Hak Menguji (Judicial
Review)
Suatu
hal yang berkaitan dengan kekuasaan yudikatif, dalam hal in Mahkamah
Agung/Mahkamah Konstitusi, adalah masalah hak menguj (Judicial review) atau dalam bahasa Belanda
dinamakan materiee
toetsingsrecht.
Hak ini adalah wewenang untuk menilai apakah suati Undang-Undang sesuai atau
tidak dengan Undang-Undang Dasar, sebab bis; saja suatu parlemen menerima baik
suatu Undang-Undang sesuai dengai prosedur yang berlaku, akan tetapi isi
Unbang-Undang itu bertentangar dengan salah satu pasal dari Undang-Undang
Dasar.
Terdapat
beberapa negara (termasuk Amerika Serikat, Jepang, India dar belakangan
Indonesia) yang menganggap bahwa Mahkamal Agung/Mahkamah Konstitusi mempunyai
wewenang itu. Hal ini berarti bahwa Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi sebagai
salah satu lembaga yudikatif berkuasa untuk menyatakan sesuatu produk hasil
kerja dari badan legislatif sebagai tidak sesuai dengan konstitusi (unconstitutional) dan dengan demikian mendorong
badan legislatif untuk membatalkannya dan menariknya dari peredaran.
Namun
demikian, sebagian negara-negara lainnya menolak wewenang Mahkamah Agung/
Mahkamah Konstitusi ini dan menganggapnya tidak demokratis, karena sejumlah
kecil hakim dapat membatalkan hasil kerja dari sejumlah besar wakil rakyat.
Kebanyakan negara-negara tersebut mengenai hak menguji di tingkat yang lebih
rendah, yaitu untuk menilai apakah peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang
sesuai dengan Undang- Undang. Tetapi masalah ini seluruhnya bersifat teknis,
dan tidak mendapat tempat dalam ilmu politik. Akan tetapi menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar ada banyak segi politisnya, karena dengan demikian
suatu keputusan dari hakim agung yang menyangkut masalah konstitusional
mempunyai pengaruh besar atas proses politik.
Jika
kita menelusuri bagaimana proses hak menguji ini di Amerika Serikat, maka
ternyata bahwa wewenang ini sebenamya tidak secara eksplisit dinyatakan dalam
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, akan tetapi pada tahun 1803 telah
ditafsirkan oleh Ketua Mahkamah Agung John Marshall, dan selanjutnya diterima
oleh masyarakat sebagai sesuatu hal yang wajar. Jadi wewenang Mahkamah Agung
yang menyangkut judicial review di Amerika Serikat merupakan
suatu konvensi. Hal ini pun tidak mengherankan, karena di negara-negara Anglo-Saxon konvensi memegang peranan
sangat penting dalam kehidupan kenegaraan. Di Amerika Serikat seolah-olah
wewenang untuk mengadakan judicial review itu pada tahun 1803 telah
direbut oleh Mahkamah Agung di bawah ketuanya John Marshall. Mengapa
seolah-olah merebut, karena wewenang tersebut berdasarkan tradisi dan tidak
tercantum dalam Undang-Undang Dasar, sekalipun Undang-Undang Dasar tidak
eksplisit melarangnya. Jadi, karena telah berlangsung dan dianggap wajar oleh
masyarakat, maka wewenang judicial review sampai sekarang tidak
dipermasalahkan dan berjalan lancar.
.
Peranan politik Mahkamah Agung ini sangat nyata di Amerika Serikat, maka dari
itu setiap menunjukkan hakim agung baru atau setiap keputusan Mahkamah Agung
yang menyangkut soal-soal konstitusiona! mendapat perhatian besar dari
masyarakat. Sebagai contoh keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat yang
mempengaruhi keadaan politik adalah keputusan Mahkamah Agung mengenai Public
School Desegregation Act {Brown v Board of Education 1954) bahwa “segregation” (pemisahan antara golongan
kulit putih dan golongan negro) merupakan diskriminasi dan tidak dibenarkan.
Undang-Undang ini dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perjuangan orang kulit
hitam untuk merebut hak-hak sipil di Amerika. Contoh lain di India, pada tahun
1969 Undang-l/ndang yang diprakarsai oleh pemerintah Indira Gandhi untuk
menasionalisasi beberapa bank swasta oleh Mahkamah Agung dinyatakan “unconstitutional".
Beberapa
contoh di atas menunjukkan betapa besar wewenang Mahkamah Agung dalam menilai
apakah suatu Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar yang
berlaku. Di Amerika Serikat wewenang judicial review ini demikian penting sehingga
Mahkamah Agung dianggap sebagai “pengaman Undang-Undang Dasar” (Guardian
of the Constitution).
Bagaimanakah
hak uji materiil (judicial review) ini dikenal di Indonesia.
Sebelum diberlakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, kita tidak mengenai
asas tersebut. Demikian juga, jika kita memperhatikan UUDS 1950 dan Undang-Undang
Dasar RIS 1949, kedua Undang-Undang Dasar ini pun tidak memuat ketentuan
mengenai hal tersebut. Namun demikian, bersamaan dengan hasil amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan dari tahun 1999 hingga 2002, hak uji
materiil ini kemudian dimiliki sebuah lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 24C perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemiiihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga
memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan
amandemen konstitusi yang memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi ini,
secara ketatanegaraan kita telah memiliki lembaga yang memiliki kewenangan
melakukan hak uji materiil seperti halnya Mahkamah Agung di Amerika Serikat.
Sebelum amandemen Undang- Undang Dasar 1945 yang memberi kewenangan uji
materiil kepada Mahkamah Konstitusi, kita hanya mengenai hak Mahkamah Agung
untuk menguji dan menyatakan tidak salt semua peraturan perundangan dari
tingkat yang lebih rendah dari Undang-Undang. Plal ini dikarenakan konstitusi
kita (Undang-Undang Dasar sebelum diamandemen) serta Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang
menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1956 tidak memberikan wewenang uji
materiil pada lembaga yudikatif.
Dari
uraian tersebut, jelaslah bahwa wewenang atau hak menguji mengenai
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar di Indonesia telah diakui
keberadaannya secara konstitusional. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi,
maka lembaga ini dapat menjaiankan peran “Pengaman Undang-Undang Dasar” (Guardian
of the Constitution).
BADAN
YUDIKATIF DAN INDONESIA
Meskipun
keempat Undang-Undang Dasar yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia tidak
secara eksplisit menyatakan memakai doktrin trias politika, namun karena keempat
Undang-Undang Dasar tersebut didasari jivva demokrasi konstitusional, maka
dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut konsep pembagian kekuasaan. Dianutnya prinsip pembagian
kekuasaan negara tersebut jelas terlihat Bab tentang kekuasaan negara. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen misalnya, Bab III menjelaskan
tentang kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif). Bab VII
tentang kekuasaan dewan perwakilan rakyat (kekuasaan legislatif) dan Bab
XI tentang kekuasaan kehakiman. Dalam pelaksanaan pembagian
tersebut kekuasaan legislatif, dijalankan bersama antara Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung
dan badan-badan peradilan.
Sebelum
dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dasar bertolak kekuasaan
yudikatif di Indonesia dapat kita temukan dalam pasal 24 dan pasal 25. Kedua
pasal tersebut menentukan asas kekuasaan kehakiman yang
bebas di Indonesia.
Dalam penjelasan pasal 24 dan 25 mengenai kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa:
"Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan
dalam Undang- Undang tentang kedudukan para hakim”. Di sini jelas bahwa
kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan kekuasaan tadi mendapat jaminan melalui
Undang-Undang. Dengan kata lain hakim diharapkan dapat melaksanakan tugasnya
tanpa dicampuri oleh kekuasaan lain. Dalam hal ini yang jelas diatur adalah
kedudukan hakim itu sendiri.
Dalam
perkembangan selanjutnya badan yudikatif di Indonesia mengalami pasang surut
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sistem politik. Pada masa Demokrasi
Terpimpin misalnya telah terjadi beberapa penyimpangan terhadap asas kekuasaan
kehakiman yang bebas seperti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar
1945. Salah satu penyimpangan adalah dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 Tahun
1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 19 Undang-
Undang tersebut dinyatakan: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan
bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turut atau
campur tangan dalam soal pengadilan”. Selanjutnya dalam penjelasan
Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa “Trias Politika tidak mempunyai tempat
sama sekali dalam Hukum Nasional Indonesia” karena kita berada dalam revolusi,
dan dikatakan selanjutnya bahwa “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh
kekuasaan eksekutif dan kekuatan membuat Undang-Undang”. Kalau kita perhatikan,
jelaslah bahwa isi dan jiwa Undang-Undang tersebut di atas bertentangan sekali
dengan isi dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 dan pasal 25.
Dalam
masa Orde Baru, MPRS sebagai lembaga tertsnggi negara pada sidangnya yang ke-4,
telah mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XIX tahun 1966 Tentang Peninjauan
Kembali Produk-Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Ketetapan tersebut
maka Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 telah dicabut dan diganti dengan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sesuai dengan asas kekuasaan kehakiman yang bebas dalam Undang-Undang Dasar
1945, maka pasal 3 menentukan bahwa “segaia campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak-pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut
dalam Undang-Undang Dasar”. Jadi koreksi di atas dilakukan dalam rangka
mendudukkan kekuasaan-kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang bebas dari
campur tangan pihak luar.
Penyimpangan
lain yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin yang bertentangan dengan asas
kebebasan badan yudikatif adalah dengan memberi status menteri kepada Ketua
Mahkamah Agung. Dengan pemberian status menteri tersebut maka Ketua Mahkamah
Agung yang sebenarnya sederajat dengan eksekutif yaitu pemegang kekuasaan
yudikatif, menjadi bagian dan berada di bawah badan eksekutif. Kemudian dalam
perkembangannya selanjutnya hal ini juga dikoreksi, di mana jabatan Ketua
Mahkamah Agung tidak lagi berada di bawah eksekutif melair.kan tetap sebagai
pemegang kekuasaan yudikatif. Hal ini tetap berlangsung sampai saat ini.
Pembahasan
kita selanjutnya adalah tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dengan kata
lain sampai di manakah kebebasan badan yudikatif di Indonesia dijamin. Dalam
hal ini kita kembali melihat pada beberapa dasar yang menjadi tumpuan kedudukan
badan yudikatif tersebut.
Pertama bisa kita lihat dari kedudukan
Indonesia sebagai negara hukum (.Rechtstaats). Landasan ini jelas mengatur
perlindungan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia dalam arti bahwa setiap
warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintah.
Demikian pula terhadap jaminan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.
Karena pada badan yudikatiflah terdapat fungsi mengadili setiap pelanggaran di
negara hukum Indonesia, maka kekuasaan kehakiman yang bebas merupakan benteng
dan penjaga negara hukum di Indonesia. Pasal 24 dan 25 Undang- Undang Dasar
1945 (sebelum amandemen) dengan jelas mengatur bahwa ’’kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh pemerintah”.
Jelas bahwa jaminan kebebasan badan yudikatif maksudnya untuk keleluasaan
bergerak dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Jadi dapat kita ambil
kesimpulan bahwa batas kekuasaan kehakiman yang bebas sangat penting dalam
terlaksananya negara hukum di Indonesia.
Kedua juga kita temui dalam
ketentuan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan sistem konstitusi
(demokrasi konstitusional). Asas ini mengharuskan bahwa semua kehidupan
bernegara di Republik Indonesia harus berdasarkan ketentuan konstitusi atau per
Undang-Undangan. Maka konsekuensinya ialah bahwa kekuasaan negara diatur
melalui pembagian kekuasaan negara. Dasar pembagian kekuasaan ini ialah agar
tidak terjadi kekuasaan mutlak (absolutisme), atau kekuasaan yang tak terbatas.
Dalam hal jni kekuasaan yudikatif merupakan salah satu bagian dari kekuasaan
negara yang secara konstitusional berfungsi mengadili setiap pelanggaran
Undang- Undang. Maka dengan dasar konstitusional ini memberi dasar untuk
kekuasaan kehakiman yang bebas di Indonesia.
Perubahan
penting berkaitan dengan kekuasaan badan yudikatif di Indonesia terjadi di masa
reformasi. Proses reformasi berlangsung seiring dengan meningkatnya tuntutan
untuk melakukan reformasi ketatanegaraan kita. Salah satu aspek yang dipandang
penting dalam reformasi itu adalah dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar
1945. Perubahan konstitusi tersebut juga membahas hal yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dua pasal yang menjelaskan tentang kekuasaan
kehakiman dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen,
diperinci, dipertegas, serta diperkuat dengan hadirnya lembaga-Iembaga
kehakiman baru dalam sistem ketatanegaraan kita. Penegasan ini misalnya termuat
dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga, yang berbunyi: “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Selanjutnya Pasal 24 ayat 2 menegaskan bahwa: “...kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di- bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan mil iter, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Penguatan lemba, yudikatif ditegaskan dengan kehadiran dua lembaga baru
kehakiman yai Mahkamah Konstitusi serta Komisi Yudisial. Komisi Yudisial memili
wewenang dalam pengusulan hakim agung dan penegakan kehormata keluhuran
martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24 B perubahan ketiga Komisi Yudisial ini
diangkat dan diberhentikan Presiden dengan persetuju; DPR.
Lembaga
kehakiman baru yang memiliki wewenang yang sangat pentir dalam hak uji materiil
dan mekanisme checks and balances adak Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 24 C perubahan ketiga Undans Undang Dasar 1945, wewenang
lembaga ini di antaranya:
1.
Mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersif; final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review).
2.
Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganny diberikan oleh
Undang-Undang Dasar.
3.
Memutus
pcmbubaran partai politik.
4.
Memutus
perselisihan tentang hasil pemiiihan umum.
5.
Wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dare atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.
Dalam
pasal yang sama juga dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitus mempunyai sembilan
orang anggota hakim
yang ditetapkan oleh Presiden yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA,
tiga orang oleh DPR, dai tiga orang oleh Presiden.
Karena
masalah teknis dan keterbatasan dalam pembentukan Mahkamal Konstitusi ini, maka
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 perubahan keempat menegaskan bahwa
lembaga ini selambat-lambatnya dibentuk pada 17 Agustus 2003 dan sebelum
dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA.
Akhimya
pada 13 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi resmi dibentuk. Di awal berdirinya,
Mahkamah Konstitusi menerima 15 berkas permohonan uji materiil {judicial
review)
yang dilimpahkan oleh MA. Hingga 1 tahun keberadaannya, Mahkamah Konstitusi
telah berhasil menangani 15 perkara pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 (judicial review), merubah 3 Undang-Undang, dan
menuntaskan lebih dari 400 perkara mengenai pemiiihan umum. Hingga saat ini,
lembaga ini memang baru -menggunakan 2 kewenangan yang dimilikinya yakni
wewenang pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 {judicial
review)
serta memutus perselisihan hasil pemiiihan umum 2004.
Terdapat
beberapa perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan
wewenangnya melakukan uji materiil Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945. Di antara keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah pembatalan pasal
60 huruf g Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemiiihan
Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Termaktub di dalam pasal
tersebut, syarat calon anggota DPD adalah, "Bukan bekas anggota organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan
orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G30S/PKJ, 'atau
organisasi terlarang lainnya."
Para pemohon uji materi yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta,
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak "A.sasi Manusia Jakarta menyatakan bahwa
pasal 60 huruf G bertentangan dengan pasal 28 huruf C ayat (2) Perubahan Kedua
UUD 1945 : "Setiap orang berhak memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara koiektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, dan negaranya,"
Kemudian pasal 28 huruf D ayat (3) : "Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.". Pembenaran lainnya, pasal 28
huruf I ayat (2) : "Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif."
Setelah
melalui proses persidangan dan pengujian, akhirnya Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemiiihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah
mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan poiitiknya dan
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar
1945. Namun demikian, dalam amar putusan itu juga disebutkan adanya dissenting
opinion (perbedaan
pendapat) yang terjadi dalam musyawarah hakim. Dissenting
opinion
datang dari Hakim Achmad Rustandi. Hakim Rustandi mengatakan pasai 60 huruf g
itu kelihatan seoiah-olah tidak sejalan dengan semangat UUD karena pencarian
maknanya dilakukan secara kajian, bukan secarr sistematis dikaitkan dengan
pasal-pasal lainnya. Menurut dia, pasal itu lebih merupakan pembatasan yang
setara dengan pasal 60 yaitu pembatasan umur. pendidikan, dan kondite politik.
Menurutnya, dalam menjaiankan hak dari kewajiban setiap warga negara tunduk
pada pembatasan yang diterapkan UU untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
atas hak dan kewajiban itu.
Selain
itu, Mahkamah Konstitusi juga telah mengeluarkan putusan final bagi pembatalan
UU No 16 Tahun 2003 tentang Penerapan Perpu No 2/2002 tentang Perpu No 1/2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan
Bom Bali 12
Oktober 2002.
Perkara
lain yang berkaitan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji
materiil ini adalah putusannya dalam uji materiil Undang-Undang No. 23 Tahun
2003 Tentang Pemiiihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam perkara ini terkait hal
yang bersifat politis di mana akan menentukan penealonan K.H. Abdurahman Wahid
sebagai calon Presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa. Dalam putusannya,
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
untuk melakukan uji materiil (Judicial review) Undang-Undang No 23/2003
Tentang Pemiiihan Presiden dan Wakil Presiden. Majelis Hakim Konstitusi
memutuskan, menolak permohonan uji materiil pasal 6 huruf (d) Undang- Undang
Nomor 23 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. Alasan utama penolakan uji materiil
tersebut, karena pasal 6 huruf d UU No 23 Tahun 2003 merupakan perinta'n
konstitusi yakni UUD 1945. Ketentuan pasal tersebut sebagai derivasi (turunan)
dari ketentuan yang diperintahkan dalam UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi, "Mampu
secara rohani dan jasrnani untnk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
presiden dan wakil presiden." Rumusan
dalam pasal 6 huruf d UU No 23 Tahun 2003 tentang Calon Presiden dan Wapres
mampu secara jasrnani dan rohani merupakan pengulangan dari UUD 1945. Menurut
Mahkamah Konstitusi, hal tersebut tidak bisa dikategorikan bertentangan dengan
UUD 1945. Tentang alasan pemohon bahwa pasal tersebut mengandung makna
diskriminasi bagi individu anggota masyarakat untuk menggunakan hak politik
dalam penealonan presiden sehingga bertentangan dengan ketentuan hak asasi
manusia, hakim konstitusi menyatakan tidak sependapat.
Dari
contoh beberapa perkara yang telah ditangani oleh Mahkamah Konstitusi tersebut
dapat. diambii kesimpulan mengenai semakin meningkatnya kewenangan lembaga
yudikatif di masa reformasi. Hal ini memang sejalan dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945 setelah proses amandemen, untuk mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dalam memberikan penegakan hukum dan keadilan. Selain
itu, tentu saja terkait dengan harapan dijalankannya mekanisme checks
and balances
di antara lembaga-lembaga negara untuk menghindari terjadi pemusatan kekuasaan
pada satu lembaga negara.
üsküdar
BalasHapusmardin
eskişehir
mecidiyeköy
ümraniye
44UU
https://saglamproxy.com
BalasHapusmetin2 proxy
proxy satın al
knight online proxy
mobil proxy satın al
SJ4JG