondisi di mana parlemen lebih berkuasa ketimbang lenbaga-lembaga negara yang ada. Hal tersebut merupakan kebalikan dengan rondisi masa Orde Baru, badan eksekutif lebih berkuasa, sentralistis dan ooriter atau disebut executive heavy. Peran berlebihan yang ditampilkan oleh satu lembaga baik executive heavy atau legislatif heavy dapat mengarah terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan juga menafikan hakikat checks and balances.
Pada periode 1999-2004 ini, DPR menjalankan fimgsinya dengan cukup dominan. Fungsi pengawasan terhadap eksekutif terutama dijalankan dengan dibentuknya beberapa panitia khusus untuk menyelidiki penyalahgunaan kekuasaan atau kebijakan yang dibuat oleh pihak eksekutif. Beberapa Undang-undang yang dihasilkan oleh DPR periode ini seperti Paket Undang- Undang Politik (Partai Politik, Pemilu, Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD), Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Tentang Pemekaran Wilayah di Daerah. Di sisi lain, DPR juga berperan aktif dalam pembentukan Komisi Pemilihan Umum, KPKPN serta Komisi Penyiaran Indonesia. Hingga akhir masa tugasnya di tahun 2004 beberapa rancangan undang-undang telah menjadi pembicaraan serius namun belum berhasil diselesaikan. Di antara rancangan undang-undang (RUU) tersebut di antaranya RUU Lembaga Kepresidenan, RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, RUU Tentang Perubahan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, serta RUU tentang Kementerian Negara.
Pada tanggal 5 April 2004 diadakan pemilu yang ke-9 dalam sejarah Republik Indonesia. Pemilu 2004 tersebut diikuti oleh 24 partai politik yang terdiri dari enam partai politik yang lolos electoral threshold pada Pemilu 1999 dan 18 partai politik baru. Pemilu kali ini hampir sama dengan Pemilu 1999 yaitu untuk memiiih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Bedanya, pada Pemilu 2004 juga untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang setiap provinsi divvakili oleh empat orang. Seiain itu, tidak ada lagi yang anggota diangkat pada lembaga legislatif baik di pusat ataupun daerah. Juga telah dihapuskannya utusan golongan dari keanggotaan MPR. Jadi susunan anggota MPR terdiri atas 550 orang anggota DPR dan 128 orang anggota DPD.
Dari pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, Partai Golkar kembali memenangkan suara mayoritas dengan perolehan 24%. Sedangkan PDI Perjuangan yang dalam Pemilu 1999 menempati posisi pertama harus puas dengan posisi kedua dengan perolehan 19%. Urutan selanjutnya dalam Pemilu 2004 adalah PKB (11%), PPP (10%), PD (7,5%), PKS (7%), dan PAN (6,5%).

Selain itu karena susunan dan kedudukan MPR dan DPR serta DPRD telah berubah dengan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini menjelaskan susunan dan kedudukan dari masing-masing lembaga legislatif yang ada, hasil dari Pemilu 2004.
Dalam Undang-Undang Republik RI Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD tersebut diatur secara jelas susunan kedudukan, hak, kewajiban serta kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh lembaga legislatif di Indonesia. MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD berdasarkan pemilu dengan masa jabatan 5 tahun. Berdasarkan undang-undang tersebut, MPR meiniliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
1.       mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
2.       melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemiiihan unram, dalam Sidang Paripuma MPR;
3.       memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk mernberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripuma MPR;
4.       melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
5.       memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari.
Sementara itu, DPR terdiri atas anggota partai politik yang dipilih dalam pemiiihan umum. Mereka berjumlah 500 orang dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2003 tersebut, DPR memiliki tiga fungsi yakni fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan Presiden. Fungsi anggaran adalah fungsi untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Fungsi pengawasan adalah fungsi untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dalam bidang legislasi, DPR mempunyai tugas dan wewenang:
1.       membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
2.       membahas peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) untuk kemudian memberikan persetujuan atau menolaknya;
3.       menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD sesuai bidang tugasnya;
4.       memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang mengenai APBN;
5.       memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Dalam bidang anggaran, DPR mempunyai tugas dan wewenang dalam.
■ menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan ' DPD.
Sementara itu, dalam bidang pengawasan, DPR mempunyai tugas dan wewenang:
1.       mengawasi pelaksanaan undang-undang;
2.       mengawasi pelaksanaan APBN;
3.       mengawasi pelaksanaan segala kebijakan pemerintah;
4.       membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD. Pengawasan ini meliputi pelaksanaan Undang-undang mengenai:
otonomi daerah; 2) pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; 3) hubungan pusat dan daerah; 4) sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; 5) pelaksanaan APBN; 6) pajak, pendidikan, dan agama.
Di samping wewenang dan fungsi di atas, DPR juga mempunyai tugas dan wewenang dalam hal:
1.       memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
2.       membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas keuangan negara oleh BPK;

3.       memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
4.       memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan oleh Presiden;
5.       memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan;
6.       memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain;
7.       memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;
memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang,membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain;
8.       memberikan persetujuan kepada Presiden untuk  membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, yang terkait dengan beban keuangan negara dan atau pembentukan Undang-undang;
9.       menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
10.   melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan Undang- undang.
Untuk optimalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga legislatif tersebut,
DPR memiliki hak-hak sebagai berikut.
1.       hak interpelasi yakni      hak untuk meminta        keterangan        kepada
pemerintah/Presiden mengenai kebijakan pemerintah;
2.       hak angket yakni hak untuk melakukan penyelidikan mengenai sesuatu hal;
3.       hak menyatakan pendapat, baik yang berhubungan dengan hal yang sedang hangat dibicarakan secara nasional maupun mengenai hal lain;
4.       DPRjuga memiliki hak memanggil seseorang/badan hukum yakni untuk meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
Sementara itu, untuk menunjang kelancaran tugas kelembagaan, lembaga ini ditopang oleh alat-alat kelengkapan dan alat-alat pendukung. Aiat kelengkapan DPR antara lain: Pimpinan, Komisi, Badan Musyawarah, Badan Legislasi, Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Kerja sama Antar-Parlemen, Badan Kehormatan, Panitia Anggaran, dan Alat Kelengkapan lain yang diperlukan. Selain itu, DPR juga dilengkapi dengan alat pendukung berupa Sekretariat Jenderai (Setjen) yang ditetapkan dengan keputusan Presiden. Personalia Setjen ini terdiri atas pegavvai negeri sipil dan dikepalai oleh seorang Sekretaris Jenderai yang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR.
Selain DPR, sesuai dengan semangat penerapan sistem bikamercilisme dalam lembaga legislatif di Indonesia, dibentuklah lembaga Dewan Perwakilan Daerah. Susunan dan keanggotaan DPD terdiri atas wakii-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilu. Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang. Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 anggota DPR. DPD memiliki fungsi pengajuan usul, ikut 'dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu (yang berkaitan dengan daerah, APBN, pajak, pendidikan, dan agama). Mereka juga menjaiankan fungsi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dalam bidang-bidang tersebut. Untuk menjaiankan fungsinya tersebut, DPD memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut
1.       DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2.       DPD mengusuikan Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagaimana dimaksud pada ayat di atas kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.
3.       Pembahasan RUU sebagaimana dimaksud ayat (b) diiakukan sebelum DPR membahas Rancangan Undang-Undang dimaksud pada ayat (a) dengan pemerintah.


0 komentar:

Posting Komentar