Rabu, 15 Oktober 2014

Badan Yudikatif



Badan Yudikatif
Prof. Miriam Budiardjo, M.A. Panji Anugrah, S. IP.


PENDAHULUAN
 Sehubungan dengan pembagian kekuasaan menurut fungsi, kekuasaan S3 yudikatif adalah kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili pelanggaran terhadap Undang-Undang. Daiam pelaksanaannya kekuasaan yudikatif ini dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi serta badan-badan pengadilan. Di Indonesia kekuasaan yudikatif ini dikenal sebagai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman vang menjaiankan fungsi yudikatif adalah kekuasaan yang bebas dari campuv tangan kekuasaan lainnya. Inilah yang kita kenal dengan kebebasan kehakiman.
Salah satu masalah yang berhubungan erat dengan fungsi yudikatif adalah masalah hak menguji fjudicial review). Judicial review adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar. Apabila tidak sesuai, dalam arti berlentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang tersebut dapat dinyatakan batal. Di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, Jerman Barat, Jepang dan India, wewenang ini diserahkan kepada Mahkamah Agung yang memiliki hak judicial review. Di Indonesia sejak tahun 2003, wewenang ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh beberapa negara, penyerahan hak ini dinilai tidak demokratis, dengan alasan bahwa keputusan dari wakihwakil rakyat dapat dengan mudah diputuskan oleh keputusan beberapa orang hakim Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Suatu masalah dasar yang melekat pada kekuasaan kehakiman adalah masalah kekuasaan kehakiman yang bebas, dalam arti tidak dapat dicampuri oleh kekuasaan lain. Karena hanya dengan terjaminnya kebebasan kekuasaan kehakiman dapat diharapkan terjaminnya hak-hak asasi manusia dan terselenggaranya negara hukum. Di Indonesia kebebasan kekuasaan


kehakiman diatur dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen. Dalam amandemen ketiga pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyeienggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dengan demikian, jaminan konstitusional ini dapat memberikan gambaran bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya.


Latar Belakang Sejarah

Sesuai dengan doktrin pembagian kekuasaan, badan yudikatif haras dipegang pejabat yang tidak merangkap dengan jabatan dalam badan- badan kekuasaan lainnya. Pelaksanaan konsep ini dimungkinkan pada masa peranan negara masih sangat terbatas yaitu masa Penjaga Malam (Nachtwakter Staat) di mana peranan negara hanya dibatasi menguras hak keamanan warganya. Negara hanya campur tangan bila hak warga negara yang satu terampas atau diganggu oleh warga negara lain., Negara mempunyai peranan yang sangat terbatas dalam urasan kesejahteraan warganya. Hak ini didasarkan pada konsep “negara yang terbaik adalah negara yang paling sedikit campur tangan dalam urasan warganya (The least government is the best government)". Jadi semangat yang dijiwai oleh individualisme membatasi peranan pemerintah menjadi sekecil mungkin.
Pemikiran pokok yang menjadi landasan, baik dalam perlindungan konstitusional maupun dalam hukum administrasi, maka perlindungan yang utama terhadap individu tergantung pada badan kehakiman yang tegas, bebas dan terpandang. Pasal 10 Deklarasi Sedunia Hak-hak Asasi Manusia. memandang bahwa kebebasan dan tidak memihaknya badan-badan pengadilan (independent and impartial tribunals) di dalam setiap negara merupakan hal yang esensial. Badan yudikatif yang independen adalah syarat mutlak dalam suatu masyarakat yang bemaung di bawah Rule of Law. Kebebasan badan yudikatif meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislatif ataupun masyarakat umum, di dalam menjaiankan tugas yudikatifnya. Namun, tidaklah berarti bahwa hakim itu boleh bertindak secara serampangan saja. Kewajibannya adalah untuk menafsirkan hukum serta prinsip-prinsip dan asumsi yang berhubungan dengan hal itu berdasarkan perasaan keadilan serta hati nuraninya.
Akan tetapi dalam perkembangan negara abad ke-20 peranan negara menjadi demikian kompleksnya-bukan hanya menguras keamanan, tetapi juga masalah ekonomi, sosial budaya dan lain-lain-sehingga konsep negara sebagai Penjaga Malam tersebut di atas ditinggalkan. Dan berkembanglah konsep negara kesejahteraan (welfare state), di mana negara bertanggung jawab atas kesejahteraan warganya. Fungsi negara bergeser sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan negara kesejahteraan tersebut. Di sini negara bertindak aktif dalam menggali segala potensi yang ada dalam negara tersebut untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya. Jadi tidak terbatas hanya pada urusan keamanan seperti dalam konsep negara Penjaga Malam.
Perkembangan ini sejalan dengan perubahan konsep pemisahan kekuasaan menjadi konsep pembagian kekuasaan. Dalam konsep ini yang dipisahkan hanya fungsi pokoknya menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi negara.
Bagaimanakah caranya untuk menjamin pelaksanaan asas kebebasan kekuasaan kehakiman itu? Pertama-tama kita saksikan bahwa di dalam beberapa negara jabatan hakim, terutama Hakim Agung, adalah permanen, seUmur hidup (sampai mengundurkan diri secara sukareia) atau setidak- tidaknya sampai saatnya di pensiun (pensiun mana biasanya diberikan pada umur lebih tinggi daripada pegawai lain), seiama ia berkelakuan baik dan tidak tersangkut dalam tindakan kejahatan. Seiain dari itu di kebar.yakan negara, para hakim tidak menduduki jabatan atas dasar hasil pemiiihan seperti halnya pada jabatan legislatif dan jabatan eksekutif (misalnya Presiden di Indonesia dan Presiden Amerika Serikat). Hakim biasanya diangkat oleh badan eksekutif didasarkan persetujuan Senat seperti di Amerika Serikat. Ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi politik suatu masa, sehingga dengan^ demikian diharapkan tugas yudikatif dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Di samping itu, sehubungan dengan pergeseran konsep kekuasaan negara dari pemisahan kekuasaan menjadi konsep pembagian kekuasaan, maka terjadi pula pergeseran nilai kekuasaan yudikatif. Dengan kata lain, kebebasan mutlak badan yudikatif sangat sulit dilaksanakan. Dalam hal ini tidak berarti badan yudikatif tidak bebas dalam menjaiankan fungsinya. Namun, dalam ha! atau urusan tertentu, eksekutif misalnya dapat juga berkecimpung dalam bidang yudikatif, misalnya dalam sengketa perumahan, dalam konflik-konflik pajak. Begitu pula dalam melaksanakan Undang- (Jndang, pemerintah juga membuat Undang-Undang untuk penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.


 A.PENGERTIAN BADAN YUDIKATIF
Kekuasaan yudikatif dilaksanakan oleh badan-badan yudikatif, seperti badan-badan pengadilan dan Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi. Sesuai dengan doktrin pembagian kekuasaan, badan yudikatif harus dipegang oleh pejabat yang tidak merangkap dengan jabatan dalam badan- badan kekuasaan lainnya. Hal ini dianggap perlu untuk menjamin hak-hak asasi manusia.
Kekuasaan yudikatif menjaiankan fungsi untuk mengawasi dan mengadili pelang-garan Undang-Undang. Dalam pelaksanaannya kekuasaan yudikatif ini dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan pengadilan. Di Indonesia kekuasaan yudikatif ini dikenal sebagai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang menjaiankan fungsi yudikatif adalah kekuasaan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Inilah yang kita kenal dengan kebebasan kehakiman.
Salah satu masalah yang berhubungan erat dengan fungsi yudikatif adalah masalah hak menguji (Judicial review). Judicial review adalah wewenang untuk menilai apakah Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar. Apabila tidak sesuai, dalam arti bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang tersebut dapat dinyatakan batal. Di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, Jerman Barat, Jepang dan India, wewenang ini diserahkan ke Mahkamah Agung. Di Indonesia, wewenang ini diserahkan pada Mahkamah Konstitusi sebagaimana diamanatkan pasal 24C Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Namun, wewenang ini oleh beberapa negara dianggap tidak demokratis, dengan alasan bahwa keputusan dari wakil-wakil rakyat dapat dengan mudah dibatalkan oleh keputusan beberapa orang hakim Mahkamah Agung.
B. SISTEM COMMON LA W DAN SISTEM CIVIL LA W
Sehubungan dengan pembicaraan mengenai kekuasaan yudikatif, maka dalam hal ini kita perlu membicarakan dua sistem hukum yang berbeda yaitu: Sistem Common Law dan Sistem Civil Law (Hukum Perdata Umum).
Sistem Common Law terdapat di negara-negara Anglo Saxon yang didasarkan prinsip bahwa di samping Undang-Undang yang dibuat oleh parlemen (yang dinamakan statute law) masih terdapat peraturan-peraturan lain yang merupakan Common Law. Common Law ini bukan merupakan aturan-aturan yang telah dikodifisasi (dimasukkan dalam suatu Kitab Undang-Undang seperti Code Civil), tetapi merupakan kumpulan keputusan yang dalam zaman yang lalu telah dirumuskan oleh hakim. Jadi, sesungguhnya hakim juga turut menciptakan hukum dengan keputusannya, disebut pula case law atau judge-made law (hukum buatan hakim). Sistem ini merupakan karakteristik yang kita jumpai dalam negara dengan sistem Common Law, seperti misalnya Inggris; yang berbeda dari negara-negara dengan sistem kodifikasi Hukum Perdata Umum, seperti misalnya Perancis.
Menurut C.F. Strong, prinsip judge-made law didasarkan atas precedent yaitu keputusan-keputusan para hakim yang terdahulu mengikat hakim- hakim berikutnya dalam perkara yang serupa. Hakim dengan keputusannya itu pada hakikatnya telah menciptakan hukum, biar pun hal ini berbeda sama sekali dengan hukum yang dibuat oleh badan legislatif. Seperti dikatakan oleh ahli hukum Inggris, A.V. Dicey bahwa “kekuasaan hakim pada hakikatnya bersifat legislatif’ (essentially legislative authority of judges)', atau menurut pendapat seorang hakim Amerika yang ulung O.W. Holmes bahwa “hakim-hakim bertindak sebagai pembuat peraturan hukum dan memang seharusnya demikian” (judges do and must legislate).
Asas case law adalah karakteristik penting yang kita jumpai dalam negara-negara dengan sistem Common Law, karena dalam negara-negara tersebut tidak ada kodifikasi hukum dalam Kitab Undang-Undang. Dengan perkataan lain, dalam negara-negara dengan sistem Common Law tersebut tidak ada suatu sistem hukum yang telah dibukukan (dikodifisasi), di mana hakim sebagai suara Undang-Undang (la voix de la lot) hanya tinggal menerangkan saja hukum apakah yang berlaku dalam menghadapi suatu perkara tertentu yang diajukan kepadanya.
Tetapi di kebanyakan negara Eropa Barat kontinental di mana kodifikasi hukum telah lama tersusun rapi (sistem Hukum Perdata), maka penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim itu pada umumnya adalah tidak mungkin. Di Perancis misalnya, di mana kodifikasi hukum telah diadakan semenjak zaman Napoleon, para hakim dengan tegas dilarang menciptakan case law. Hakim harus mengadili perkara hanya berdasarkan peraturan hukum yang termuat dalam kodifikasi saja. Dalam ilmu hukum, prinsip ini dikenal dengan aliran Positivisme perundang-undangan atau Legalisme, yang berpendapat


bahwa “Undang-Undang menjadi sumber hukum satu-satunya”. Tetapi apabila peraturan hukum dalam kodifikasi itu ternyata tidak mengatur perkara yang diajukan ke pengadilan, maka barulah hakim boleh memberikan putusannya sendiri; akan tetapi putusan ini sama sekali tidaklah mengikat hakim-hakim yang kemudian dalam menghadapi perkara yang serupa (jadi tidak ada precedent). Dan apabila ada suatu perkara yang diajukan ternyata tidak diatur dalam peraturan tertulis, maka hakim tidak perlu mengikuti precedent yang terdahulu dalam memberikan keputusannya.
Sebagaimana dijelaskan di atas, sistem Hukum Perdata kumpulan Undang-Undang dan peraturan-peraturan (kodifikasi) menjadi pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan persoalan-persoalan. Sering kali, untuk menguatkan keputusannya, maka dia akan menyebut juga keputusan hakim yang telah memberi keputusan dalam perkara yang serupa. Keputusan- keputusan ini dinamakan jurisprudensi. Tetapi dasar keputusannya tetap pasal tertentu dari Kitab Undang-Undang. Baik dalam sistem Common Law maupun dalam sistem Hukum Perdata, hakim secara teoretis berhak memberi keputusan baru, terlepas dari jurisprudensi atau Undang-Undang yang biasanya mengikatnya, dengan evaluasi lain atau re-eva!uasi jurisprudensi dahulu atau interpretasi atau re-interpretasi baru Kitab Undang-Undang lama. Tetapi dalam praktik hakim terikat pada keputusan-keputusan pengadilan yang lebih tinggi, teristimewa Mahkamah Agung.
Dalam negara federal kedudukan badan yudikatif, terutama pengadilan federal, mendapat kedudukan yang lebih istimewa daripada dalam negara kesatuan, oleh karena biasanya mendapat tugas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan konstitusional yang telah timbul antara negara federal dengan negara bagian, atau negara-negara bagian satu sama lain. Sedangkan dalam negara kesatuan persoalan semacam itu tidak ada.
Di negara-negara eks komunis Uni Soviet dan Eropa Timur peranan dan wewenang badan yudikatif didasarkan suatu konsep yang dinamakan Soviet Legality atau “socialist legality”. Berkaitan dengan tujuan yang diarahkan pada komunisme, aktivitas kenegaraan termasuk penyelenggaraan hukum dan wewenang badan yudikatif merupakan prasarana untuk melancarkan perkembangan ke arah komunisme tersebut. Tingkat perjuangan ini berbeda- beda menurut tempat, dan ada negara komunis seperti Hongaria, yang lebih menekankan penyelenggaraan kekerasan terhadap musuh-musuh komunisme, seperti terlihat dalam pasal 41 Undang-Undang Dasarnya: “Badan Pengadilan
Republik Rakyat Hongaria menghukum musuh-musuh rakyat pekerja, melindungi dan menjaga negara, ketertiban sosial dan ekonomi dan lembaga- lembaga demokrasi rakyat serta hak-hak kaum pekerja dan mendidik rakyat pekerja untuk menaati tata-tertib kehidupan masyarakat sosialis”.
Di Soviet, barangkali karena sudah lebih maju perkembangannya segi konsolidasi sistem sosial dan ekonomi sosialis lebih ditekankan. Kata Andrei Y. Vyshinsky dalam The Law of the Soviet State: ’’Sistem pengadilan dan kejaksaan merupakan alat yang kuat dari diktatur proletar, dengan mana tercapainya tugas-tugas sejarah dapat terjamin, tata hukum sosialis diperkuat dan peianggar-pelanggar Undang-Undang Soviet diberantas”.
Hak asasi pun dilihat dalam rangka yang sama dan fungsi badan yudikatif tidak dimaksud untuk melindungi kebebasan individu dari tindakan sewenang-wenang pemerintah (anggapan yang demikian ini dianggap sebagai faham borjuis). Menurut tafsiran H. Friedmann dalam bukunya Legal Theory, hak-hak asasi di Soviet hanya dilindungi “sejauh tidak diselenggarakan secara bertentangan dengan tujuan sosial dan ekonomi.

0 komentar:

Posting Komentar