Selasa, 21 Oktober 2014

Koperasi di Tengah Pembangunan Nasional



  
 Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945, (sebelum diamendemen) koperasi (seharusnya) memainkan peranan dan kedudukan sentral atau seperti yang sering dinyatakan oleh pejabat atau pimpinan gerakan koperasi, sebagai soko guru (tiang utama) perekonomian nasional.
Dalam berbagai produk kebijaksanaan pembangunan perekonomian, perkoperasian pada khususnya, ketentuan konstitusi tersebut di atas diupayakan untuk tetap dipertahankan secara konsekuen. Dalam UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian, misalnya disebutkan bahwa fungsi dan peranan koperasi antara lain untuk "memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya". Demikian pula dalam Tap-tap MPR, cita-cita untuk menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional masih tetap dijadikan pegangan. Dengan demikian, secara politis dan normatif, peranan dan keberadaan koperasi sampai saat ini masih tetap kuat.
Pada era Reformasi, komitmen terhadap pembangunan koperasi sesuai Pasal 33 UUD 1945 tetap besar. Hal ini tampak pada Tap-tap MPR, dalam Sidang Istimeyanya yang digelar pada 10-13 November 1998. Berbeda dengan Tap-tap MPR sebelumnya, yang selalu menempatkan peranan dan arah pembangunan koperasi pada Tap tentang GBHN, dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998 ini, peranan koperasi dimuat pada beberapa Tap (bersama dengan usaha kecil dan menengah), seperti Tap Nomor XV/MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan, Republik Indonesia”, dan Tap Nomor XVI/MPR/1998 tentang "Politik Ekonomi dalati Rangka Demokrasi Ekonomi“. Dalam Tap No. XV/MPR/1998, ?asal 3 ayat (2) dinyatakan: “Pengelolaan sumber daya alam di lakukan secera efektif dan efisien, bertanggung jawab, transparent, terbuka, dan dilacsanakan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah dan koperasi”.


Sedangkan dalam Tap No. XVI/MPR/1998, sebagai salah satu pertimbangannya disebutkan sebagai berikut: “bahwa sejalan dengan perkembangan, kebutuhan dan tantangan Pembangunan Nasional, diperlukan keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil dan menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional". Dalam Tap ini terdapat beberapa pasal yang memuat tentang peranan koperasi (dan usaha kecil menengah) sebagai berikut.
1.        Usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara (Pasal 5).
2.        Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas.
3.        Tanah sebagai basis usaha pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat yang mampu melibatkan serta memberi sebesar-besarnya kemakmuran bagi usaha tani kecil, menengah dari koperasi (Pasal 7 ayat (2)).
4.        Perbankan dan Lembaga Keuangan wajib dalam batas-batas prinsip dan pengelolaan usaha yang sehat, membuka peluang sebesar-besarnya, seadil-adilnya dan transparan bagi pengusaha kecil, menengah dan koperasi (Pasal 8).
Menurut Prof. Dawam Rahardjo (1999), dalam Tap tersebut terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh gerakan koperasi dan pelaku ekonomi koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yaitu pertama, pemerintah akan membantu mengembangkan dan memberikan prioritas kepada pengusaha ekonomi yang masih lemah. Kedua, koperasi dan UKM akan memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan. Ketiga, BUMN dan usaha swasta besar akan didorong (atau diharuskan) bermitra kepada koperasi dan UKM. Keempat, koperasi dan UKM diberi akses terhadap pengelolaan tanah, terutama di bidang pertanian. Kelima, koperasi dan UKM diberi kesempatan untuk mengakses sumber daya perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
Untuk pelaksanaan di lapangan pemerintah juga telah memberikan fasilitas atau kemudahan-kemudahan dalam bentuk berbagai kebijakan, seperti berikut.
1.      Pencabutan Inpres No. 4 Tahun 1984 yang menetapkan KUD sebagai satu-satunya organisasi koperasi di tingkat pedesaan, diganti dengan Inpres No. 18 Tahun 1998 yang memberikan kebebasan mendirikan koperasi yang dikehendaki masyarakat.
2.      Pelimpahan wewenang pemberian pengakuan badan hukum koperasi kepada Kepala Kantor Departemen Koperasi dan P KM di tingkat kabupaten/kotamadya.
3.      Dibukanya peluang bagi koperasi untuk menyalurkan sembilan bahan pokok sebagai bagian dari program jaringan pengamanan sosial pemerintah untuk kelancaran dan pemerataan distribusi.
4.      Diciptakannya 17 skema kredit bagi koperasi dan usaha kecil/menengah yang meliputi Rp 10,8 triliun dengan tingkat bunga yang rendah.
5.      Diambil langkah-langkah konkret dan efektif untuk mempersatukan kembali gerakan koperasi yang mengalami peipecahan akibat kebijakan pemerintah Orde Baru tahun 1997.
6.      Dikeluarkannya Keputusan Menteri Koperasi dan PKM No. 351 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh koperasi.
Apabila dilihat dari kebijakan pengembangan koperasi secara nasional masih tetap konsisten dengan kebijakan sebelumnya, bagaimana dengan kondisi koperasi sendiri pada saat ini? Berdasarkan data dari Departemen Koperasi dan PKM, perkembangan koperasi hingga 31 December 1998 adalah sebagai berikut.
Pada akhir tahun 1998 jumlah koperasi mencapai 59.441 unit (1997: 52.458 unit), terdiri dari 8.279 KUD dan 51.162 non KUD, sedangkan anggota perorangan mencapai 20.128.180 orang (1997: 29.139.500 prang) terdiri dari 10.082 .970 orang anggota KUD, dan 10.045.220 orang anggota non KUD.
Modal sendiri berjumlah Rp5,l triliun (1997: Rp4, 2 triliun), sedangkan modal luar mencapai jumlah Rp4,8 triliun (1997: Rp4,6 triliun). Tentang aset-asetnya mencapai, jumlah Rp9,9 triliun (1997: Rp8,9 triliun). Dari kegiatan usahanya dicapai volume usaha Rpl2,9 triliun (1997: Rpl3,5 triliun), kemudian menghasilkan SHU sebesar Rp455 miliar.
Seperti telah dikemukakan dalam Modul 2, Kegiatan Belajar 4, perkembangan koperasi pada akhir tahun 2002 telah meningkat sebagai berikut: jumlah koperasi 117.806 (24.938 di antaranya tidak aktif), jumlah anggota perorangan 24.040.448 orang. Modal sendiri Rp8.63 triliun, modal luar menjadi Rp 14.95 triliun, volume usaha Rp26.3 triliun, dan SHU mencapai Rp 1.083 triliun.
Meskipun secara kuantitatif kinerja koperasi selalu meningkat, namun secara kualitatif nilainya masih kecil, baik secara internal dilihat dari manfaat bagi para anggotanya maupun secara eksternal dilihat dari peranannya dalam pembangunan perekonomian nasional.
sumbangan koperasi kepada PDB pada tahun 2002 hanya mencapai 4%. Tentang masih terbatasnya kinerja dalam pembangunan perekonomian nasional ini, menurut Prof. Dr. Soeharto Prawirokusumo (1996) karena “kemampuan dari profesionalisme sumber daya manusia pada koperasi umumnya masih relatif lemah sehingga koperasi belum dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagaimana diharapkan”. Lemahnya kualitas sumber daya manusia tersebut merupakan kendala utama yang dihadapi koperasi, kemudian mengakibatkan timbulnya kendala-kendala lainnya, seperti berikut.
1. Kekurangmampuan koperasi dalam memanfaatkan peluang dan memperluas pangsa pasar.
2. Organisasi dan manajemen masih relatif lemah:
3. Struktur permodalan dan keterbatasan akses koperasi terhadap sumber- liunber permodalan.
4. keterbatasan koperasi dalam penguasaan teknologi.
 5. Kurang terjadinya jaringan dan kerja sama usaha antarkoperasi maupun dengan swasta dan BUMN.
Selain kendala utama yang bersumber dari internal koperasi, terdapat pula kendala yang bersumber dari eksternal, yaitu berikut ini.
1.Iklim usaha yang masih kurang kondusif bagi koperasi karena masih adanya persaingan yang tidak sehat.
2.Sarana dan prasarana ekonomi yang dimiliki oleh   koperasi pada umumnya relative masih terbatas 3.Pembinaan pada koperasi oleh instansi terkait  masih belum dilakukan secara terpadu.
4.Masih kurangnya pemahaman, kepercayaan, dan kepedulian masyarakat terhadap perkoperasian


.
Dengan berbagai kendala yang dihadapi koperasi di atas, terutama kelemahan dalam hal berikut ini.
1.        Struktur permodalan dan pemupukan modal.
2.        Terbatasnya akses ke sumber-sumber permodalan.
3.        Terbatasnya penyebaran dan penyediaan teknologi nasional bagi koperasi.
Hal ini mengakibatkan rendahnya kemampuan koperasi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usahanya sehingga daya saing koperasi relatif lemah.
Berbagai kelemahan atau kendala tersebut juga menyebabkan berbagai kemudahan maupun peluang, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun pihak lain (termasuk gerakan koperasi luar negeri) kurang bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh koperasi. Dilihat jati diri (identitas) koperasi banyak dari kalangan gerakan A pada khususnya dan masyarakat pada umumnya belum memahami hakikat koperasi, baik mengenai pengertian (definisi), nilai-nilai maupun prinsip-prinsipnya sehingga dalam memanfaatkan berbagai kemudahan dan peluang tersebut lebih banyak dirangsang untuk "memanfaatkan peluang usaha tanpa menghiraukan jati diri koperasi sehingga dalam praktik sukar dibedakan dari praktik-praktik bukan koperasi", seperti dinyatakan oleh Ibnoe Soedjono (1999),
Hal ini tampak nyata dari sikap atau respon gerakan koperasi dan masyarakat pada umumnya terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam pembinaan koperasi, seperti disebutkan di muka, antara lain:
1.       Pencabutan Inpres No. 4 Tahun 1984 yang hanya memberi kesempatan kepada KUD sebagai satu-satunya koperasi di pedesaan, dan penerbitan Inpres No. 18 Tahun 1998 yang memberi kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membentuk koperasi, pada awalnya disambut dengan antusias oleh gerakan koperasi dan masyarakat umum yang ingin membentuk koperasi. Kebijakan ini, kemudian diikuti dengan pelimpahan wewenang pemberian/pengesahan badan hukum kepada Kepala Kantor Depkop dan FKM di tingkat kabupaten/kotamadya, yang semula berada di tangan Kepala Kanwil Depkop dan P KM. Kebijakan ini sayangnya tidak dilakukan secara selektif dan tidak dikaitkan secara fungsional dengan pembinaan koperasi yang sehat dan kuat sehingga yang banyak muncul adalah “koperasi-koperasi pengurus”, “koperasi merpati” (yang hanya mengharapkan fasilitas), koperasi dadakan dan sebagainya. Akibatnya jumlah koperasi memang meningkat tajam, tetapi kualitasnya sangat lemah.
2.       Pemberian fasilitas 17 skim kredit/yang meliputi dana sebesar Rpl0,6 triliun dengan tingkat bunga rendah (10-16) yang menjadi rebutan di lapangan, kemudian menimbulkan beberapa permasalahan, baik yang bersifat ekonomi (berkaitan dengan kelayakan usaha), jati diri koperasi (berkaitan dengan penggunaan dana untuk bukan anggota) bahkan juga politik (berkaitan dengan kampanye pemilu).
Menghadapi berbagai permasalahan internal maupun eksternal koperasi tersebut, Ibnoe Soedjono (1999) menyarankan agar koperasi melakukan konsolidasi supaya dapat selamat melalui krisis yang multi dimensional yang tidak kunjung selesai supaya siap memasuki sistem ekonomi pasar yang terkait dengan globalisasi dan selanjutnya dapat berperan dalam, pembangunan ekonomi kerakyatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Hal-hal esensial yang perlu dilakukan dalam kaitan konsolidasi ini ialah berikut ini.
1.        Memperkokoh organisasi dalam arti individual maupun secara bersama- sama melalui integrasi horizontal dan vertikal, dasar pemikirannya bahwa organisasi adalah modal utama koperasi dan tanpa organisasi yang baik, koperasi tidak akan dapat melakukan fungsinya sesuai dengan jati dirinya.
2.        Membangun manajemen yang efektif (value based profesional management) untuk membuat organisasi dapat berfungsi terutama dalam pemberian pelayanan bagi anggota-anggotanya.
3.        Membangun visi yang kokoh dalam rangka membangun perkoperasian di hari depan. Visi merupakan sumber kekuatan bagi motivasi gerakan koperasi dan merupakan sarana yang paling efektif untuk memperkuat dan meremajakan organisasi.
4.        Menetapkan misi dalam upaya merealisasi visi. Misi merupakan keyakinan dan alasan sekaligus mengapa koperasi harus ada dan kuat untuk melakukan perannya.
5.       Beberapa hal yang perlu memperoleh kesepakatan bersama antara
pemerintah dari gerakan koperasi untuk melancarkan dan
mengefektifkan program konsolidasi adalah:
a.      adanya pemahaman bersama antara pemerintah dan gerakan koperasi mengenai kedudukan peran dan arah pengembangan koperasi dalam era Reformasi dengan berpedoman di satu pihak pada jati diri koperasi dan lain pihak pada konsep ekonomi kerakyatan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 33 UUD 1945. Dalam hubungan ini perlu diterima secara sadar bahwa telah dan akan teijadi proses alamiah di mana peran pemerintah akan terus berkurang dan peran gerakan koperasi akan bertambah, tanpa mengurangi arti kemitraan antara kedua belah pihak;
b.        perlu ada re-orientasi dan reedukasi di kalangan fungsionaris- fungsionaris pemerintah dan gerakan koperasi yang konsisten dengan pedoman, kedudukan, peran dan arah pengembangan koperasi dalam era Reformasi yang telah disepakati bersama;
c.         memperkokoh kedudukan dan mengefektifkan peran DEKOPIN supaya dapat berfungsi memberikan kepemimpinan kepada gerakan koperasi dan bertindak sebagai mitra kerja pemerintah yang setaraf untuk pengembangan perkoperasian;
d.      memperbarui Undang-undang Perkoperasian yang ada yang menjamin pemerintah yang demokratis dan profesional di satu pihak dan di lain pihak mewajibkan koperasi setia pada jati dirinya. Dalam hubungan ini perlu diatur pengawasan yang efektif (melalui kewajiban audit), insentif yang mendorong koperasi setia pada jati dirinya (melalui perpajakan, perkreditan dan fasilitas-fasilitas lain yang relevan, seperti perizinan), sanksi-sanksi terhadap pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah, koperasi dan pihak-pihak lain;
e.      dalam waktu dekat dilakukan tindakan-tindakan penataan yang efektif untuk menghentikan beroperasinya (koperasi-koperasi yang nyata-nyata melanggar undang-undang koperasi dan jati diri koperasi melalui pencabutan pengakuan badan hukum, penangguhan pemberian badan hukum dan perizinan operasi.
6.       Dalam pelaksanaan program konsolidasi diperlukan sarana penunjang operasional sebagai berikut.
a.        Adanya lembaga pendidikan dan pelatihan yang tersebar ke daerah- daerah dan konsultasi di bidang perkoperasian, manajemen dan bisnis.
b.        Adanya lembaga keuangan yang solid sebagai tulang punggung ekonomi sektor koperasi dalam bentuk-bentuk koperasi, lembaga jaminan simpanan dan kredit serta asuransi.
c.         Adanya sistem dan kebijakan perpajakan yang khusus bagi koperasi sesuai dengan watak mutual koperasi yang motif utamanya adalah pelayanan bagi anggota-anggotanya.
Bilamana koperasi berhasil ke luar dengan selamat dari krisis dan berhasil pula melakukan konsolidasi maka koperasi akan lebih siap untuk memainkan peran yang strategis dan efektif dalam:
1.        melaksanakan fungsi umumnya, yaitu memberikan pelayanan untuk memenuhi kepentingan komunitasnya dengan barang dan jasa.
2.        memasuki ekonomi pasar sebagai konsekuensi globalisasi ekonomi dan meraih akses terhadap sumber-sumber daya ekonomi dan sosial yang tersedia serta mampu bertindak sebagai counter-veiling power (kekuatan pengimbang) terhadap pelaku-pelaku lain yang besar.
3.        meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan ekonomi kerakyatan di sektor-sektor produktif, seperti pertanian, industri/kerajinan, dan sejenisnya serta golongan strategis dalam lingkungan masyarakat, seperti konsumen, pekeija dan para pemberi jasa, sebagai bagian dari sistem demokrasi ekonomi menurut Pasal 33 UUD 1945.
Dengan masih kecil/ terbatasnya peranan koperasi, baik pada tingkat mikro maupun makro maka strategi pengembangan koperasi, seperti diuraikan di atas sangat diperlukan. Apalagi pascaamendemen UUD 1945, di mana kata “koperasi” tidak ada lagi di dalamnya, langkah-langkah tersebut merupakan keharusan.
Sumber:Modul UT Adpu 4330

0 komentar:

Posting Komentar