Sesuai
dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945, (sebelum diamendemen) koperasi (seharusnya)
memainkan peranan dan kedudukan sentral atau seperti yang sering dinyatakan
oleh pejabat atau pimpinan gerakan koperasi, sebagai soko guru (tiang
utama) perekonomian nasional.
Dalam berbagai produk kebijaksanaan pembangunan perekonomian,
perkoperasian pada khususnya, ketentuan konstitusi tersebut di atas diupayakan
untuk tetap dipertahankan secara konsekuen. Dalam UU No. 25/1992 tentang
Perkoperasian, misalnya disebutkan bahwa fungsi dan peranan koperasi antara
lain untuk "memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan
ketahanan perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian
nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya". Demikian pula dalam
Tap-tap MPR, cita-cita untuk menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional masih tetap
dijadikan pegangan. Dengan demikian, secara politis dan normatif, peranan dan
keberadaan koperasi sampai saat ini masih tetap kuat.
Pada era Reformasi, komitmen terhadap pembangunan koperasi
sesuai Pasal 33 UUD 1945 tetap besar. Hal ini tampak pada Tap-tap MPR, dalam
Sidang Istimeyanya yang digelar pada 10-13 November 1998. Berbeda dengan
Tap-tap MPR sebelumnya, yang selalu menempatkan peranan dan arah pembangunan
koperasi pada Tap tentang GBHN, dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998 ini,
peranan koperasi dimuat pada beberapa Tap (bersama dengan usaha kecil dan
menengah), seperti Tap Nomor XV/MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan, Republik Indonesia”, dan Tap Nomor XVI/MPR/1998 tentang "Politik
Ekonomi dalati Rangka Demokrasi Ekonomi“. Dalam Tap No. XV/MPR/1998, ?asal 3
ayat (2) dinyatakan: “Pengelolaan sumber daya alam di lakukan secera efektif
dan efisien, bertanggung jawab, transparent, terbuka, dan dilacsanakan dengan
memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah dan koperasi”.
Sedangkan
dalam Tap No. XVI/MPR/1998, sebagai salah satu pertimbangannya disebutkan
sebagai berikut: “bahwa sejalan dengan perkembangan, kebutuhan dan tantangan
Pembangunan Nasional, diperlukan keberpihakan politik ekonomi yang lebih
memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup
koperasi, usaha kecil dan menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi
nasional". Dalam Tap ini terdapat beberapa pasal yang memuat tentang
peranan koperasi (dan usaha kecil menengah) sebagai berikut.
1. Usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai
pilar utama ekonomi nasional harus memperoleh kesempatan utama, dukungan,
perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang
tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan usaha
besar dan Badan Usaha Milik Negara (Pasal 5).
2. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber
daya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala
bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan
ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas.
3. Tanah sebagai basis usaha pertanian harus
diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat yang mampu
melibatkan serta memberi sebesar-besarnya kemakmuran bagi usaha tani kecil,
menengah dari koperasi (Pasal 7 ayat (2)).
4. Perbankan dan Lembaga Keuangan wajib dalam
batas-batas prinsip dan pengelolaan usaha yang sehat, membuka peluang
sebesar-besarnya, seadil-adilnya dan transparan bagi pengusaha kecil, menengah
dan koperasi (Pasal 8).
Menurut Prof. Dawam Rahardjo (1999), dalam Tap tersebut terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh gerakan koperasi dan pelaku ekonomi
koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yaitu pertama, pemerintah akan membantu mengembangkan
dan memberikan prioritas kepada pengusaha ekonomi yang masih lemah. Kedua, koperasi dan UKM akan memperoleh
kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan. Ketiga, BUMN dan usaha swasta besar akan
didorong (atau diharuskan) bermitra kepada koperasi dan UKM. Keempat, koperasi dan UKM diberi akses terhadap
pengelolaan tanah, terutama di bidang pertanian. Kelima, koperasi dan UKM diberi kesempatan
untuk mengakses sumber daya perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
Untuk pelaksanaan di lapangan pemerintah juga telah memberikan
fasilitas atau kemudahan-kemudahan dalam bentuk berbagai kebijakan, seperti
berikut.
1.
Pencabutan Inpres No. 4 Tahun 1984 yang menetapkan KUD sebagai
satu-satunya organisasi koperasi di tingkat pedesaan, diganti dengan Inpres No.
18 Tahun 1998 yang memberikan kebebasan mendirikan koperasi yang dikehendaki
masyarakat.
2.
Pelimpahan wewenang pemberian pengakuan badan hukum koperasi
kepada Kepala Kantor Departemen Koperasi dan P KM di tingkat kabupaten/kotamadya.
3.
Dibukanya peluang bagi koperasi untuk menyalurkan sembilan bahan
pokok sebagai bagian dari program jaringan pengamanan sosial pemerintah untuk
kelancaran dan pemerataan distribusi.
4.
Diciptakannya 17 skema kredit bagi koperasi dan usaha kecil/menengah
yang meliputi Rp 10,8 triliun dengan tingkat bunga yang rendah.
5.
Diambil langkah-langkah konkret dan efektif untuk mempersatukan
kembali gerakan koperasi yang mengalami peipecahan akibat kebijakan pemerintah
Orde Baru tahun 1997.
6. Dikeluarkannya Keputusan Menteri
Koperasi dan PKM No. 351 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam oleh koperasi.
Apabila dilihat dari kebijakan
pengembangan koperasi secara nasional masih tetap konsisten dengan kebijakan
sebelumnya, bagaimana dengan kondisi koperasi sendiri pada saat ini?
Berdasarkan data dari Departemen Koperasi dan PKM, perkembangan koperasi hingga
31 December 1998 adalah sebagai berikut.
Pada akhir tahun 1998 jumlah koperasi
mencapai 59.441 unit (1997: 52.458 unit), terdiri dari 8.279 KUD dan 51.162 non
KUD, sedangkan anggota perorangan mencapai 20.128.180 orang (1997: 29.139.500
prang) terdiri dari 10.082 .970 orang anggota KUD, dan 10.045.220 orang anggota
non KUD.
Modal sendiri berjumlah Rp5,l triliun
(1997: Rp4, 2 triliun), sedangkan modal luar mencapai jumlah Rp4,8 triliun
(1997: Rp4,6 triliun). Tentang aset-asetnya mencapai, jumlah Rp9,9 triliun
(1997: Rp8,9 triliun). Dari kegiatan usahanya dicapai volume usaha Rpl2,9
triliun (1997: Rpl3,5 triliun), kemudian menghasilkan SHU sebesar Rp455 miliar.
Seperti telah dikemukakan dalam Modul 2, Kegiatan Belajar 4,
perkembangan koperasi pada akhir tahun 2002 telah meningkat sebagai berikut:
jumlah koperasi 117.806 (24.938 di antaranya tidak aktif), jumlah anggota
perorangan 24.040.448 orang. Modal sendiri Rp8.63 triliun, modal luar menjadi
Rp 14.95 triliun, volume usaha Rp26.3 triliun, dan SHU mencapai Rp 1.083
triliun.
Meskipun secara kuantitatif kinerja koperasi selalu meningkat,
namun secara kualitatif nilainya masih kecil, baik secara internal dilihat dari
manfaat bagi para anggotanya maupun secara eksternal dilihat dari peranannya
dalam pembangunan perekonomian nasional.
sumbangan koperasi kepada PDB pada tahun 2002 hanya mencapai 4%.
Tentang masih terbatasnya kinerja dalam pembangunan perekonomian nasional ini,
menurut Prof. Dr. Soeharto Prawirokusumo (1996) karena “kemampuan dari
profesionalisme sumber daya manusia pada koperasi umumnya masih relatif lemah
sehingga koperasi belum dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagaimana
diharapkan”. Lemahnya kualitas sumber daya manusia tersebut merupakan kendala
utama yang dihadapi koperasi, kemudian mengakibatkan timbulnya kendala-kendala
lainnya, seperti berikut.
1. Kekurangmampuan koperasi dalam
memanfaatkan peluang dan memperluas pangsa pasar.
2. Organisasi dan manajemen masih relatif
lemah:
3. Struktur permodalan dan keterbatasan
akses koperasi terhadap sumber- liunber permodalan.
koperasi dalam penguasaan teknologi.
5. Kurang terjadinya jaringan dan kerja sama
usaha antarkoperasi maupun swasta dan BUMN.
Selain kendala utama yang bersumber dari internal
koperasi, terdapat pula kendala yang bersumber dari eksternal, yaitu berikut ini.
1.Iklim usaha yang masih kurang kondusif bagi koperasi
karena masih adanya persaingan yang tidak sehat.
oleh koperasi pada umumnya relative masih terbatas 3.Pembinaan
pada koperasi oleh instansi terkait masih belum dilakukan secara terpadu.
4.Masih kurangnya pemahaman, kepercayaan,
dan kepedulian masyarakat terhadap perkoperasian
.
Dengan berbagai kendala yang dihadapi
koperasi di atas, terutama kelemahan dalam hal berikut ini.
1. Struktur permodalan dan pemupukan modal.
2. Terbatasnya akses ke sumber-sumber permodalan.
3. Terbatasnya penyebaran dan penyediaan
teknologi nasional bagi koperasi.
Hal ini mengakibatkan rendahnya
kemampuan koperasi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usahanya
sehingga daya saing koperasi relatif lemah.
Berbagai kelemahan atau kendala tersebut juga menyebabkan
berbagai kemudahan maupun peluang, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun
pihak lain (termasuk gerakan koperasi luar negeri) kurang bisa dimanfaatkan
secara maksimal oleh koperasi. Dilihat jati diri (identitas) koperasi banyak
dari kalangan gerakan A pada khususnya dan masyarakat pada umumnya belum
memahami hakikat koperasi, baik mengenai pengertian (definisi), nilai-nilai
maupun prinsip-prinsipnya sehingga dalam memanfaatkan berbagai kemudahan dan
peluang tersebut lebih banyak dirangsang untuk "memanfaatkan peluang usaha
tanpa menghiraukan jati diri koperasi sehingga dalam praktik sukar dibedakan
dari praktik-praktik bukan koperasi", seperti dinyatakan oleh Ibnoe
Soedjono (1999),
Hal ini tampak nyata dari sikap atau respon gerakan koperasi dan
masyarakat pada umumnya terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam pembinaan
koperasi, seperti disebutkan di muka, antara lain:
1.
Pencabutan Inpres No. 4 Tahun 1984 yang hanya memberi kesempatan
kepada KUD sebagai satu-satunya koperasi di pedesaan, dan penerbitan Inpres No.
18 Tahun 1998 yang memberi kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
membentuk koperasi, pada awalnya disambut dengan antusias oleh gerakan koperasi
dan masyarakat umum yang ingin membentuk koperasi. Kebijakan ini, kemudian
diikuti dengan pelimpahan wewenang pemberian/pengesahan badan hukum kepada
Kepala Kantor Depkop dan FKM di tingkat kabupaten/kotamadya, yang semula berada
di tangan Kepala Kanwil Depkop dan P KM. Kebijakan ini sayangnya tidak
dilakukan secara selektif dan tidak dikaitkan secara fungsional dengan
pembinaan koperasi yang sehat dan kuat sehingga yang banyak muncul adalah
“koperasi-koperasi pengurus”, “koperasi merpati” (yang hanya mengharapkan
fasilitas), koperasi dadakan dan sebagainya. Akibatnya jumlah koperasi memang
meningkat tajam, tetapi kualitasnya sangat lemah.
2. Pemberian fasilitas 17 skim kredit/yang meliputi dana sebesar
Rpl0,6 triliun dengan tingkat bunga rendah (10-16) yang menjadi rebutan di
lapangan, kemudian menimbulkan beberapa permasalahan, baik yang bersifat
ekonomi (berkaitan dengan kelayakan usaha), jati diri koperasi (berkaitan dengan
penggunaan dana untuk bukan anggota) bahkan juga politik (berkaitan dengan
kampanye pemilu).
Menghadapi berbagai permasalahan internal maupun eksternal
koperasi tersebut, Ibnoe Soedjono (1999) menyarankan agar koperasi melakukan konsolidasi
supaya dapat selamat melalui krisis yang multi dimensional yang tidak
kunjung selesai supaya siap memasuki sistem ekonomi pasar yang terkait dengan
globalisasi dan selanjutnya dapat berperan dalam, pembangunan ekonomi
kerakyatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Hal-hal
esensial yang perlu dilakukan dalam kaitan konsolidasi ini ialah berikut ini.
1. Memperkokoh organisasi dalam arti individual
maupun secara bersama- sama melalui integrasi horizontal dan vertikal, dasar
pemikirannya bahwa organisasi adalah modal utama koperasi dan tanpa organisasi
yang baik, koperasi tidak akan dapat melakukan fungsinya sesuai dengan jati dirinya.
2. Membangun manajemen yang efektif (value based profesional management) untuk membuat organisasi dapat berfungsi terutama dalam
pemberian pelayanan bagi anggota-anggotanya.
3. Membangun visi yang kokoh dalam rangka membangun
perkoperasian di hari depan. Visi merupakan sumber kekuatan bagi motivasi
gerakan koperasi dan merupakan sarana yang paling efektif untuk memperkuat dan
meremajakan organisasi.
4. Menetapkan misi dalam upaya merealisasi visi. Misi merupakan keyakinan dan alasan
sekaligus mengapa koperasi harus ada dan kuat untuk melakukan perannya.
5.
Beberapa hal yang perlu memperoleh kesepakatan bersama antara
pemerintah
dari gerakan koperasi untuk melancarkan dan
mengefektifkan
program konsolidasi adalah:
a.
adanya pemahaman bersama antara pemerintah dan gerakan koperasi
mengenai kedudukan peran dan arah pengembangan koperasi dalam era Reformasi
dengan berpedoman di satu pihak pada jati diri koperasi dan lain pihak pada
konsep ekonomi kerakyatan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 33 UUD 1945. Dalam
hubungan ini perlu diterima secara sadar bahwa telah dan akan teijadi proses
alamiah di mana peran pemerintah akan terus berkurang dan peran gerakan
koperasi akan bertambah, tanpa mengurangi arti kemitraan antara kedua belah
pihak;
b. perlu ada re-orientasi dan reedukasi di
kalangan fungsionaris- fungsionaris pemerintah dan gerakan koperasi yang
konsisten dengan pedoman, kedudukan, peran dan arah pengembangan koperasi dalam
era Reformasi yang telah disepakati bersama;
c.
memperkokoh kedudukan dan
mengefektifkan peran DEKOPIN supaya dapat berfungsi memberikan kepemimpinan
kepada gerakan koperasi dan bertindak sebagai mitra kerja pemerintah yang setaraf
untuk pengembangan perkoperasian;
d.
memperbarui Undang-undang Perkoperasian yang ada yang menjamin
pemerintah yang demokratis dan profesional di satu pihak dan di lain pihak
mewajibkan koperasi setia pada jati dirinya. Dalam hubungan ini perlu diatur
pengawasan yang efektif (melalui kewajiban audit), insentif yang mendorong
koperasi setia pada jati dirinya (melalui perpajakan, perkreditan dan
fasilitas-fasilitas lain yang relevan, seperti perizinan), sanksi-sanksi
terhadap pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah, koperasi dan
pihak-pihak lain;
e.
dalam waktu dekat dilakukan tindakan-tindakan penataan yang
efektif untuk menghentikan beroperasinya (koperasi-koperasi yang nyata-nyata
melanggar undang-undang koperasi dan jati diri koperasi melalui pencabutan
pengakuan badan hukum, penangguhan pemberian badan hukum dan perizinan operasi.
6.
Dalam pelaksanaan program konsolidasi diperlukan sarana
penunjang operasional sebagai berikut.
a. Adanya lembaga pendidikan dan pelatihan yang
tersebar ke daerah- daerah dan konsultasi di bidang perkoperasian, manajemen
dan bisnis.
b. Adanya lembaga keuangan yang solid sebagai
tulang punggung ekonomi sektor koperasi dalam bentuk-bentuk koperasi, lembaga
jaminan simpanan dan kredit serta asuransi.
c.
Adanya sistem dan kebijakan
perpajakan yang khusus bagi koperasi sesuai dengan watak mutual koperasi yang
motif utamanya adalah pelayanan bagi anggota-anggotanya.
Bilamana koperasi berhasil ke luar dengan selamat dari krisis
dan berhasil pula melakukan konsolidasi maka koperasi akan lebih siap untuk
memainkan peran yang strategis dan efektif dalam:
1. melaksanakan fungsi umumnya, yaitu memberikan
pelayanan untuk memenuhi kepentingan komunitasnya dengan barang dan jasa.
2. memasuki ekonomi pasar sebagai konsekuensi
globalisasi ekonomi dan meraih akses terhadap sumber-sumber daya ekonomi dan
sosial yang tersedia serta mampu bertindak sebagai counter-veiling power (kekuatan pengimbang) terhadap
pelaku-pelaku lain yang besar.
3. meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan
ekonomi kerakyatan di sektor-sektor produktif, seperti pertanian,
industri/kerajinan, dan sejenisnya serta golongan strategis dalam lingkungan
masyarakat, seperti konsumen, pekeija dan para pemberi jasa, sebagai bagian
dari sistem demokrasi ekonomi menurut Pasal 33 UUD 1945.
Dengan masih kecil/ terbatasnya peranan
koperasi, baik pada tingkat mikro maupun makro maka strategi pengembangan
koperasi, seperti diuraikan di atas sangat diperlukan. Apalagi pascaamendemen
UUD 1945, di mana kata “koperasi” tidak ada lagi di dalamnya, langkah-langkah
tersebut merupakan keharusan.
0 komentar:
Posting Komentar