Rabu, 15 Oktober 2014

Hak Menguji (judicial Review)



Hak Menguji (Judicial Review)
Suatu hal yang berkaitan dengan kekuasaan yudikatif, dalam hal in Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi, adalah masalah hak menguj (Judicial review) atau dalam bahasa Belanda dinamakan materiee toetsingsrecht. Hak ini adalah wewenang untuk menilai apakah suati Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar, sebab bis; saja suatu parlemen menerima baik suatu Undang-Undang sesuai dengai prosedur yang berlaku, akan tetapi isi Unbang-Undang itu bertentangar dengan salah satu pasal dari Undang-Undang Dasar.
Terdapat beberapa negara (termasuk Amerika Serikat, Jepang, India dar belakangan Indonesia) yang menganggap bahwa Mahkamal Agung/Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang itu. Hal ini berarti bahwa Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yudikatif berkuasa untuk menyatakan sesuatu produk hasil kerja dari badan legislatif sebagai tidak sesuai dengan konstitusi (unconstitutional) dan dengan demikian mendorong badan legislatif untuk membatalkannya dan menariknya dari peredaran.
Namun demikian, sebagian negara-negara lainnya menolak wewenang Mahkamah Agung/ Mahkamah Konstitusi ini dan menganggapnya tidak demokratis, karena sejumlah kecil hakim dapat membatalkan hasil kerja dari sejumlah besar wakil rakyat. Kebanyakan negara-negara tersebut mengenai hak menguji di tingkat yang lebih rendah, yaitu untuk menilai apakah peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang sesuai dengan Undang- Undang. Tetapi masalah ini seluruhnya bersifat teknis, dan tidak mendapat tempat dalam ilmu politik. Akan tetapi menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar ada banyak segi politisnya, karena dengan demikian suatu keputusan dari hakim agung yang menyangkut masalah konstitusional mempunyai pengaruh besar atas proses politik.
Jika kita menelusuri bagaimana proses hak menguji ini di Amerika Serikat, maka ternyata bahwa wewenang ini sebenamya tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, akan tetapi pada tahun 1803 telah ditafsirkan oleh Ketua Mahkamah Agung John Marshall, dan selanjutnya diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu hal yang wajar. Jadi wewenang Mahkamah Agung yang menyangkut judicial review di Amerika Serikat merupakan suatu konvensi. Hal ini pun tidak mengherankan, karena di negara-negara Anglo-Saxon konvensi memegang peranan sangat penting dalam kehidupan kenegaraan. Di Amerika Serikat seolah-olah wewenang untuk mengadakan judicial review itu pada tahun 1803 telah direbut oleh Mahkamah Agung di bawah ketuanya John Marshall. Mengapa seolah-olah merebut, karena wewenang tersebut berdasarkan tradisi dan tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar, sekalipun Undang-Undang Dasar tidak eksplisit melarangnya. Jadi, karena telah berlangsung dan dianggap wajar oleh masyarakat, maka wewenang judicial review sampai sekarang tidak dipermasalahkan dan berjalan lancar.
. Peranan politik Mahkamah Agung ini sangat nyata di Amerika Serikat, maka dari itu setiap menunjukkan hakim agung baru atau setiap keputusan Mahkamah Agung yang menyangkut soal-soal konstitusiona! mendapat perhatian besar dari masyarakat. Sebagai contoh keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat yang mempengaruhi keadaan politik adalah keputusan Mahkamah Agung mengenai Public School Desegregation Act {Brown v Board of Education 1954) bahwa “segregation” (pemisahan antara golongan kulit putih dan golongan negro) merupakan diskriminasi dan tidak dibenarkan. Undang-Undang ini dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perjuangan orang kulit hitam untuk merebut hak-hak sipil di Amerika. Contoh lain di India, pada tahun 1969 Undang-l/ndang yang diprakarsai oleh pemerintah Indira Gandhi untuk menasionalisasi beberapa bank swasta oleh Mahkamah Agung dinyatakan “unconstitutional".
Beberapa contoh di atas menunjukkan betapa besar wewenang Mahkamah Agung dalam menilai apakah suatu Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar yang berlaku. Di Amerika Serikat wewenang judicial review ini demikian penting sehingga Mahkamah Agung dianggap sebagai “pengaman Undang-Undang Dasar” (Guardian of the Constitution).
Bagaimanakah hak uji materiil (judicial review) ini dikenal di Indonesia. Sebelum diberlakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, kita tidak mengenai asas tersebut. Demikian juga, jika kita memperhatikan UUDS 1950 dan Undang-Undang Dasar RIS 1949, kedua Undang-Undang Dasar ini pun tidak memuat ketentuan mengenai hal tersebut. Namun demikian, bersamaan dengan hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan dari tahun 1999 hingga 2002, hak uji materiil ini kemudian dimiliki sebuah lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24C perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiiihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan amandemen konstitusi yang memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi ini, secara ketatanegaraan kita telah memiliki lembaga yang memiliki kewenangan melakukan hak uji materiil seperti halnya Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Sebelum amandemen Undang- Undang Dasar 1945 yang memberi kewenangan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi, kita hanya mengenai hak Mahkamah Agung untuk menguji dan menyatakan tidak salt semua peraturan perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-Undang. Plal ini dikarenakan konstitusi kita (Undang-Undang Dasar sebelum diamandemen) serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1956 tidak memberikan wewenang uji materiil pada lembaga yudikatif.
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa wewenang atau hak menguji mengenai Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar di Indonesia telah diakui keberadaannya secara konstitusional. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, maka lembaga ini dapat menjaiankan peran “Pengaman Undang-Undang Dasar” (Guardian of the Constitution).

BADAN YUDIKATIF DAN JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

Meskipun keempat Undang-Undang Dasar yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia tidak secara eksplisit menyatakan memakai doktrin trias politika, namun karena keempat Undang-Undang Dasar tersebut didasari jivva demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut konsep pembagian kekuasaan. Dianutnya prinsip pembagian kekuasaan negara tersebut jelas terlihat Bab tentang kekuasaan negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen misalnya, Bab III menjelaskan tentang kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif). Bab VII tentang kekuasaan dewan perwakilan rakyat (kekuasaan legislatif) dan Bab XI tentang kekuasaan kehakiman. Dalam pelaksanaan pembagian tersebut kekuasaan legislatif, dijalankan bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan.
Sebelum dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dasar bertolak kekuasaan yudikatif di Indonesia dapat kita temukan dalam pasal 24 dan pasal 25. Kedua pasal tersebut menentukan asas kekuasaan kehakiman yang bebas di Indonesia. Dalam penjelasan pasal 24 dan 25 mengenai kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa: "Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang- Undang tentang kedudukan para hakim”. Di sini jelas bahwa kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan kekuasaan tadi mendapat jaminan melalui Undang-Undang. Dengan kata lain hakim diharapkan dapat melaksanakan tugasnya tanpa dicampuri oleh kekuasaan lain. Dalam hal ini yang jelas diatur adalah kedudukan hakim itu sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya badan yudikatif di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sistem politik. Pada masa Demokrasi Terpimpin misalnya telah terjadi beberapa penyimpangan terhadap asas kekuasaan kehakiman yang bebas seperti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu penyimpangan adalah dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 19 Undang- Undang tersebut dinyatakan: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal pengadilan”. Selanjutnya dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa “Trias Politika tidak mempunyai tempat sama sekali dalam Hukum Nasional Indonesia” karena kita berada dalam revolusi, dan dikatakan selanjutnya bahwa “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuatan membuat Undang-Undang”. Kalau kita perhatikan, jelaslah bahwa isi dan jiwa Undang-Undang tersebut di atas bertentangan sekali dengan isi dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 dan pasal 25.
Dalam masa Orde Baru, MPRS sebagai lembaga tertsnggi negara pada sidangnya yang ke-4, telah mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XIX tahun 1966 Tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Ketetapan tersebut maka Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sesuai dengan asas kekuasaan kehakiman yang bebas dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka pasal 3 menentukan bahwa “segaia campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang Dasar”. Jadi koreksi di atas dilakukan dalam rangka mendudukkan kekuasaan-kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang bebas dari campur tangan pihak luar.
Penyimpangan lain yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin yang bertentangan dengan asas kebebasan badan yudikatif adalah dengan memberi status menteri kepada Ketua Mahkamah Agung. Dengan pemberian status menteri tersebut maka Ketua Mahkamah Agung yang sebenarnya sederajat dengan eksekutif yaitu pemegang kekuasaan yudikatif, menjadi bagian dan berada di bawah badan eksekutif. Kemudian dalam perkembangannya selanjutnya hal ini juga dikoreksi, di mana jabatan Ketua Mahkamah Agung tidak lagi berada di bawah eksekutif melair.kan tetap sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Hal ini tetap berlangsung sampai saat ini.
Pembahasan kita selanjutnya adalah tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dengan kata lain sampai di manakah kebebasan badan yudikatif di Indonesia dijamin. Dalam hal ini kita kembali melihat pada beberapa dasar yang menjadi tumpuan kedudukan badan yudikatif tersebut.
Pertama bisa kita lihat dari kedudukan Indonesia sebagai negara hukum (.Rechtstaats). Landasan ini jelas mengatur perlindungan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia dalam arti bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintah. Demikian pula terhadap jaminan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara. Karena pada badan yudikatiflah terdapat fungsi mengadili setiap pelanggaran di negara hukum Indonesia, maka kekuasaan kehakiman yang bebas merupakan benteng dan penjaga negara hukum di Indonesia. Pasal 24 dan 25 Undang- Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) dengan jelas mengatur bahwa ’’kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh pemerintah”. Jelas bahwa jaminan kebebasan badan yudikatif maksudnya untuk keleluasaan bergerak dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Jadi dapat kita ambil kesimpulan bahwa batas kekuasaan kehakiman yang bebas sangat penting dalam terlaksananya negara hukum di Indonesia.
Kedua juga kita temui dalam ketentuan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan sistem konstitusi (demokrasi konstitusional). Asas ini mengharuskan bahwa semua kehidupan bernegara di Republik Indonesia harus berdasarkan ketentuan konstitusi atau per Undang-Undangan. Maka konsekuensinya ialah bahwa kekuasaan negara diatur melalui pembagian kekuasaan negara. Dasar pembagian kekuasaan ini ialah agar tidak terjadi kekuasaan mutlak (absolutisme), atau kekuasaan yang tak terbatas. Dalam hal jni kekuasaan yudikatif merupakan salah satu bagian dari kekuasaan negara yang secara konstitusional berfungsi mengadili setiap pelanggaran Undang- Undang. Maka dengan dasar konstitusional ini memberi dasar untuk kekuasaan kehakiman yang bebas di Indonesia.
Perubahan penting berkaitan dengan kekuasaan badan yudikatif di Indonesia terjadi di masa reformasi. Proses reformasi berlangsung seiring dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan reformasi ketatanegaraan kita. Salah satu aspek yang dipandang penting dalam reformasi itu adalah dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan konstitusi tersebut juga membahas hal yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dua pasal yang menjelaskan tentang kekuasaan kehakiman dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, diperinci, dipertegas, serta diperkuat dengan hadirnya lembaga-Iembaga kehakiman baru dalam sistem ketatanegaraan kita. Penegasan ini misalnya termuat dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga, yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Selanjutnya Pasal 24 ayat 2 menegaskan bahwa: “...kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di- bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan mil iter, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Penguatan lemba, yudikatif ditegaskan dengan kehadiran dua lembaga baru kehakiman yai Mahkamah Konstitusi serta Komisi Yudisial. Komisi Yudisial memili wewenang dalam pengusulan hakim agung dan penegakan kehormata keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24 B perubahan ketiga Komisi Yudisial ini diangkat dan diberhentikan Presiden dengan persetuju; DPR.
Lembaga kehakiman baru yang memiliki wewenang yang sangat pentir dalam hak uji materiil dan mekanisme checks and balances adak Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24 C perubahan ketiga Undans Undang Dasar 1945, wewenang lembaga ini di antaranya:
1.       Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersif; final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review).
2.       Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganny diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3.       Memutus pcmbubaran partai politik.
4.       Memutus perselisihan tentang hasil pemiiihan umum.
5.       Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dare atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.
Dalam pasal yang sama juga dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitus mempunyai sembilan orang anggota hakim yang ditetapkan oleh Presiden yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dai tiga orang oleh Presiden.
Karena masalah teknis dan keterbatasan dalam pembentukan Mahkamal Konstitusi ini, maka Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 perubahan keempat menegaskan bahwa lembaga ini selambat-lambatnya dibentuk pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA.
Akhimya pada 13 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi resmi dibentuk. Di awal berdirinya, Mahkamah Konstitusi menerima 15 berkas permohonan uji materiil {judicial review) yang dilimpahkan oleh MA. Hingga 1 tahun keberadaannya, Mahkamah Konstitusi telah berhasil menangani 15 perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (judicial review), merubah 3 Undang-Undang, dan menuntaskan lebih dari 400 perkara mengenai pemiiihan umum. Hingga saat ini, lembaga ini memang baru -menggunakan 2 kewenangan yang dimilikinya yakni wewenang pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 {judicial review) serta memutus perselisihan hasil pemiiihan umum 2004.
Terdapat beberapa perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan wewenangnya melakukan uji materiil Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Di antara keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah pembatalan pasal 60 huruf g Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemiiihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Termaktub di dalam pasal tersebut, syarat calon anggota DPD adalah, "Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G30S/PKJ, 'atau organisasi terlarang lainnya." Para pemohon uji materi yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak "A.sasi Manusia Jakarta menyatakan bahwa pasal 60 huruf G bertentangan dengan pasal 28 huruf C ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 : "Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara koiektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya," Kemudian pasal 28 huruf D ayat (3) : "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.". Pembenaran lainnya, pasal 28 huruf I ayat (2) : "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif."
Setelah melalui proses persidangan dan pengujian, akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemiiihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan poiitiknya dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, dalam amar putusan itu juga disebutkan adanya dissenting opinion (perbedaan pendapat) yang terjadi dalam musyawarah hakim. Dissenting opinion datang dari Hakim Achmad Rustandi. Hakim Rustandi mengatakan pasai 60 huruf g itu kelihatan seoiah-olah tidak sejalan dengan semangat UUD karena pencarian maknanya dilakukan secara kajian, bukan secarr sistematis dikaitkan dengan pasal-pasal lainnya. Menurut dia, pasal itu lebih merupakan pembatasan yang setara dengan pasal 60 yaitu pembatasan umur. pendidikan, dan kondite politik. Menurutnya, dalam menjaiankan hak dari kewajiban setiap warga negara tunduk pada pembatasan yang diterapkan UU untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kewajiban itu.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga telah mengeluarkan putusan final bagi pembatalan UU No 16 Tahun 2003 tentang Penerapan Perpu No 2/2002 tentang Perpu No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom Bali 12 Oktober 2002.
Perkara lain yang berkaitan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materiil ini adalah putusannya dalam uji materiil Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemiiihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam perkara ini terkait hal yang bersifat politis di mana akan menentukan penealonan K.H. Abdurahman Wahid sebagai calon Presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk melakukan uji materiil (Judicial review) Undang-Undang No 23/2003 Tentang Pemiiihan Presiden dan Wakil Presiden. Majelis Hakim Konstitusi memutuskan, menolak permohonan uji materiil pasal 6 huruf (d) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. Alasan utama penolakan uji materiil tersebut, karena pasal 6 huruf d UU No 23 Tahun 2003 merupakan perinta'n konstitusi yakni UUD 1945. Ketentuan pasal tersebut sebagai derivasi (turunan) dari ketentuan yang diperintahkan dalam UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi, "Mampu secara rohani dan jasrnani untnk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden." Rumusan dalam pasal 6 huruf d UU No 23 Tahun 2003 tentang Calon Presiden dan Wapres mampu secara jasrnani dan rohani merupakan pengulangan dari UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi, hal tersebut tidak bisa dikategorikan bertentangan dengan UUD 1945. Tentang alasan pemohon bahwa pasal tersebut mengandung makna diskriminasi bagi individu anggota masyarakat untuk menggunakan hak politik dalam penealonan presiden sehingga bertentangan dengan ketentuan hak asasi manusia, hakim konstitusi menyatakan tidak sependapat.
Dari contoh beberapa perkara yang telah ditangani oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dapat. diambii kesimpulan mengenai semakin meningkatnya kewenangan lembaga yudikatif di masa reformasi. Hal ini memang sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 setelah proses amandemen, untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam memberikan penegakan hukum dan keadilan. Selain itu, tentu saja terkait dengan harapan dijalankannya mekanisme checks and balances di antara lembaga-lembaga negara untuk menghindari terjadi pemusatan kekuasaan pada satu lembaga negara.


2 komentar: