Badan
Yudikatif
Prof.
Miriam Budiardjo, M.A. Panji Anugrah, S. IP.
PENDAHULUAN
Sehubungan dengan pembagian kekuasaan menurut
fungsi, kekuasaan S3 yudikatif adalah kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili
pelanggaran terhadap Undang-Undang. Daiam pelaksanaannya kekuasaan yudikatif
ini dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi serta
badan-badan pengadilan. Di Indonesia kekuasaan yudikatif ini dikenal sebagai
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman vang menjaiankan fungsi yudikatif
adalah kekuasaan yang bebas dari campuv tangan kekuasaan lainnya. Inilah yang
kita kenal dengan kebebasan kehakiman.
Salah
satu masalah yang berhubungan erat dengan fungsi yudikatif adalah masalah hak
menguji fjudicial review). Judicial review adalah wewenang untuk menilai
apakah suatu Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar.
Apabila tidak sesuai, dalam arti berlentangan dengan pasal-pasal dalam
Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang tersebut dapat dinyatakan batal. Di
beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, Jerman Barat, Jepang dan India,
wewenang ini diserahkan kepada Mahkamah Agung yang memiliki hak judicial
review. Di
Indonesia sejak tahun 2003, wewenang ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.
Oleh beberapa negara, penyerahan hak ini dinilai tidak demokratis, dengan
alasan bahwa keputusan dari wakihwakil rakyat dapat dengan mudah diputuskan
oleh keputusan beberapa orang hakim Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Suatu
masalah dasar yang melekat pada kekuasaan kehakiman adalah masalah kekuasaan
kehakiman yang bebas, dalam arti tidak dapat dicampuri oleh kekuasaan lain.
Karena hanya dengan terjaminnya kebebasan kekuasaan kehakiman dapat diharapkan
terjaminnya hak-hak asasi manusia dan terselenggaranya negara hukum. Di
Indonesia kebebasan kekuasaan
kehakiman
diatur dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen.
Dalam amandemen ketiga pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: ”Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyeienggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dengan demikian, jaminan konstitusional ini dapat
memberikan gambaran bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah bebas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya.
Latar Belakang
Sejarah
Sesuai
dengan doktrin pembagian kekuasaan, badan yudikatif haras dipegang pejabat yang
tidak merangkap dengan jabatan dalam badan- badan kekuasaan lainnya.
Pelaksanaan konsep ini dimungkinkan pada masa peranan negara masih sangat
terbatas yaitu masa Penjaga Malam (Nachtwakter Staat)
di mana peranan negara hanya dibatasi menguras hak keamanan warganya. Negara
hanya campur tangan bila hak warga negara yang satu terampas atau diganggu oleh
warga negara lain., Negara mempunyai peranan yang sangat terbatas dalam urasan
kesejahteraan warganya. Hak ini didasarkan pada konsep “negara yang terbaik
adalah negara yang paling sedikit campur tangan dalam urasan warganya (The least government is the best
government)".
Jadi semangat yang dijiwai oleh individualisme membatasi peranan pemerintah
menjadi sekecil mungkin.
Pemikiran
pokok yang menjadi landasan, baik dalam perlindungan konstitusional maupun
dalam hukum administrasi, maka perlindungan yang utama terhadap individu
tergantung pada badan kehakiman yang tegas, bebas dan terpandang. Pasal 10
Deklarasi Sedunia Hak-hak Asasi Manusia. memandang bahwa kebebasan dan tidak
memihaknya badan-badan pengadilan (independent and impartial tribunals) di dalam setiap negara
merupakan hal yang esensial. Badan yudikatif yang independen adalah syarat
mutlak dalam suatu masyarakat yang bemaung di bawah Rule
of Law. Kebebasan
badan yudikatif meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif,
legislatif ataupun masyarakat umum, di dalam menjaiankan tugas yudikatifnya.
Namun, tidaklah berarti bahwa hakim itu boleh bertindak secara serampangan
saja. Kewajibannya adalah untuk menafsirkan hukum serta prinsip-prinsip dan
asumsi yang berhubungan dengan hal itu berdasarkan perasaan keadilan serta hati
nuraninya.
Akan
tetapi dalam perkembangan negara abad ke-20 peranan negara menjadi demikian
kompleksnya-bukan hanya menguras keamanan, tetapi juga masalah ekonomi, sosial
budaya dan lain-lain-sehingga konsep negara sebagai Penjaga Malam tersebut di
atas ditinggalkan. Dan berkembanglah konsep negara kesejahteraan (welfare
state), di
mana negara bertanggung jawab atas kesejahteraan warganya. Fungsi negara
bergeser sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan negara kesejahteraan tersebut. Di
sini negara bertindak aktif dalam menggali segala potensi yang ada dalam negara
tersebut untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya. Jadi tidak terbatas hanya
pada urusan keamanan seperti dalam konsep negara Penjaga Malam.
Perkembangan
ini sejalan dengan perubahan konsep pemisahan kekuasaan menjadi konsep
pembagian
kekuasaan. Dalam konsep ini yang dipisahkan hanya fungsi pokoknya menurut
sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct
hands),
tetapi untuk selebihnya kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap
diperlukan untuk kelancaran organisasi negara.
Bagaimanakah
caranya untuk menjamin pelaksanaan asas kebebasan kekuasaan kehakiman itu?
Pertama-tama kita saksikan bahwa di dalam beberapa negara jabatan hakim,
terutama Hakim Agung, adalah permanen, seUmur hidup (sampai mengundurkan diri
secara sukareia) atau setidak- tidaknya sampai saatnya di pensiun (pensiun mana
biasanya diberikan pada umur lebih tinggi daripada pegawai lain), seiama ia
berkelakuan baik dan tidak tersangkut dalam tindakan kejahatan. Seiain dari itu
di kebar.yakan negara, para hakim tidak menduduki jabatan atas dasar hasil
pemiiihan seperti halnya pada jabatan legislatif dan jabatan eksekutif
(misalnya Presiden di Indonesia dan Presiden Amerika Serikat). Hakim biasanya
diangkat oleh badan eksekutif didasarkan persetujuan Senat seperti di Amerika
Serikat. Ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif tidak dipengaruhi oleh
fluktuasi politik suatu masa, sehingga dengan^ demikian diharapkan tugas
yudikatif dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Di
samping itu, sehubungan dengan pergeseran konsep kekuasaan negara dari
pemisahan kekuasaan menjadi konsep pembagian kekuasaan, maka terjadi pula
pergeseran nilai kekuasaan yudikatif. Dengan kata lain, kebebasan mutlak badan
yudikatif sangat sulit dilaksanakan. Dalam hal ini tidak berarti badan
yudikatif tidak bebas dalam menjaiankan fungsinya. Namun, dalam ha! atau urusan
tertentu, eksekutif misalnya dapat juga berkecimpung dalam bidang yudikatif,
misalnya dalam sengketa perumahan, dalam konflik-konflik pajak. Begitu pula
dalam melaksanakan Undang- (Jndang, pemerintah juga membuat Undang-Undang untuk
penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.
A.PENGERTIAN BADAN YUDIKATIF
Kekuasaan
yudikatif dilaksanakan oleh badan-badan yudikatif, seperti badan-badan
pengadilan dan Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi. Sesuai dengan
doktrin pembagian kekuasaan,
badan yudikatif harus dipegang oleh pejabat yang tidak merangkap dengan jabatan
dalam badan- badan kekuasaan lainnya. Hal ini dianggap perlu untuk menjamin
hak-hak asasi manusia.
Kekuasaan
yudikatif menjaiankan fungsi untuk mengawasi dan mengadili pelang-garan
Undang-Undang. Dalam pelaksanaannya kekuasaan yudikatif ini dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung dan badan-badan pengadilan. Di Indonesia kekuasaan yudikatif ini
dikenal sebagai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang menjaiankan
fungsi yudikatif adalah kekuasaan yang bebas dari campur tangan kekuasaan
lainnya. Inilah yang kita kenal dengan kebebasan kehakiman.
Salah
satu masalah yang berhubungan erat dengan fungsi yudikatif adalah masalah hak
menguji (Judicial review). Judicial review adalah wewenang untuk menilai
apakah Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar. Apabila
tidak sesuai, dalam arti bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang
Dasar, maka Undang-Undang tersebut dapat dinyatakan batal. Di beberapa negara,
misalnya Amerika Serikat, Jerman Barat, Jepang dan India, wewenang ini
diserahkan ke Mahkamah Agung. Di Indonesia, wewenang ini diserahkan pada
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diamanatkan pasal 24C Amandemen Ketiga
Undang-Undang Dasar 1945. Namun, wewenang ini oleh beberapa negara dianggap
tidak demokratis, dengan alasan bahwa keputusan dari wakil-wakil rakyat dapat
dengan mudah dibatalkan oleh keputusan beberapa orang hakim Mahkamah Agung.
B.
SISTEM DAN SISTEM
Sehubungan
dengan pembicaraan mengenai kekuasaan yudikatif, maka dalam hal ini kita perlu
membicarakan dua sistem hukum yang berbeda yaitu: Sistem Common
Law dan
Sistem Civil Law
(Hukum Perdata Umum).
Sistem
Common Law
terdapat di negara-negara Anglo Saxon yang didasarkan prinsip bahwa
di samping Undang-Undang yang dibuat oleh parlemen (yang dinamakan statute
law) masih
terdapat peraturan-peraturan lain yang merupakan Common
Law. Common Law
ini bukan merupakan aturan-aturan yang telah dikodifisasi (dimasukkan dalam
suatu Kitab Undang-Undang seperti Code Civil), tetapi merupakan kumpulan
keputusan yang dalam zaman yang lalu telah dirumuskan oleh hakim. Jadi,
sesungguhnya hakim juga turut menciptakan hukum dengan keputusannya, disebut
pula case law
atau judge-made law
(hukum buatan hakim). Sistem ini merupakan karakteristik yang kita jumpai dalam
negara dengan sistem Common Law, seperti misalnya Inggris; yang
berbeda dari negara-negara dengan sistem kodifikasi Hukum Perdata Umum, seperti
misalnya Perancis.
Menurut
C.F. Strong, prinsip judge-made law didasarkan atas precedent
yaitu
keputusan-keputusan para hakim yang terdahulu mengikat hakim- hakim berikutnya
dalam perkara yang serupa. Hakim dengan keputusannya itu pada hakikatnya telah
menciptakan hukum, biar pun hal ini berbeda sama sekali dengan hukum yang
dibuat oleh badan legislatif. Seperti dikatakan oleh ahli hukum Inggris, A.V.
Dicey bahwa “kekuasaan hakim pada hakikatnya bersifat legislatif’ (essentially
legislative authority of judges)', atau
menurut pendapat seorang hakim Amerika yang ulung O.W. Holmes bahwa
“hakim-hakim bertindak sebagai pembuat peraturan hukum dan memang seharusnya
demikian” (judges do and must legislate).
Asas
case law
adalah karakteristik penting yang kita jumpai dalam negara-negara dengan sistem
Common Law,
karena dalam negara-negara tersebut tidak ada kodifikasi hukum dalam Kitab
Undang-Undang. Dengan perkataan lain, dalam negara-negara dengan sistem Common
Law
tersebut tidak ada suatu sistem hukum yang telah dibukukan (dikodifisasi), di
mana hakim sebagai suara Undang-Undang (la voix de la lot) hanya tinggal menerangkan saja
hukum apakah yang berlaku dalam menghadapi suatu perkara tertentu yang diajukan
kepadanya.
Tetapi
di kebanyakan negara Eropa Barat kontinental di mana kodifikasi hukum telah
lama tersusun rapi (sistem Hukum Perdata), maka penciptaan hukum secara sengaja
oleh hakim itu pada umumnya adalah tidak mungkin. Di Perancis misalnya, di mana
kodifikasi hukum telah diadakan semenjak zaman Napoleon, para hakim dengan
tegas dilarang menciptakan case law. Hakim harus mengadili perkara
hanya berdasarkan peraturan hukum yang termuat dalam kodifikasi saja. Dalam
ilmu hukum, prinsip ini dikenal dengan aliran Positivisme perundang-undangan atau Legalisme, yang berpendapat
bahwa
“Undang-Undang menjadi sumber hukum satu-satunya”. Tetapi apabila peraturan
hukum dalam kodifikasi itu ternyata tidak mengatur perkara yang diajukan ke
pengadilan, maka barulah hakim boleh memberikan putusannya sendiri; akan tetapi
putusan ini sama sekali tidaklah mengikat hakim-hakim yang kemudian dalam
menghadapi perkara yang serupa (jadi tidak ada precedent). Dan apabila ada suatu perkara
yang diajukan ternyata tidak diatur dalam peraturan tertulis, maka hakim tidak
perlu mengikuti precedent yang terdahulu dalam
memberikan keputusannya.
Sebagaimana
dijelaskan di atas, sistem Hukum Perdata kumpulan Undang-Undang dan
peraturan-peraturan (kodifikasi) menjadi pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan. Sering kali, untuk menguatkan keputusannya, maka dia akan
menyebut juga keputusan hakim yang telah memberi keputusan dalam perkara yang
serupa. Keputusan- keputusan ini dinamakan jurisprudensi. Tetapi dasar keputusannya
tetap pasal tertentu dari Kitab Undang-Undang. Baik dalam sistem Common
Law maupun
dalam sistem Hukum Perdata, hakim secara teoretis berhak memberi keputusan
baru, terlepas dari jurisprudensi atau Undang-Undang yang biasanya mengikatnya,
dengan evaluasi lain atau re-eva!uasi jurisprudensi dahulu atau interpretasi
atau re-interpretasi baru Kitab Undang-Undang lama. Tetapi dalam praktik hakim
terikat pada keputusan-keputusan pengadilan yang lebih tinggi, teristimewa
Mahkamah Agung.
Dalam
negara federal kedudukan badan yudikatif, terutama pengadilan federal, mendapat
kedudukan yang lebih istimewa daripada dalam negara kesatuan, oleh karena
biasanya mendapat tugas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan konstitusional
yang telah timbul antara negara federal dengan negara bagian, atau
negara-negara bagian satu sama lain. Sedangkan dalam negara kesatuan persoalan
semacam itu tidak ada.
Di
negara-negara eks komunis Uni Soviet dan Eropa Timur peranan dan wewenang badan
yudikatif didasarkan suatu konsep yang dinamakan Soviet
Legality
atau “socialist legality”. Berkaitan dengan tujuan yang diarahkan pada
komunisme, aktivitas kenegaraan termasuk penyelenggaraan hukum dan wewenang
badan yudikatif merupakan prasarana untuk melancarkan perkembangan ke arah
komunisme tersebut. Tingkat perjuangan ini berbeda- beda menurut tempat, dan
ada negara komunis seperti Hongaria, yang lebih menekankan penyelenggaraan
kekerasan terhadap musuh-musuh komunisme, seperti terlihat dalam pasal 41
Undang-Undang Dasarnya: “Badan Pengadilan
Republik
Rakyat Hongaria menghukum musuh-musuh rakyat pekerja, melindungi dan menjaga
negara, ketertiban sosial dan ekonomi dan lembaga- lembaga demokrasi rakyat
serta hak-hak kaum pekerja dan mendidik rakyat pekerja untuk menaati
tata-tertib kehidupan masyarakat sosialis”.
Di
Soviet, barangkali karena sudah lebih maju perkembangannya segi konsolidasi
sistem sosial dan ekonomi sosialis lebih ditekankan. Kata Andrei Y. Vyshinsky
dalam The Law of the Soviet State: ’’Sistem pengadilan dan kejaksaan merupakan alat
yang kuat dari diktatur proletar, dengan mana tercapainya tugas-tugas sejarah
dapat terjamin, tata hukum sosialis diperkuat dan peianggar-pelanggar
Undang-Undang Soviet diberantas”.
Hak
asasi pun dilihat dalam rangka yang sama dan fungsi badan yudikatif tidak dimaksud
untuk melindungi kebebasan individu dari tindakan sewenang-wenang pemerintah
(anggapan yang demikian ini dianggap sebagai faham borjuis). Menurut tafsiran H. Friedmann
dalam bukunya Legal Theory, hak-hak asasi di Soviet hanya
dilindungi “sejauh tidak diselenggarakan secara bertentangan dengan tujuan
sosial dan ekonomi.
0 komentar:
Posting Komentar