Pembagian Kekuasaan menurut Tingkat
(Otonomi) dan Fungsi (Checks
and Balances)
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, pembagian
kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara yakni secara vertikal dan
secara horizontal. Dalam kegiatan belajar 2 ini akan dijelaskan pembagian kekuasaan
secara vertikal, yakni pembagian
kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, atau dapat juga
dinamakan pembagian
kekuasaan secara teritorial, misalnya antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam suatu negara kesatuan, atau antara pemerintah federal
dan pemerintah negara bagian dalam suatu negara federal. Sedangkan pembagian kekuasaan
secara horizontal lebih menekankan pada prinsip checks
and balances.
A. PEMBAGIAN KEKUASAAN MENURUT TINGKAT
Persoalan
sifat kesatuan atau sifat federal dari suatu negara sesungguhnya merupakan
bagian dari suatu persoalan yang lebih besar, yakni persoalan integrasi dari
golongan-golongan yang berada dalam suatu wilayah. Integrasi itu dapat
diselenggarakan secara minimal (yaitu dalam suatu konfederasi) atau dapat pula
diselenggarakan secara maksimal (yaitu dalam suatu negara kesatuan).
Dalam teori kenegaraan
persoalan tersebut menyangkut persoalan mengenai bentuk negara, dan persoalan
negara bersusun (Samengestelde
Staten atau Statenverbindungen)
yaitu khususnya yang mengenai federasi dan konfederasi. Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law and State
memakai istilah “forms
of organization” baik untuk federasi dan konfederasi maupun
negara kesatuan yang desentralistis. Ketiga bentuk negara inilah yang akan
diuraikan dalam bagian ini.
1.
Konfederasi
Menurut
L. Oppenheim suatu “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat
penuh yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas
dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa
alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara
anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara negara-negara itu.”
Kekuasaan alat bersama itu
sangat terbatas dan hanya mencakup persoalan-persoalan yang telah ditentukan.
Negara-negara yang tergabung dalam konfederasi itu tetap merdeka dan berdaulat,
sehingga konfederasi itu sendiri pada hakikatnya bukanlah merupakan negara,
baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional.
Keanggotaan suatu negara dalam konfederasi tidaklah menghilangkan atau pun
mengurangi kedaulatannya sebagai negara anggota konfederasi itu. Hal itu adalah
kelemahan konfederasi sebagai suatu ikatan kenegaraan dan merupakan ikatan.
Misalnya, Articles of
the Confederation (Amerika Serikat) yang berlaku sebelum
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, Kongres Amerika Serikat berhak minta dari
negara-negara peserta Konfederasi, pasukan bersenjata dan uang untuk keperluan
bersama serta mengadakan perjanjian internasional. Tetapi alat perlengkapan
bersama itu tidak mempunyai wewenang untuk memaksakan ketaatan dari
negara-negara anggota konfederasi itu. Alat perlengkapan bersama itu hanya
berhubungan dengan pemerintah dari negara-negara anggota konfederasi, tetapi
hubungannya dengan warga negara anggota konfederasi itu tidak langsung
mengikat.
2.
Negara Kesatuan
Menurut C.F. Strong negara
kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan
dalam satu badan legislatif nasional/ pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah
pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang
untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah daerah berdasarkan
hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap
terakhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian,
kedaulatan baik ke dalam maupun ke luar terletak pada pemerintah pusat.
Terdapatnya keWenangan pemerintah daerah untuk membuat peraturan, tidaklah
berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan
tertinggi berada pada pemerintah pusat. C.F. Strong akhirnya menyimpulkan bahwa
ada dua ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan, yaitu: (1) adanya
supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat dan (2) tidak adanya badan-badan
lainnya yang berdaulat. Dengan demikian bagi para warga negaranya dalam negara
kesatuan hanya terasa adanya satu pemerintah saja. Dan bila dibandingkan dengan
federasi dan konfederasi, maka negara kesatuan merupakan bentuk negara dengan
ikatan serta integrasi paling kokoh.
3.
Negara Federal
Menurut
C.F. Strong salah satu ciri negara federal adalah mencoba menyesuaikan dua
konsep yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam
keseluruhannya dan kedaulatan negara. bagian. Penyelenggaraan kedaulatan ke
luar negara-negara bagian diserahkan kepada pemerintah federal, sedangkan
kedaulatan ke dalam dibatasi.
Sekalipun
terdapat banyak perbedaan di antara negara federal, tetapi ada satu prinsip
yang dipegang teguh, yaitu masalah-masalah yang menyangkut negara dalam
keseluruhannya diserahkan pada kekuasaan federal, misalnya mengadakan
perjanjian internasional, hubungan luar negeri dan mencetak uang, pemerintah
federal bebas dari negara bagian dan mempunyai kekuasaan yang tinggi. Tetapi
untuk masalah-masalah yang menyangkut negara bagian saja dan yang tidak
termasuk kepentingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan negara-negara
bagian, jadi pemerintah negara bagian bebas dari pemerintah federal; misalnya
soal kebudayaan, kesehatan dan sebagainya. Oleh sebab itu menurut K.C. Wheare
dalam bukunya Federal
Government, prinsip federal adalah bahwa kekuasaan dibagi
sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam
bidang- bidang tertentu adalah bebas satu sama lain.
Untuk
membentuk suatu negara bagian menurut C.F. Strong diperlukan dua syarat, yaitu:
(1) adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak
membentuk federasi itu, dan (2) adanya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik
yang hendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan terbatas, oleh karena
apabila kesatuan-kesatuan politik itu menghendaki persatuan sepenuhnya, maka
bukan federasilah yang akan dibentuk, melainkan negara kesatuan.
Lalu
bagaimanakah perbedaan antara konfederasi dengan suatu federasi? George
Jellinek mencari ukuran perbedaan itu pada soal di mana letaknya kedaulatan.
Dalam hal konfederasi, kedaulatan terletak pada masing-masing negara anggota
peserta konfederasi, sedangkan pada federasi letak kedaulatan itu pada federasi
itu sendiri dan bukan pada negara bagian. Hal ini sesuai dengan pendapat Edward
M.Sait dalam bukunya Political
lnstitutions: A Preface yang mengemukakan bahwa “negara-negara
yang menjadi anggota suatu konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat,
sedangkan negara-negara yang tergabung dalam suatu federasi kehilangan
kedaulatannya”. Akan tetapi R. Kranenburg memiliki pendapat yang berbeda,
karena ia melihat bahwa kedaulatan bersifat relatif. R. Kranenburg. melihat
perbedaan antara konfederasi dan federasi harus didasarkan atas hal apakah
warga negara dari negara bagian itu langsung terikat atau tidak oleh peraturan-peraturan
organ pusat. Kalau jawabannya “ya",
maka bentuk itu adalah federasi, sedangkan kalau peraturan organ pusat itu
tidak dapat mengikat langsung penduduk wilayah anggotanya, maka gabungan
kenegaraan itu adalah konfederasi.
Sementara
itu, mengenai perbedaan antara federasi dengan negara kesatuan, R. Kranenburg
mengemukakan dua kriteria berdasarkan hukum positif sebagai berikut:
a.
Negara bagian sesuatu federasi memiliki “pouvoir
constituant', yakni wewenang membentuk
Undang-Undang dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri
dalam rangka dan batas-batas konstitusi federal, sedangkan dalam negara
kesatuan organisasi bagian- bagian negara (yaitu pemerintah daerah) secara
garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang pusat;
b.
Dalam negara federal, wewenang membentuk
Undang-Undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per
satu dalam konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan wewenang
pembentukan Undang-Undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan
wewenang pembentukan Undang-Undang rendahan (lokal) tergantung pada badan
pembentuk Undang-Undang pusat itu.
Ditinjau
dari segi integrasi antara kesatuan-kesatuan politik yang bergabung itu, maka
integrasi negara kesatuan lebih kokoh daripada dalam negara federal. Bila
ditinjau dari sudut kenegaraan dan sudut hukum, perbedaan antara negara federal
dengan negara kesatuan (yang didesentralisasi) hanya perbedaan nisbi (relatif)
saja. Hans Kelsen mengemukakan dalam hubungan ini bahwa perbedaan antara negara
federal dengan negara kesatuan yang didesentralisasi itu hanyalah dalam tingkat
desentralisasi.
Tetapi
bilamana ditinjau dari sudut politik maka terdapat perbedaan prinsipil antara
federasi dengan negara kesatuan. Seorang sarjana hukum, E.
Utrecht dalam hubungan ini mengemukakan bahwa pada permulaan
perkembangan kenegaraan, perlu ada sentralisasi kekuasaan supaya
kekuatan-kekuatan yang bertujuan akan meruntuhkan kesatuan yang baru dicapai
itu dapat dilenyapkan. Apabila kemudian ternyata kekuatan-kekuatan tersebut
tidak ada lagi-jadi hidup negara yang baru itu tidak terancam lagi oleh
kekuatan-kekuatan yang bertujuan meruntuhkan kekuasaan- maka sentralisasi itu
dapat dijadikan desentralisasi, bahkan lebih jauh lagi: suatu desentralisasi
yang bersifat federasi.
B. PEMBAGIAN KEKUASAAN MENURUT FUNGSI (CHECKS
AND
BALANCES)
Pada
abad ke-15 dan 16 benua Eropa mengalami masa-masa suram, pertama karena
sering terjadinya perang saudara; kedua,
karena raja-raja antara lain di Spanyol, Perancis dan inggris, memerintah
dengan kekuasaan mutlak, artinya kekuasaan pemerintah sepenuhnya berada di
tangan satu orang yaitu raja. Hal ini disebut absolutisme, karena kekuasaan
raja tidak terbatas, sehingga raja cenderung menyalahgunakan kekuasaan dan
dalam mengambil keputusan lebih banyak terdorong oleh perasaan senang dan tidak
senang daripada kearifan yang rasional. Rakyat menjadi amat menderita karena
tak ada kekuatan lain yang dapat mencegah atau mengawasi kekuasaan raja yang
absolut itu. Misalnya, banyak orang dipenjara tanpa prosedur hukum, dan
kemiiikannya dirampas.
Keadaan
ini mengakibatkan timbulnya beberapa gagasan untuk mencari perlindungan bagi
beberapa hak, seperti keselamatan atas diri dan benda. Dianggap bahwa pemusatan
kekuasaan di tangan satu orang memberi peluang untuk memakai kekuasaan itu
secara sewenang-wenang. Untuk menghindari hal itu, perlu pembagian kekuasaan di
antara beberapa badan yang masing-masing dapat secara bebas bekerja
melaksanakan tugas-tugas yang berkenaan dengan negara. Dengan demikian, hak-hak
seseorang atas keselarnatan diri serta harta bendanya akan terlindungi, dan
kekuasaan raja tidak lagi bersifat mutlak dan tak terbatas.
Pemikiran
ini dikemukakan pertama kali oleh filsuf Inggris John Locke melalui bukunya yang berjudul Two
Treatise on Civil Government, pada tahun 1690. Pemikiran John Locke ini kemudian dikembangkan lagi oleh filsuf Perancis, Montesquieu, pada tahun 1748 melalui bukunya yang terkenal l’Esprit des
Lois (The Spirit of the Laws). Pemikiran Montesquieu inilah
yang menjadi dasar bagi sistem pemerintahan negara demokratis dewasa ini,
meskipun mengalami banyak sekali perubahan dan penyesuaian dalam penerapannya,
karena perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya di negara-negara masing-masing.
Montesquieu mengemukakan bahwa kekuasaan itu harus dibagi ke dalam tiga organ
(badan) dengan tugas (fungsi) yang berbeda-beda dan terpisah, yaitu:
1.
Kekuasaan legislatif,
kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2.
Kekuasaan eksekutif,
yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang- undang;
3.
Kekuasaan yudikatif,
yaitu kekuasaan untuk mengadili pelanggaran undang-undang.
Melalui
teorinya, Montesquieu mengharapkan agar ada jaminan untuk kemerdekaan individu terhadap
tindakan sewenang-wenang raja atau pihak penguasa. Pemikiran ini sering
dinamakan teori mengenai pemisahan
kekuasaan atau “Trias Politica",
Doktrin
yang dikemukakan oleh Montesquieu amat besar
pengaruhnya bagi kehidupan politik di Amerika Serikat. Ketika Undang-Undang
Dasar Amerika Serikat ditetapkan, maka diaturlah bahwa badan legislatif, badan
eksekutif, dan badan yudikatif masing-masing berdiri sendiri. Misalnya badan
legislatif (congress)
tidak dapat dijatuhkan oleh badan eksekutif (Presiden), begitu pula sebaliknya;
dan menteri tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif.
Akan
tetapi, meskipun telah ditetapkan secara tegas mengenai fungsi dan peranan dari
masing-masing badan, namun untuk menjaga agar tidak terjadi penyelewengan oleh
salah satu badan, maka ditentukan suatu sistem checks
and balances (Pengawasan dan Keseimbangan) yang mengatur agar satu organ
mengawasi dan mengimbangi yang lain. Dengan demikian pemikiran Montesquieu sudah sedikit banyak dimodifikasi dan orang cenderung menamakan
sistem ini dengan sebutan pembagian
kekuasaan dan bukan lagi emisahan
kekuasaan.
Contoh
dari checks and balances ini ialah ketentuan bahwa badan eksekutif (Presiden AS) mempunyai
hak veto terhadap RUU yang telah diterima oleh badan legislatif (Congress AS yang
terdiri dari Senate
dan ouse of Représentatives). Sebagai contoh adalah kasus Jenkins
Bill, yaitu
undang-Undang yang akan membatasi impor tekstil dari beberapa negara
termasuk
Indonesia, diveto oleh Presiden Reagan pada
bulan September 1985. Akan tetapi veto yang telah dikeluarkan oleh presiden
dapat dibatalkan oleh badan legislatif, bila dalam badan legislatif 2/3 dari
anggota kedua majelis (yaitu Senate
dan Home)
menghendaki demikian. Dengan cara ini badan legislatif dan badan eksekutif
sedikit banyak mengawasi dan mengimbangi satu sama lain.
Mengenai
badan yudikatif, terutama Mahkamah Agung dapat menjalankan tugasnya dengan
bebas, dan juga hakim agung dapat terus bertugas sampai mereka mengundurkan
diri secara sukarela. Selama berkelakuan baik mereka tak dapat diberhentikan.
Tapi calon hakim agung ditunjuk oleh presiden dan selain itu harus dapat
persetujuan dari badan legislatif, dalam hal ini senat. Mahkamah Agung,
mempunyai hak Judicial
Review, dengan hak ini maka Mahkamah Agung dapat menguji apakah
suatu Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar atau tidak; dengan
demikian dapat menolak pelaksanaan Undang-Undang yang dianggap tidak sesuai
dengan UUD. (Mengenai peranan Mahkamah Agung Amerika Serikat dapat dilihat pada
Modul Badan Yudikatif). Semua ketentuan tersebut di atas mencerminkan konsep check and
balances antara
ketiga organ kekuasaan.
Dari
uraian di atas, sekalipun Amerika Serikat dikatakan paling murni melaksanakan Trias politica, namun telah banyak menyimpang dari konsep asli, sehingga dewasa
ini dianggap bahwa yang dianut Amerika Serikat adalah konsep pembagian kekuasaan
dan tidak lagi pemisahan kekuasaan.
Keadaan
di Inggris agak berbeda. Negara ini paling banyak menyimpang dari konsep Trias politica yang asli, yaitu dalam arti pemisahan kekuasaan. Parlemen Inggris
yang terdiri dari Majelis Tinggi dan Majelis Rendah (Home of Lords dan
Home of Commons),
dapat menjatuhkan atau menarik kembali dukungan yang telah diberikan kepada
kabinet yang sedang berkuasa. Jadi, mati hidupnya kabinet ditentukan oleh
dukungannya dalam parlemen. Hal ini biasa kita jumpai dalam negara yang memakai
sistem parlementer. Akan tetapi, di Inggris terdapat suatu pola yang agak unik,
yaitu bahwa perdana menteri dapat membubarkan dewan perwakilan rakyat (Majelis
Rendah) untuk mengadakan pemilihan umum sebelum masa jabatan lima tahun
selesai. Hal ini merupakan senjata ampuh terhadap badan legislatif. Selain itu,
perdana menteri harus berasal dari Majelis Rendah dan bersama para menteri
dapat melakukan kerja sama baik dengan Parlemen dan juga dapat memberikan pengarahan
kepada badan legislatif mengenai pelaksanaan tugas secara umum misalnya dalam
penyusunan Undang-Undang atau peraturan- peraturan lainnya. Melihat pola kerja
antara lembaga eksekutif dan legislatif di Inggris maka dapat dikatakan Inggris
paling banyak menyimpang dari konsep asli.
Negara-negara
Eropa Barat lainnya, seperti Belanda dan Jerman, menunjukkan pola yang berada
di antara Amerika dan Inggris. Hal ini dapat kita lihat dari tidak adanya
anggota badan legislatif yang duduk dalam badan eksekutif atau yudikatif dan
begitu pula sebaliknya. Bila mereka terpilih menjadi anggota badan legislatif
atau badan lainnya maka mereka harus meninggalkan jabatan mereka yang
sebelumnya. Sekalipun demikian, negara-negara demokratis pada umumnya menganut
pemikiran Montesquieu dalam bentuk yang termodifikasi dalam arti bahwa mereka menjaga
agar kekuasaan itu ada di tangan tiga organ yang berbeda-beda, dan ini
dinamakan pembagian
kekuasaan.
Perkembangan
zaman, baik di bidang sosial, ekonomi dan budaya serta proses modernisasi telah
memaksa ketiga badan untuk berlaku luwes sekalipun tetap di tangan organ-organ
yang berbeda. Apalagi dengan berkembangnya konsep Negara Kesejahteraan ( Welfare State) di
benua Eropa dan Amerika. Di Negara Kesejahteraan, pemerintah menyediakan cukup
sandang, pangan dan papan, dan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan sebagainya
serta menjamin taraf kehidupan minimum bagi warga negaranya. Badan eksekutif
kemudian mendapat peranan besar untuk menangani percobaan-percobaan yang
mempengaruhi jalannya pemerintahan dan perkembangan masyarakatnya. Misalnya,
badan eksekutif tidak lagi hanya bertindak sebagai pelaksana undang-undang,
akan tetapi banyak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bertujuan agar
tugas-tugasnya dapat terlaksana dengan baik. Hal ini mengakibatkan bahwa
eksekutif jauh lebih banyak mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat, daripada di masa lalu. Akan tetapi konsep pembagian kekuasaan
tetap dianut, artinya fungsi-fungsi utama dari masing-masing badan itu tetap
ada, dan tetap ada interaksi serta hubungan antara badan-badan tersebut untuk
kelancaran jalannya pemerintahan.
0 komentar:
Posting Komentar