Rabu, 15 Oktober 2014

Pembagian Kekuasaan menurut Tingkat (Otonomi) dan Fungsi (Checks and Balances)



Pembagian Kekuasaan menurut Tingkat (Otonomi) dan Fungsi (Checks and Balances)
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pembagian kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara yakni secara vertikal dan secara horizontal. Dalam kegiatan belajar 2 ini akan dijelaskan pembagian kekuasaan secara vertikal, yakni pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, atau dapat juga dinamakan pembagian kekuasaan secara teritorial, misalnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam suatu negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu negara federal. Sedangkan pembagian kekuasaan secara horizontal lebih menekankan pada prinsip checks and balances.
A.      PEMBAGIAN KEKUASAAN MENURUT TINGKAT
Persoalan sifat kesatuan atau sifat federal dari suatu negara sesungguhnya merupakan bagian dari suatu persoalan yang lebih besar, yakni persoalan integrasi dari golongan-golongan yang berada dalam suatu wilayah. Integrasi itu dapat diselenggarakan secara minimal (yaitu dalam suatu konfederasi) atau dapat pula diselenggarakan secara maksimal (yaitu dalam suatu negara kesatuan).
Dalam teori kenegaraan persoalan tersebut menyangkut persoalan mengenai bentuk negara, dan persoalan negara bersusun (Samengestelde Staten atau Statenverbindungen) yaitu khususnya yang mengenai federasi dan konfederasi. Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law and State memakai istilah “forms of organization” baik untuk federasi dan konfederasi maupun negara kesatuan yang desentralistis. Ketiga bentuk negara inilah yang akan diuraikan dalam bagian ini.
1.        Konfederasi
Menurut L. Oppenheim suatu “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara negara-negara itu.”
Kekuasaan alat bersama itu sangat terbatas dan hanya mencakup persoalan-persoalan yang telah ditentukan. Negara-negara yang tergabung dalam konfederasi itu tetap merdeka dan berdaulat, sehingga konfederasi itu sendiri pada hakikatnya bukanlah merupakan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara dalam konfederasi tidaklah menghilangkan atau pun mengurangi kedaulatannya sebagai negara anggota konfederasi itu. Hal itu adalah kelemahan konfederasi sebagai suatu ikatan kenegaraan dan merupakan ikatan. Misalnya, Articles of the Confederation (Amerika Serikat) yang berlaku sebelum Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, Kongres Amerika Serikat berhak minta dari negara-negara peserta Konfederasi, pasukan bersenjata dan uang untuk keperluan bersama serta mengadakan perjanjian internasional. Tetapi alat perlengkapan bersama itu tidak mempunyai wewenang untuk memaksakan ketaatan dari negara-negara anggota konfederasi itu. Alat perlengkapan bersama itu hanya berhubungan dengan pemerintah dari negara-negara anggota konfederasi, tetapi hubungannya dengan warga negara anggota konfederasi itu tidak langsung mengikat.
2.        Negara Kesatuan
Menurut C.F. Strong negara kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/ pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, kedaulatan baik ke dalam maupun ke luar terletak pada pemerintah pusat. Terdapatnya keWenangan pemerintah daerah untuk membuat peraturan, tidaklah berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi berada pada pemerintah pusat. C.F. Strong akhirnya menyimpulkan bahwa ada dua ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan, yaitu: (1) adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat dan (2) tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat. Dengan demikian bagi para warga negaranya dalam negara kesatuan hanya terasa adanya satu pemerintah saja. Dan bila dibandingkan dengan federasi dan konfederasi, maka negara kesatuan merupakan bentuk negara dengan ikatan serta integrasi paling kokoh.
3. Negara Federal
Menurut C.F. Strong salah satu ciri negara federal adalah mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya dan kedaulatan negara. bagian. Penyelenggaraan kedaulatan ke luar negara-negara bagian diserahkan kepada pemerintah federal, sedangkan kedaulatan ke dalam dibatasi.
Sekalipun terdapat banyak perbedaan di antara negara federal, tetapi ada satu prinsip yang dipegang teguh, yaitu masalah-masalah yang menyangkut negara dalam keseluruhannya diserahkan pada kekuasaan federal, misalnya mengadakan perjanjian internasional, hubungan luar negeri dan mencetak uang, pemerintah federal bebas dari negara bagian dan mempunyai kekuasaan yang tinggi. Tetapi untuk masalah-masalah yang menyangkut negara bagian saja dan yang tidak termasuk kepentingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan negara-negara bagian, jadi pemerintah negara bagian bebas dari pemerintah federal; misalnya soal kebudayaan, kesehatan dan sebagainya. Oleh sebab itu menurut K.C. Wheare dalam bukunya Federal Government, prinsip federal adalah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang- bidang tertentu adalah bebas satu sama lain.
Untuk membentuk suatu negara bagian menurut C.F. Strong diperlukan dua syarat, yaitu: (1) adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk federasi itu, dan (2) adanya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik yang hendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan terbatas, oleh karena apabila kesatuan-kesatuan politik itu menghendaki persatuan sepenuhnya, maka bukan federasilah yang akan dibentuk, melainkan negara kesatuan.
Lalu bagaimanakah perbedaan antara konfederasi dengan suatu federasi? George Jellinek mencari ukuran perbedaan itu pada soal di mana letaknya kedaulatan. Dalam hal konfederasi, kedaulatan terletak pada masing-masing negara anggota peserta konfederasi, sedangkan pada federasi letak kedaulatan itu pada federasi itu sendiri dan bukan pada negara bagian. Hal ini sesuai dengan pendapat Edward M.Sait dalam bukunya Political lnstitutions: A Preface yang mengemukakan bahwa “negara-negara yang menjadi anggota suatu konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung dalam suatu federasi kehilangan kedaulatannya”. Akan tetapi R. Kranenburg memiliki pendapat yang berbeda, karena ia melihat bahwa kedaulatan bersifat relatif. R. Kranenburg. melihat perbedaan antara konfederasi dan federasi harus didasarkan atas hal apakah warga negara dari negara bagian itu langsung terikat atau tidak oleh peraturan-peraturan organ pusat. Kalau jawabannya “ya", maka bentuk itu adalah federasi, sedangkan kalau peraturan organ pusat itu tidak dapat mengikat langsung penduduk wilayah anggotanya, maka gabungan kenegaraan itu adalah konfederasi.
Sementara itu, mengenai perbedaan antara federasi dengan negara kesatuan, R. Kranenburg mengemukakan dua kriteria berdasarkan hukum positif sebagai berikut:
a.         Negara bagian sesuatu federasi memiliki pouvoir constituant', yakni wewenang membentuk Undang-Undang dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas-batas konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan organisasi bagian- bagian negara (yaitu pemerintah daerah) secara garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang pusat;
b.         Dalam negara federal, wewenang membentuk Undang-Undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan wewenang pembentukan Undang-Undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan Undang-Undang rendahan (lokal) tergantung pada badan pembentuk Undang-Undang pusat itu.
Ditinjau dari segi integrasi antara kesatuan-kesatuan politik yang bergabung itu, maka integrasi negara kesatuan lebih kokoh daripada dalam negara federal. Bila ditinjau dari sudut kenegaraan dan sudut hukum, perbedaan antara negara federal dengan negara kesatuan (yang didesentralisasi) hanya perbedaan nisbi (relatif) saja. Hans Kelsen mengemukakan dalam hubungan ini bahwa perbedaan antara negara federal dengan negara kesatuan yang didesentralisasi itu hanyalah dalam tingkat desentralisasi.
Tetapi bilamana ditinjau dari sudut politik maka terdapat perbedaan prinsipil antara federasi dengan negara kesatuan. Seorang sarjana hukum, E.

Utrecht dalam hubungan ini mengemukakan bahwa pada permulaan perkembangan kenegaraan, perlu ada sentralisasi kekuasaan supaya kekuatan-kekuatan yang bertujuan akan meruntuhkan kesatuan yang baru dicapai itu dapat dilenyapkan. Apabila kemudian ternyata kekuatan-kekuatan tersebut tidak ada lagi-jadi hidup negara yang baru itu tidak terancam lagi oleh kekuatan-kekuatan yang bertujuan meruntuhkan kekuasaan- maka sentralisasi itu dapat dijadikan desentralisasi, bahkan lebih jauh lagi: suatu desentralisasi yang bersifat federasi.
B.       PEMBAGIAN KEKUASAAN MENURUT FUNGSI (CHECKS AND
BALANCES)
Pada abad ke-15 dan 16 benua Eropa mengalami masa-masa suram, pertama karena sering terjadinya perang saudara; kedua, karena raja-raja antara lain di Spanyol, Perancis dan inggris, memerintah dengan kekuasaan mutlak, artinya kekuasaan pemerintah sepenuhnya berada di tangan satu orang yaitu raja. Hal ini disebut absolutisme, karena kekuasaan raja tidak terbatas, sehingga raja cenderung menyalahgunakan kekuasaan dan dalam mengambil keputusan lebih banyak terdorong oleh perasaan senang dan tidak senang daripada kearifan yang rasional. Rakyat menjadi amat menderita karena tak ada kekuatan lain yang dapat mencegah atau mengawasi kekuasaan raja yang absolut itu. Misalnya, banyak orang dipenjara tanpa prosedur hukum, dan kemiiikannya dirampas.
Keadaan ini mengakibatkan timbulnya beberapa gagasan untuk mencari perlindungan bagi beberapa hak, seperti keselamatan atas diri dan benda. Dianggap bahwa pemusatan kekuasaan di tangan satu orang memberi peluang untuk memakai kekuasaan itu secara sewenang-wenang. Untuk menghindari hal itu, perlu pembagian kekuasaan di antara beberapa badan yang masing-masing dapat secara bebas bekerja melaksanakan tugas-tugas yang berkenaan dengan negara. Dengan demikian, hak-hak seseorang atas keselarnatan diri serta harta bendanya akan terlindungi, dan kekuasaan raja tidak lagi bersifat mutlak dan tak terbatas.
Pemikiran ini dikemukakan pertama kali oleh filsuf Inggris John Locke melalui bukunya yang berjudul Two Treatise on Civil Government, pada tahun 1690. Pemikiran John Locke ini kemudian dikembangkan lagi oleh filsuf Perancis, Montesquieu, pada tahun 1748 melalui bukunya yang terkenal l’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws). Pemikiran Montesquieu inilah yang menjadi dasar bagi sistem pemerintahan negara demokratis dewasa ini, meskipun mengalami banyak sekali perubahan dan penyesuaian dalam penerapannya, karena perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya di negara-negara masing-masing.
Montesquieu mengemukakan bahwa kekuasaan itu harus dibagi ke dalam tiga organ (badan) dengan tugas (fungsi) yang berbeda-beda dan terpisah, yaitu:
1.                    Kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2.         Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang- undang;
3.         Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengadili pelanggaran undang-undang.
Melalui teorinya, Montesquieu mengharapkan agar ada jaminan untuk kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang raja atau pihak penguasa. Pemikiran ini sering dinamakan teori mengenai pemisahan kekuasaan atau “Trias Politica",
Doktrin yang dikemukakan oleh Montesquieu amat besar pengaruhnya bagi kehidupan politik di Amerika Serikat. Ketika Undang-Undang Dasar Amerika Serikat ditetapkan, maka diaturlah bahwa badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudikatif masing-masing berdiri sendiri. Misalnya badan legislatif (congress) tidak dapat dijatuhkan oleh badan eksekutif (Presiden), begitu pula sebaliknya; dan menteri tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif.
Akan tetapi, meskipun telah ditetapkan secara tegas mengenai fungsi dan peranan dari masing-masing badan, namun untuk menjaga agar tidak terjadi penyelewengan oleh salah satu badan, maka ditentukan suatu sistem checks and balances (Pengawasan dan Keseimbangan) yang mengatur agar satu organ mengawasi dan mengimbangi yang lain. Dengan demikian pemikiran Montesquieu sudah sedikit banyak dimodifikasi dan orang cenderung menamakan sistem ini dengan sebutan pembagian kekuasaan dan bukan lagi emisahan kekuasaan.
Contoh dari checks and balances ini ialah ketentuan bahwa badan eksekutif (Presiden AS) mempunyai hak veto terhadap RUU yang telah diterima oleh badan legislatif (Congress AS yang terdiri dari Senate dan ouse of Représentatives). Sebagai contoh adalah kasus Jenkins Bill, yaitu undang-Undang yang akan membatasi impor tekstil dari beberapa negara
termasuk Indonesia, diveto oleh Presiden Reagan pada bulan September 1985. Akan tetapi veto yang telah dikeluarkan oleh presiden dapat dibatalkan oleh badan legislatif, bila dalam badan legislatif 2/3 dari anggota kedua majelis (yaitu Senate dan Home) menghendaki demikian. Dengan cara ini badan legislatif dan badan eksekutif sedikit banyak mengawasi dan mengimbangi satu sama lain.
Mengenai badan yudikatif, terutama Mahkamah Agung dapat menjalankan tugasnya dengan bebas, dan juga hakim agung dapat terus bertugas sampai mereka mengundurkan diri secara sukarela. Selama berkelakuan baik mereka tak dapat diberhentikan. Tapi calon hakim agung ditunjuk oleh presiden dan selain itu harus dapat persetujuan dari badan legislatif, dalam hal ini senat. Mahkamah Agung, mempunyai hak Judicial Review, dengan hak ini maka Mahkamah Agung dapat menguji apakah suatu Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar atau tidak; dengan demikian dapat menolak pelaksanaan Undang-Undang yang dianggap tidak sesuai dengan UUD. (Mengenai peranan Mahkamah Agung Amerika Serikat dapat dilihat pada Modul Badan Yudikatif). Semua ketentuan tersebut di atas mencerminkan konsep check and balances antara ketiga organ kekuasaan.
Dari uraian di atas, sekalipun Amerika Serikat dikatakan paling murni melaksanakan Trias politica, namun telah banyak menyimpang dari konsep asli, sehingga dewasa ini dianggap bahwa yang dianut Amerika Serikat adalah konsep pembagian kekuasaan dan tidak lagi pemisahan kekuasaan.
Keadaan di Inggris agak berbeda. Negara ini paling banyak menyimpang dari konsep Trias politica yang asli, yaitu dalam arti pemisahan kekuasaan. Parlemen Inggris yang terdiri dari Majelis Tinggi dan Majelis Rendah (Home of Lords dan Home of Commons), dapat menjatuhkan atau menarik kembali dukungan yang telah diberikan kepada kabinet yang sedang berkuasa. Jadi, mati hidupnya kabinet ditentukan oleh dukungannya dalam parlemen. Hal ini biasa kita jumpai dalam negara yang memakai sistem parlementer. Akan tetapi, di Inggris terdapat suatu pola yang agak unik, yaitu bahwa perdana menteri dapat membubarkan dewan perwakilan rakyat (Majelis Rendah) untuk mengadakan pemilihan umum sebelum masa jabatan lima tahun selesai. Hal ini merupakan senjata ampuh terhadap badan legislatif. Selain itu, perdana menteri harus berasal dari Majelis Rendah dan bersama para menteri dapat melakukan kerja sama baik dengan Parlemen dan juga dapat memberikan pengarahan kepada badan legislatif mengenai pelaksanaan tugas secara umum misalnya dalam penyusunan Undang-Undang atau peraturan- peraturan lainnya. Melihat pola kerja antara lembaga eksekutif dan legislatif di Inggris maka dapat dikatakan Inggris paling banyak menyimpang dari konsep asli.
Negara-negara Eropa Barat lainnya, seperti Belanda dan Jerman, menunjukkan pola yang berada di antara Amerika dan Inggris. Hal ini dapat kita lihat dari tidak adanya anggota badan legislatif yang duduk dalam badan eksekutif atau yudikatif dan begitu pula sebaliknya. Bila mereka terpilih menjadi anggota badan legislatif atau badan lainnya maka mereka harus meninggalkan jabatan mereka yang sebelumnya. Sekalipun demikian, negara-negara demokratis pada umumnya menganut pemikiran Montesquieu dalam bentuk yang termodifikasi dalam arti bahwa mereka menjaga agar kekuasaan itu ada di tangan tiga organ yang berbeda-beda, dan ini dinamakan pembagian kekuasaan.
Perkembangan zaman, baik di bidang sosial, ekonomi dan budaya serta proses modernisasi telah memaksa ketiga badan untuk berlaku luwes sekalipun tetap di tangan organ-organ yang berbeda. Apalagi dengan berkembangnya konsep Negara Kesejahteraan ( Welfare State) di benua Eropa dan Amerika. Di Negara Kesejahteraan, pemerintah menyediakan cukup sandang, pangan dan papan, dan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan sebagainya serta menjamin taraf kehidupan minimum bagi warga negaranya. Badan eksekutif kemudian mendapat peranan besar untuk menangani percobaan-percobaan yang mempengaruhi jalannya pemerintahan dan perkembangan masyarakatnya. Misalnya, badan eksekutif tidak lagi hanya bertindak sebagai pelaksana undang-undang, akan tetapi banyak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bertujuan agar tugas-tugasnya dapat terlaksana dengan baik. Hal ini mengakibatkan bahwa eksekutif jauh lebih banyak mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, daripada di masa lalu. Akan tetapi konsep pembagian kekuasaan tetap dianut, artinya fungsi-fungsi utama dari masing-masing badan itu tetap ada, dan tetap ada interaksi serta hubungan antara badan-badan tersebut untuk kelancaran jalannya pemerintahan.

0 komentar:

Posting Komentar